Dua dekade terakhir sejak memasuki era reformasi dan lepas dari krisis moneter, bidang wirausaha menjadi primadona baru sebagai pilihan karir. Potensi pendapatan yang tidak terbatas serta keluwesan waktu kerja merupakan daya tarik dari karir wiarusaha. Perubahan pola pikir tersebut terjadi sejak akses informasi dan akses perdagangan semakin mudah didapat melalui media elektronik. Hal tersebut ditunjang pula dengan cerita-cerita sukses wirausaha dengan kebebasan mereka mengelola waktu.
Pekerjaan terkait wirausaha tidak terbatas sebagai pelaku usaha konvensional (dagang atau produksi) saja, memberikan memotivasi seseorang untuk menjadi wirausaha juga menjadi salah satu jenis model bisnis yang menghasilkan bagi para pelakunya. Di bidang pendidikan, konsep wirausaha menjadi topik yang mnerik untuk diteliti oleh para akademisi, bahkan muncul jurusan atau program studi kewirausahaan. Euforia potensi wirausaha dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia juga membuat berbagai sektor bergerak; perbankan semakin gencar menawarkan modal usaha, pemerintah berinovasi dalam kepastian hukum bisnis, dan masyarakat mengubah pola konsumsinya.
Pada tahun 2012, di Jawa Timur tercatat 6,8 juta pelaku usaha; mikro, kecil, dan menengah atau 25% dari jumlah penduduknya jumlah tersebut diyakini terus bertambah. Hal ini dapat diindikasikan bahwa perekonomian semakin baik dan memiliki potensi masa depan yang cerah. Meskipun jumlahnya meningkat, secara umum wirausahawan di Indonesia masih bersusah payah mengejar ketertinggalan di tingkat internasional. Berbagai program dan dukungan telah dilakukan oleh pemerintah maupun pihak terkait, namun dampaknya masih jauh dari memuaskan.
Salah satu faktor krusial yang mempengaruhi kinerja wirausaha dan diyakini oleh para ahli sejak tahun 1961 adalah motivasi. Berdasarkan data penelitian sejak 1947 sampai 1961, David McClelland mengemukakan bahwa motivasi seseorang diprediksi dapat menentukan jenis karir dan kesuksesannya. Hasil penelitian tersebut semakin diperkuat oleh berbagai peneliti yang menemukan fenomena yang sama di berbagai negara.
Lantas, jika hanya dengan motivasi mengapa ribuan motivator wirausaha dan ribuan jam perkuliahan wirausaha belum mampu menjawab persoalan wirausaha di Indonesia?. Jawabannya terletak pada domain motivasi yang tak disadari oleh masing-masing individu.
McClelland dan Atkinson menyatakan bahwa motivasi seseorang bekerja pada dua wilayah yang berbeda: eksplisit dan implisit. Motivasi eksplisit adalah motivasi yang bekerja di atas kesadaran manusia, bereaksi berbeda pada kondisi tertentu, dan berlaku dalam jangka pendek. Sedangkan motivasi implisit adalah motivasi yang bekerja di bawah kesadaran manusia, bereaksi sama dalam setiap kondisi, dan belaku dalam jangka panjang. Dalam perwujudannya, perilaku yang didasarkan motivasi eksplisit selalu ditampakkan dengan tujuan untuk memperoleh pengakuan sosial, sedangkan motivasi implisit untuk memenuhi kepuasan pribadi dan bersifat spontan. Dalam prosesnya, motivasi eksplisit dapat terbentuk relatif cepat menyesuaikan respon apa yang diinginkan oleh seseorang dari lingkungannya. Sedangkan motivasi implisit terbentuk melalui proses panjang melalui pengalaman dan nilai-nilai sosial dalam kehidupan seseorang. Sehingga seringkali responnya tidak disadari atau bahkan disangkal oleh beberapa individu.
Motivasi wirausaha yang diberikan oleh para motivator dan pelajaran di kelas diyakini hanya bekerja pada tataran motivasi eksplisit seseorang karena terbentuk dalam waktu singkat, dilakukan untuk memenuhi kebutuhan sosial, dan akhirnya cenderung tidak bertahan lama. Para peserta yang mencapai kesuksesan sebagai wirausaha umumnya memiliki motivasi implisit yang jauh lebih kuat atau mampu membentuknya dengan mengikuti sesi motivasi secara berkelanjutan. Berdasarkan teori tersebut, ketertinggalan wirausaha di Indonesia dengan wirausahawan negara maju dapat disebabkan oleh tidak kompaknya antara motivasi eksplisit dengan motivasi implisit para pelaku wirausaha.
Secara spesifik, McClelland menyebutkan bahwa need for Achievement (n Ach) adalah domain motivasi yang secara khusus dapat menjadi pemicu kesuksesan seorang wirausaha. N Ach, adalah motivasi seseorang yang muncul karena mereka merasakan kepuasan jika mampu menguasai suatu bidang dan lebih baik daripada orang lain. Orang yang memiliki N Ach tinggi, juga diidentifikasi sebagai orang yang cenderung menyukai resiko, mengutamakan rasionalitas, dan perhitungan detail dalam membuat keputusan. Pembentukan motivasi implisit n Ach yang tinggi dipengaruhi oleh lingkungan keluarga dan lingkungan sosial dalam jangka panjang sehingga membentuk pengalaman serta respon spontan dalam setiap keputusan hidup, termasuk keputusan bisnis.
Lingkungan keluarga dan sosial mayoritas masyarakat Indonesia yang masih menganut sistem kekeluargaan dan kepentingan komunal memiliki peran besar dalam perilaku secara umum. Sikap menghindari resiko, menghindari konflik dalam kelompok dan takut menjadi berbeda adalah wujud dari sistem tersebut. Padahal, resiko, konflik, dan berbeda merupakan hal-hal yang harus dihadapi dalam dunia bisnis.
Untuk meningkatkan motivasi n Ach, nilai-nilai budaya yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia memang tidak lantas dihapuskan begitu saja, namun sikap berani menjadi berbeda dan menghadapi resiko harus ditingkatkan sejak dini agar generasi masa depan dapat bersaing dengan bangsa lain. Salah satu caranya adalah dengan menerapkan kebiasaan-kebiasaan kecil di keluarga dan di lingkungan seperti; memuji hasil karya anak, memberikan motivasi dan tantangan sejak dini, memberikan hukuman secara proporsional atas kesalahan yang dibuat anak, merangsang persaingan sehat di antara anak-anak. Jangan lagi mendidik anak dengan dongeng-dongen pesimis, magis, bahkan antagonis sehingga keberanian anak menjadi semakin tipis.
RADITYO PUTRO HANDRITO , SE., MM.
Dosen Manajemen FEB UB