Quantcast
Channel: Berita – Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya
Viewing all 811 articles
Browse latest View live

Organisation Culture & Leadership in The New Normal


Modal Sosial dalam Pandemi

$
0
0

Modal sosial dikenal sebagai modal pembangunan yang mendasar karena diyakini sebagai salah satu komponen utama yang dapat menggerakkan kebersamaan, mobilitas ide, rasa saling percaya, dan saling menguntungkan untuk mencapai kemajuan bersama. Menurut Robert Putnam, modal sosial dapat menjadi penyegar dalam kehidupan sosial yang secara substansial memiliki kepercayaan bertindak secara bersama (collective actions) dalam mewujudkan tujuan bersama.

Tidak dapat dimungkiri bahwa modal sosial yang ada dalam masyarakat merupakan aset karena telah menumbuhkan rasa saling percaya dalam bekerja sama. Hasil pengukuran Indeks Modal Sosial 2017 menunjukkan Indonesia memiliki poin 47,86. Angka tersebut menggambarkan bahwa kondisi modal sosial masyarakat Indonesia masih tergolong cukup untuk dijadikan modal pembangunan.

Masyarakat yang memiliki modal sosial tinggi akan membuka kemungkinan menyelesaikan kompleksitas persoalan dengan lebih mudah. Melalui rasa saling percaya, toleransi, dan kerja sama mereka dapat membangun jaringan di dalam kelompok masyarakatnya maupun dengan kelompok masyarakat lain. Sebaliknya, modal sosial yang lemah akan meredupkan semangat gotong-royong, memperparah kemiskinan, meningkatkan pengangguran, kriminalitas, dan menghalangi setiap upaya untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk.

PSBB di Indonesia

Penerapan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB dalam beberapa waktu terakhir secara bertahap telah mulai diberlakukan di berbagai daerah di Indonesia untuk mencegah semakin meluasnya sebaran Covid-19. Meski kasus infeksi virus korona sudah ditemukan di 34 provinsi di Indonesia, tidak semua daerah bisa mengajukan pemberlakuan PSBB. Ada syarat-syarat tertentu bagi sebuah daerah jika ingin mengimplementasikan kebijakan PSBB di wilayahnya. PSBB ini memiliki jangka waktu 14 hari, jika wilayah yang terjangkit virus masih dalam zona merah maka status PSBB akan diperpanjang.

Kebijakan PSBB berbeda dengan karantina wilayah. Penerapan PSBB lebih menitikberatkan pada mengelola pergerakan manusia sekaligus memperkuat daya tahan kesehatan. Pilihan kebijakan PSBB masih memungkinkan adanya perputaran ekonomi. Selain itu, selama pemberlakuan masa PSBB juga masih diperbolehkan bagi transportasi umum untuk beroperasi. Selama masa PSBB pemerintah hanya membatasi jumlah penumpang, misalnya KRL hanya membatas 60 penumpang per gerbong. Hal tersebut juga berlaku bagi kendaraan pribadi, pemerintah hanya mengurangi jumlah penumpangnya hingga 50% yang diperbolehkan untuk berada di dalam kendaraan pribadi tersebut untuk meminimalisasi penyebaran Covid-19 dengan menjaga prinsip physical distancing.

Meskipun PSBB telah diterapkan di beberapa wilayah di Indonesia yang termasuk dalam zona merah Covid-19, hasil PSBB di masing-masing wilayah tersebut tak sama. Masing-masing kepala daerah dapat memberlakukan perpanjangan masa PSBB berdasarkan hasil evaluasi terhadap tren penyebaran Covid-19 selama PSBB. Perpanjangan masa PSBB di masing-masing wilayah berbeda. DKI Jakarta merupakan salah satu daerah zona merah yang mengawali penerapan PSBB sejak 10 April 2020 terus mengalami perpanjangan masa PSBB yang direncanakan hingga 4 Juni mendatang. Selain itu, Surabaya yang saat ini masih menghadapi tingginya jumlah kasus Covid-19 memberlakukan perpanjangan masa PSBB tahap kedua di wilayah tersebut. Berbeda dengan Surabaya, Gubernur Jawa Timur bersama tiga kepala daerah Malang Raya dan memutuskan bahwa PSBB Malang Raya hanya dilakukan sekali. Pengambilan keputusan tersebut mengacu pada pedoman yang dikeluarkan oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO) yang harus dipastikan terkait masa transisi suatu wilayah pasca restriksi (PSBB).

Peran serta masyarakat mutlak diperlukan agar masa PSBB tidak terus berlarut-larut. Pemberlakuan kebijakan PSBB merupakan salah satu upaya baik yang dilakukan pemerintah untuk menghentikan laju pertumbuhan dari Covid-19. Akan tetapi, di balik itu, PSBB dapat memberi dampak atau efek samping negatif khususnya pada kegiatan ekonomi. Pada skenario sangat berat, Indef memprediksi ekonomi bisa minus 0,20% dan tumbuh hanya 1,40% pada skenario ringan. Per 20 April 2020, Kementerian Tenaga Kerja mencatat sudah ada 2,2 juta pekerja yang dipecat dan dirumahkan, angka ini akan terus bertambah hingga pandemi usai.

Ribuan perusahaan juga akan gulung tikar jika pandemi tidak berakhir dalam tiga bulan. Jumlah orang miskin bahkan diprediksi bertambah pada kisaran 1,1 juta hingga 3,78 juta orang.

Modal Sosial Solusi Hadapi Pandemi

Sesuai teori modal sosial, bahwa suatu masalah besar di dalam masyarakat membutuhkan nilai-nilai sosial. Suatu kerja sama seluruh kelompok sosial dalam menyelesaikan masalah tersebut melalui tindakan bersama untuk mencapai tujuan bersama. Kepercayaan, keterbukaan informasi, saling menghargai adalah faktor-faktor yang berpengaruh pada modal sosial. Semakin baik rasa saling percaya, rasa saling menghargai, serta terbukanya informasi, nilai modal sosial semakin tinggi dan menjadi faktor penting dalam keberhasilan kebijakan publik.

Modal sosial yang dimiliki masyarakat Indonesia sejatinya telah terbukti mempercepat pemulihan bencana, seperti saat tsunami Aceh 2004, gempa bumi Yogyakarta pada 2006, dan erupsi Merapi pada 2010. Karena itu, modal sosial tersebut kini juga mampu menjadi solusi bagi Indonesia dalam menghadapi bencana Covid-19.

Melalui modal sosial yang sudah ada, seharusnya masyarakat mampu membangun rasa kebersamaan, rasa senasib sepenanggungan, dan empati yang tinggi untuk masyarakat yang terdampak langsung pandemi ini. Gerakan ini, seperti Kampung Tangguh yang diinisiasi masyarakat dan dibantu oleh Universitas Brawijaya, Malang, terbukti mampu menahan sebaran, serta mengedukasi masyarakat tentang bahaya pandemi dan bagaimana masyarakat harus bersikap.

Dari aspek itu juga PSBB di beberapa wilayah bisa berhasil dan ada wilayah PSBB yang tidak berjalan efektif. Kesadaran masyarakat, sikap gotong-royong, serta contoh-contoh yang baik dari para pengambil kebijakan dan pemimpin, akan membangun koneksitas rasa, yang berujung pada collective actions untuk bersama-sama memerangi Covid-19 ini.

Kita berharap berdasarkan modal sosial yang kita miliki saat ini, serta segala usaha yang sudah dikerahkan, pandemi sesegera mungkin berlalu dan kita mampu bangkit bersama untuk mengejar ketertinggalan yang diakibatkan oleh Covid-19 ini. Semoga.

Prof Candra Fajri Ananda PhD
Staf Khusus Menteri Keuangan Republik Indonesia

Kawal Kebijakan

$
0
0

Pandemi Covid-19 telah membawa keterpurukan yang mendalam bagi perekonomian Indonesia. Kejutan ekonomi dimulai dari data yang menunjukkan bahwa ekonomi kuartal I-2020 tumbuh di luar dugaan, yakni hanya mencapai 2,97% secara tahunan.

Ironisnya, pelemahan ekonomi nasional pada kuartal pertama tersebut diprediksi masih akan terjadi hingga titik terendahnya, yakni di kuartal II-2020. Perekonomian nasional diprediksi hanya tumbuh mendekati 1% atau nyaris stagnan pada kuartal II-2020. Berbagai akumulasi kondisi, mulai dari physical distancing hingga Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), berpotensi ikut menggerus laju perekonomian nasional di kuartal II-2020.

Pembatasan aktivitas masyarakat secara langsung berdampak terhadap pengurangan konsumsi barang-barang kebutuhan nonpokok. Sinyal pelemahan konsumsi ini juga terlihat pada penurunan indeks keyakinan konsumen dan penjualan eceran pada Maret 2020 sebesar -5,4% (yoy).

Berdasarkan berbagai prediksi bahwa akan terjadi pelemahan ekonomi nasional yang lebih mendalam di kuartal II-2020, maka pemerintah melalui kebijakan ekonominya tidak hanya perlu mempertimbangkan kebijakan yang hanya mengedepankan cepat, namun juga harus tepat. Secara spesifik, pemulihan ekonomi di tengah pandemi perlu dipastikan bahwa kebijakan yang dikeluarkan harus tepat sasaran, tepat mekanisme (good governance), dan tepat output dan outcome yang muncul sebagaimana direncanakan.

Program Pemulihan Ekonomi Nasional

Pemulihan ekonomi nasional melalui PP Nomor 23 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) bertujuan untuk mendukung kebijakan keuangan negara dalam penanganan pandemi Covid-19. Oleh sebab itu, percepatan pemulihan ekonomi juga harus dilakukan dan tidak keluar dari tujuan utama PEN, yakni untuk melindungi, mempertahankan, dan meningkatkan kemampuan ekonomi pelaku usaha baik di sektor riil maupun keuangan, termasuk kelompok usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).

Kini kondisi riil di tengah masyarakat terdampak Covid-19 sangat memprihatinkan. Program PEN dengan sebesar total Rp641,17 triliun tersebut diharapkan menjadi satu di antara solusi upaya pemerintah mengatasi persoalan ekonomi yang tengah dihadapi.

Dana sebesar Rp641,17 triliun yang digunakan untuk mendanai 11 instrumen kebijakan PEN tersebut jauh lebih tinggi dari perkiraan awal. Hal ini menunjukkan bahwa dampak Covid-19 pada perekonomian nasional terus berkembang dan akan semakin besar nilainya.

Dukungan anggaran sebesar Rp172,1 triliun diberikan untuk mendorong sisi konsumsi, melalui subsidi atau bantuan sosial, terutama memberikan perlindungan dan insentif masyarakat yang miskin dan rentan secara lebih luas. Pemerintah mengakui dukungan tersebut tidak akan serta-merta menyubstitusi pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang melambat signifikan pada kuartal I-2020, setidaknya perlambatan pertumbuhan konsumsi lebih mampu di-“rem” untuk terperosok ke dalam.

Selanjutnya dari sisi supply, pemerintah memberikan dukungan agar mereka dapat bertahan menghadapi tekanan Covid-19 dan dapat rebound atau bahkan jumpstart pada periode berikutnya. Fokus utama dalam hal ini adalah UMKM yang mampu menampung jumlah tenaga kerja yang lumayan besar. UMKM mendapatkan subsidi bunga, penundaan pembayaran cicilan pokok, hingga insentif pajak penghasilan (PPh), dengan harapan mampu bertahan dengan tetap berproduksi dan mampu menjual produknya.

Nilai subsidi bunga untuk UMKM Rp34,15 triliun, insentif perpajakan untuk UMMK sebesar Rp123,01 triliun, alokasi untuk penjaminan kredit modal kerja baru UMKM sebesar Rp6 triliun, dan penempatan dana pemerintah dalam rangka restrukturisasi kredit UMKM sebesar Rp87,59 triliun.

Dalam posisi yang demikian, pemerintah berharap para pengusaha UMKM dapat memanfaatkan berbagai insentif yang diberikan seiring dengan upaya pemulihan ekonomi yang secara bertahap tengah diupayakan.

Di luar UMKM yang diberikan insentif dan subsidi, BUMN juga mendapatkan dukungan untuk masuk sebagai aktor ekonomi yang harus diselamatkan mengingat jaringan ekonominya yang cukup besar baik dari sisi nilai tambah dan jumlah tenaga kerja yang ada.

Tentu saja, seluruh program PEN yang diberikan oleh pemerintah ini berbiaya sangat mahal. Karena itu, ketepatan kebijakan ini baik target, proses, maupun kecepatan akan sangat menentukan outcome yang akan muncul pada semester kedua atau periode pertama di tahun 2021.

Monitoring dan Evaluasi Program

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional mengamanatkan pengendalian dan evaluasi terhadap pelaksanaan rencana pembangunan. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2006, disebutkan bahwa, monitoring merupakan suatu kegiatan mengamati secara seksama suatu keadaan atau kondisi, termasuk juga perilaku atau kegiatan tertentu dengan tujuan agar semua data masukan atau informasi yang diperoleh dari hasil pengamatan tersebut dapat menjadi landasan dalam mengambil keputusan tindakan selanjutnya.

Evaluasi bertujuan untuk melihat tingkat keberhasilan pengelolaan kegiatan. Caranya melalui kajian terhadap manajemen dan output pelaksanaannya serta permasalahan yang dihadapi. Hal itu selanjutnya menjadi bahan evaluasi kinerja program dan kegiatan selanjutnya. Beberapa rangkaian kegiatan yang harus dilakukan adalah menganalisis realisasi masukan (input), proses, keluaran (output), dan hasil (outcome) terhadap rencana dan standar.

Pada dasarnya, outcome yang diharapkan dari berbagai program PEN yang digulirkan pemerintah ialah untuk memulihkan pertumbuhan ekonomi nasional. Bila dilihat dari komposisi alokasinya, pemerintah cukup komprehensif memperhatikan berbagai yang perlu distimulus. Sekitar Rp686,20 triliun telah dialokasikan untuk biaya penanganan Covid-19 ini, tentu dengan harapan dampak yang muncul semakin terkendali dan perekonomian tidak jatuh terperosok terlalu dalam. Akan tetapi, untuk dapat mencapai outcome yang diharapkan, pemerintah perlu melakukan monitoring dan evaluasi secara berkala dalam rangka melihat apakah kebijakan alokasi tersebut efektif atau tidak. Hal ini tentu dengan semangat untuk mencegah (preventif), sekaligus melakukan koreksi lebih awal, agar tidak terlalu besar kesalahan yang muncul.

Sebenarnya lembaga pemerintah, Komite Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), telah berupaya melalui imbauan atau membuat website yang menerima aduan masyarakat terkait dengan program-program pemerintah. Hal ini tentu juga dengan harapan dan tujuan yang sama.

Menyikapi situasi tersebut, sangat penting dalam mendisain kebijakan atau bahkan penyusunan program, pemerintah perlu memasukkan unsur kegiatan monitoring dan evaluasi (monev) dalam setiap kebijakan atau program yang dieksekusi. Keuntungan lain, dengan adanya monev, kinerja kebijakan atau program tersebut terukur, dan perbaikan ke depan lebih mudah dipetakan. Kita berharap semua bahwa pemulihan ekonomi nasional, program jaring pengaman sosial, kesehatan, dapat berjalan sesuai rencana, dengan seminimal mungkin kesalahan dan outcome yang diharapkan tercapai. Aamiin.

Prof Candra Fajri Ananda PhD
Staf Khusus Menteri Keuangan Republik Indonesia

Kebijakan Covid-19 Berbasis Data

$
0
0

DAMPAK Covid-19 agaknya sudah membuat banyak pihak mulai kalang kabut untuk mengatasinya, mulai sektor publik, kalangan swasta, hingga rumah tangga. Rentetan masalah terus mendatangi dan mulai menebar ancaman krisis sosial dan ekonomi. Kita mulai dipaksa menerima ’’new normal’’. Memang ada beberapa gaya baru yang lahir setelah pandemi ini berjalan, seperti perubahan perilaku, pola interaksi antarmasyarakat, serta beberapa aktivitas yang saat ini mesti dikerjakan di rumah (bekerja dan sekolah/kuliah). Hingga saat ini pun belum ada pihak yang berani memastikan kapan pandemi ini berakhir.

Pengaruh negatif terhadap pembangunan Indonesia mulai terasa. Pertumbuhan ekonomi di kuartal I 2020 sudah melambat signifikan hingga hanya menyisakan 2,97 persen (yoy). Padahal, kebijakan pembatasan aktivitas sosial baru terjadi di

DAMPAK Covid-19 agaknya sudah membuat banyak pihak mulai kalang kabut untuk mengatasinya, mulai sektor publik, kalangan swasta, hingga rumah tangga. Rentetan masalah terus mendatangi dan mulai menebar ancaman krisis sosial dan ekonomi. Kita mulai dipaksa menerima ’’new normal’’. Memang ada beberapa gaya baru yang lahir setelah pandemi ini berjalan, seperti perubahan perilaku, pola interaksi antarmasyarakat, serta beberapa aktivitas yang saat ini mesti dikerjakan di rumah (bekerja dan sekolah/kuliah). Hingga saat ini pun belum ada pihak yang berani memastikan kapan pandemi ini berakhir.

Pengaruh negatif terhadap pembangunan Indonesia mulai terasa. Pertumbuhan ekonomi di kuartal I 2020 sudah melambat signifikan hingga hanya menyisakan 2,97 persen (yoy). Padahal, kebijakan pembatasan aktivitas sosial baru terjadi di pengujung kuartal I. Pemerintah sedang mengamati perkembangan kondisi yang sepertinya mulai mengarah pada skenario terberat, yakni kontraksi -0,4 persen.

Hal ini sudah sangat wajar mengingat kinerja beberapa kutub perekonomian kita sedang seret. Sektor industri selaku kontributor utama PDB lapangan usaha pada kuartal kemarin tumbuh 3,85 persen. Prospek ke depan tampak cukup suram lantaran berdasar survei ILO (2020), 2 di antara 3 perusahaan yang disurvei telah menghentikan operasional karena dampak Covid-19, baik yang tutup sementara maupun permanen. Sekitar 52 persen perusahaan kehilangan pendapatan hingga lebih dari 50 persen. Selain itu, 90 persen perusahaan yang disurvei mengalami permasalahan arus kas hingga banyak di antara mereka yang berusaha melakukan negosiasi dengan para bank, pemasok, dan pekerja.

Kinerja negatif dunia usaha tentu bukan permasalahan sepele, terutama mereka yang bergerak di sektor industri. Sektor industri merupakan jembatan (bridge) antara hulu (sektor primer) dan hilir (sektor tersier). Hal ini diperparah dengan pengurangan jumlah pekerja yang berdasar survei ILO sudah mencapai 63 persen dengan prospek yang bisa terus meningkat (baik temporer maupun permanen). Kalau sudah demikian, sangat wajar apabila asumsi pertumbuhan ekonomi menjadi kian suram karena konsumsi rumah tangga merupakan tulang punggung utama PDB dari sisi pengeluaran. Konsumsi rumah tangga sendiri pada kuartal I 2020 hanya tumbuh 2,84 persen (yoy), menunjukkan indikator pelemahan daya beli masyarakat dan harus diselesaikan dengan cepat melalui program-program yang saat ini dilakukan.

Dampak ekonomi yang sudah terlihat jelas tersebut juga diikuti dampak nonekonomi, sosial, dan budaya. Berbagai kegiatan ibadah yang biasanya dilakukan secara berjamaah dan di tempat ibadah seperti masjid, gereja, maupun wihara harus dilakukan secara sendiri-sendiri, misalnya di rumah atau di tempat kerja. Masih banyak kelompok masyarakat yang bersikukuh dengan alasan religiusitas ingin tetap beribadah, tetapi dari laporan BNPB terlihat bahwa episentrum Covid-19 ini banyak bersumber dari kelompok masyarakat yang sedang menjalankan perkumpulan, walaupun pemerintah sudah mengingatkan terkait dengan risiko yang akan ditimbulkan.

Dari berbagai persoalan itu, kesehatan, dampak ekonomi, dan sosial, tentu pemerintah dituntut untuk mendesain kebijakan yang tepat, cepat, dan mudah diimplementasikan. Ini tentu tidak mudah, tetapi tuntutan saat ini memang harus seperti demikian dan data merupakan satu faktor paling penting dan signifikan dalam menentukan kualitas kebijakan publik yang disusun.

Akurasi Tindakan

Dinamika Covid-19 berjalan sangat cepat, maka akurasi dan kecepatan kebijakan menjadi sangat penting. Proses perumusan kebijakan dituntut sangat reaktif dengan bekal data yang (semestinya) transparan, terukur, efektif, dan efisien. Beberapa langkah kuratif yang dilakukan pemerintah terbukti belum cukup efektif untuk membendung laju persebaran Covid-19 hingga pemerintah perlu lebih mengefektifkan pencegahan yang juga sudah dilakukan di daerah-daerah. Salah satu penyebabnya bisa jadi karena data sebagai dasar pembuatan kebijakan tidak lagi sesuai dengan kondisi riil di lapangan, mengingat cepatnya perubahan. Karena itu, ketersediaan big data semestinya bisa mendukung perumusan kebijakan agar kinerjanya lebih akurat.

Ada insights menarik yang dicontohkan platform digital Qasir dalam menganalisis kondisi ekonomi secara real time di Malang Raya. Qasir mampu meng-captures beberapa gambaran riil dari hasil olah big data sebagai bahan risetnya hingga akhirnya mereka menghasilkan luaran yang menurut penulis sangat representatif dengan kondisi yang ada, terutama terkait perubahan perilaku dan dinamika lingkungan bisnis selama Covid-19 berjalan. Qasir dengan kumpulan transaksi yang dikumpulkan mampu menganalisis secara aktual perubahan bisnis setiap hari. Bagi para pengusaha, ini bisa menjadi alert untuk terus waspada akan ancaman pada bisnis mereka. Bagi pemerintah, keberadaan data ini sangat membantu untuk membuat kebijakan yang tepat sesuai dengan yang diperlukan sektor bisnis tersebut.

Berkaca dari pengalaman tersebut, penting bagi pemerintah terus memperbaiki kualitas data yang selama ini ada dan dipakai sebagai dasar perhitungan penganggaran dan kebijakan publik lainnya. Kekisruhan yang sempat timbul yang dilaporkan beberapa media cetak, elektronik, maupun sosial, pada saat pembagian bantuan sosial kemarin, merupakan dampak lemahnya kualitas data yang dimiliki pemerintah.

Untuk waktu selanjutnya, kondisi seperti tersebut jangan sampai terus berulang. Apalagi dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2020 dan 2021 sudah ditetapkan bahwa program pemulihan ekonomi menjadi salah satu agenda prioritas pembangunan di tahun 2021.

Sebelum berbagai bentuk subsidi dan insentif dikucurkan, ada baiknya pemerintah perlu mengintegrasikan data-data yang ada, termasuk kualitasnya, agar nanti kualitas kebijakan yang dihasilkan betul-betul menjadi obat yang mujarab (elevate) dalam menyelesaikan problematika yang ada. Dengan data yang lebih baik, pemerintah akan mampu menghitung anggaran lebih tepat, estimasi sampai berapa lama subsidi ini akan diberikan, agar insentif dan subsidi yang diberikan justru menimbulkan ketergantungan, semakin tidak berdaya, dan mendistorsi pasar. Hasil akhirnya, tentu pelaku-pelaku ekonomi kita tidak memiliki daya tarung (fighting spirit), daya saing (competitive) rendah, dan hanya berharap pada subsidi dan insentif setiap tahun.

Pandemi ini, di luar sebagai cobaan yang sangat berat bagi bangsa ini, telah mengajarkan dan memaksa kita untuk harus berubah dan menyesuaikan (transform) pada lingkungan yang baru dan dinamis ini. Pemanfaatan data, terutama big data, serta bukti aktual yang dibangun berdasar analisis yang tepat dan detail akan sangat membantu dan mendesak bagi penyusunan desain kebijakan yang berkualitas dan berorientasi pada tujuan.

Memang perubahan itu sunnatullah, tidak ada yang kekal di dunia ini, semua pasti berubah atau berakhir. Tetapi, sebagai makhluk Tuhan, kita diberi akal dan tenaga untuk terus berikhtiar dan memberikan upaya terbaik bagi kesejahteraan manusia, kita semua, wallahu a’lam. (*)

Candra Fajri Ananda, Guru besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya Malang

Sidang Pleno VIII AFEBI – FEB UB 2020

$
0
0

Sidang Pleno VIII AFEBI Hari Ke 2 – FEB UB 2020

PAD Kota Malang Diprediksi Turun 20,78 Persen, Ini Upaya Kejar Target Penerimaan Pajak

Resiliensi Industri di Tengah Pandemi

$
0
0

Pandemi Covid-19 telah berdampak besar bagi perekonomian nasional hampir di seluruh sektor. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I/2020 tumbuh melambat hanya sebesar 2,97% (yoy). Covid-19 telah berhasil memukul perekonomian Indonesia tepat mengenai dua sisi sekaligus, sisi permintaan dan penawaran.

Dampaknya, indeks manufaktur Indonesia (PMI) pada April 2020 merosot tajam bila dibandingkan dengan indeks PMI negara ASEAN. Presiden Joko Widodo menyebutkan bahwa indeks PMI Indonesia berada pada level 27,5. Angka tersebut lebih rendah daripada indeks Korea Selatan yang berada di angka 41,6, Malaysia (31,3), Vietnam (32,7), dan Filipina (31,6).

Ironisnya, angka tersebut merupakan level terendah sejak 2011 dan terendah di antara negara-negara ASEAN. Posisi angka tersebut didapat berdasarkan survei IHS Market yang di dalamnya penurunan PMI ke posisi terendah sepanjang survei pada bulan April ini dipengaruhi persebaran Covid-19 yang berimbas pada penutupan pabrik dan anjloknya permintaan, output, dan permintaan baru. Oleh sebab itu, untuk mempertahankan perekonomian nasional agar tidak jatuh dalam resesi berkepanjangan, pemerintah perlu menemukan formula dan strategi yang tepat untuk membantu industri bangkit dari keterpurukan ini.

Resiliensi pada Industri

Resiliensi (ketahanan) dipahami sebagai kapasitas untuk meminimalkan kerugian ketika terjadi hantaman ekonomi. Adapun menurut OECD (2017), ketahanan ekonomi didefinisikan sebagai kapasitas ekonomi dalam mengurangi kerentanan untuk melawan guncangan dan dapat pulih dengan cepat. Hal itu dapat diperkuat dengan mengeksplorasi peran kebijakan yang dapat mengurangi risiko dan konsekuensi dari krisis berat.

Dalam hal ini tingkat ketahanan akan ditentukan dari seberapa baik tindakan dan interaksi saling pengaruh antara politik, ekonomi, dan lingkungan sosial dapat melindungi kinerja ekonomi yang diukur terhadap fungsi tujuan sosial dan pascakrisis. Dalam hal ini industri yang memiliki resiliensi ialah industri yang masih mampu berproduksi dan menjual produknya dan mampu sekaligus mempertahankan tenaga kerjanya di tengah pandemi.

Selama pandemi berlangsung, dukungan pemerintah terus diupayakan melalui pemberian berbagai insentif yang bertujuan membantu industri yang terdampak agar dapat bertahan dan bangkit. Insentif berupa keringanan pajak atas pajak penghasilan (PPh) Pasal 21, PPh Pasal 22 Impor, PPh Pasal 25, pajak pertambahan nilai (PPN) hingga fasilitas pajak penghasilan final tarif 0,5% (PP 23/2018) UMKM yang ditanggung pemerintah merupakan berbagai fasilitas insentif yang ditujukan untuk membantu para pengusaha di Indonesia dalam menghadapi dan melewati masa sulit akibat dampak buruk Covid-19.

Selain itu kelonggaran lain yang juga diberikan pemerintah bagi industri untuk dapat bertahan antara lain melalui pemberian relaksasi jangka waktu pelunasan cukai, insentif tambahan pembebasan bea masuk (BM), insentif pembebasan BM untuk impor alat kesehatan (alkes) komersial/nonkomersial, insentif relaksasi prosedural penyerahan SKA secara online, serta perluasan pemberian pembebasan cukai EA.

Penundaan kontrak, pembatalan pesanan, penurunan produksi dan penjualan hingga permintaan yang susut merupakan persoalan yang saat ini dihadapi para pelaku industri. Bahkan tak sedikit perusahaan yang terpaksa melakukan pengurangan pegawai akibat penurunan kapasitas produksi, termasuk di dalamnya ancaman penutupan industrinya.

Secara umum sektor terdampak Covid-19 ini bisa dikelompokkan berdasarkan skala dampak ringan, sedang hingga berat. Sebagian besar industri bekerja hanya 60% dari kapasitas normal. Industri perdagangan besar, pakaian jadi, dan tekstil menjadi industri yang paling terdampak dari sisi ketersediaan bahan baku dan dari sisi produksi. Khusus bagi industri perdagangan besar, dampak lain yang diterimanya juga signifikan dari sisi distribusi dan penjualan.

Pada kelompok usaha di bidang ekspor-impor, penurunan jumlah pegawai terbesar bila dibandingkan dengan sektor lainnya ialah sektor garmen, elektronik, kayu, kendaraan bermotor, karet, dan furnitur. Adapun penurunan jumlah pegawai di bidang ekspor-impor dilihat dari wilayahnya sebagian besar terjadi di Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, Banten, dan Jawa Timur.

Meski demikian perlu diketahui bahwa tidak semua sektor usaha terdampak pandemi. Ada beberapa sektor usaha yang justru mengalami peningkatan permintaan pasar dan diprediksi memperoleh keuntungan lebih ketika pandemi. Beberapa sektor tersebut antara lain farmasi, alkes, jasa telekomunikasi dan internet, logistik, dan beberapa industri tekstil. Sektor usaha tersebut saat ini memiliki permintaan tinggi untuk memenuhi kebutuhan pasar baik di dalam maupun luar negeri di tengah masa krisis. Permintaan terhadap obat-obatan, alat pelindung diri (APD), alkes, etanol, masker, dan sarung tangan yang tinggi tersebut selanjutnya juga berkontribusi memperkuat neraca perdagangan.

Berdasarkan hasil survei Direktorat Jenderal Bea Cukai (2020), bila strategi perusahaan yang terdampak Covid-19 berlangsung hingga akhir tahun, sebagian besar usaha menyatakan akan bertahan dengan pengurangan produksi, terutama pada industri garmen dan perdagangan besar, untuk bisa bertahan. Memang tidak sedikit yang menyatakan menunggu perkembangan wabah Covid-19.

Kebijakan Tepat dan Terukur

Pandemi tidak dapat kita hindari dengan segala ketidakpastiannya. Presiden menyatakan bahwa masyarakat kini perlu segera beradaptasi dengan kondisi dan bangkit dengan kehidupan normal baru. Walaupun sektor industri sedang menghadapi masa sulit, kondisi sekarang merupakan momentum tepat bagi sektor industri untuk bersama-sama bangkit. Merujuk pada paparan IMF, Indonesia merupakan salah satu negara yang perekonomiannya diprediksi mampu tumbuh positif pasca-Covid-19. Oleh sebab itu pada kuartal III dan IV kita perlu optimistis dan terus berupaya untuk membangkitkan ekonomi dari keterpurukannya akibat Covid-19.

Kebangkitan sektor industri nasional dapat tercapai apabila perumusan kebijakan dilakukan secara tepat dan terukur saat wabah ini terjadi. Agar pemerintah bisa membantu secara tepat, pemerintah melakukan mitigasi terhadap berbagai industri yang memiliki resiliansi dengan harapan pemerintah bisa memberikan resep yang cocok kepada industri.

Bagi pelaku industri, pandemi saat ini memaksa pebisnis untuk mampu meningkatkan self-resilience bisnisnya. McKinsey membagikan konsep 5R kepada para pelaku bisnis dalam menghadapi masa-masa sulit ini. Konsep 5R terdiri atas Resolve, Resilience, Return, Reimagination, dan Reform. Kemampuan untuk menyelesaikan, bertahan, bertransformasi merupakan faktor dasar dalam menghadapi krisis saat ini. Pemerintah perlu menyediakan ruang (insentif policy), menyediakan playing field yang adil serta melakukan intervensi secara langsung jika prosedur yang ditetapkan dianggap tidak berjalan dengan baik.

Simpulan bijak atas semua ini adalah diperlukan kerja bersama dalam menghadapi pandemi ini, yaitu pemerintah, masyarakat, baik individu maupun kelompok, perlu membangun kerja aktif bersama-sama untuk melewati pandemi yang dihadapi saat ini.

Prof Candra Fajri Ananda, PhD
Staf Khusus Menteri Keuangan Republik Indonesia


Live Streaming Pengukuhan Prof. Dr. Muh Khusaini, SE., M.Si. MA.

Pengantar Metode Kuantitatif dan Aplikasi Regresi Time Series

Pelatihan Penggunaan Media Daring Jurusan Manajemen

$
0
0

Kebijakan protocol physical distancing akibat dari pandemi Covid-19 yang melanda dunia berdampak besar pada pendidikan. Tingginya risiko penularan penyakit ini mendorong Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia menerbitkan Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Kebijakan Pendidikan dalam Masa Darurat Penyebaran Corona Virus Disease (Covid-19). Seluruh jenjang Pendidikan ‘dipaksa’ bertransformasi untuk menggunakan media daring, sehingga proses belajar mengajar dapat dilakukan dari rumah.

Pembelajaran dengan sistem daring yang datang tiba-tiba bukanlah hal yang mudah. Sistem ini membutuhkan kesiapan dari tenaga pendidik maupun peserta didik untuk mampu menggunakan teknologi digital. Tantangan berat terutama dialami oleh tenaga pendidik, karena selain harus memiliki literasi digital, tenaga pendidik juga harus merancang metode yang tepat agar capaian pembelajaran yang diinginkan tercapai.

Sebagai respon atas permasalahan tersebut, maka Jurusan Manajemen FEB UB mengadakan pelatihan penggunaan media daring dalam proses belajar mengajar. Pelatihan ini dilakukan pada hari Senin, 22 Juni 2020 dan Kamis, 25 Juni 2020 bertempat di Ruang Sidang Utama FEB UB. Pemateri pada pelatihan ini yaitu Bapak Agus Widyatama dan Bapak Mahendra Dwicahya Putra. Materi pelatihan meliputi penggunaan Big Blue Button dan Google Classroom. Adapun peserta kegiatan ini adalah Dosen Luar biasa, Dosen tetap Jurusan Manajemen FEB UB. Sasaran kegiatan ini yaitu penguasaan penggunaan media daring dalam menunjang kegiatan belajar mengajar, baik dalam melakukan kegiatan tatap muka, pelaksanaan ujian (kuis, ujian tengah semester, dan ujian akhir semester), maupun pemberian nilai. Melalui kegiatan pelatihan ini diharapkan dosen pada Jurusan Manajemen mampu berinovasi dan kreatif dalam mendesain media pembelajaran maupun metode pembelajaran dengan memanfaatkan media daring.

New Normal Dalam Perspektif 5W1H Part 1

New Normal Dalam Perspektif 5W1H Part 2

Kemahasiswaan dan Alumni FEB UB Asah Soft Skill Mahasiswa dan Tenaga Pendidik lewat Public Speaking

$
0
0

Kemahasiswaan dan Alumni Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya (FEB UB) menyelenggarakan Pelatihan Public Speaking bagi pengurus Lembaga Mahasiswa FEB Periode Tahun 2020. Acara diselenggarakan di Ruang Seminar BRI Gedung Utama Lt. 3 FEB UB pada Rabu (19/02/20, bertujuan agar Pengurus Lembaga Mahasiswa FEB UB sadar akan pentingnya menguasai public speaking. Selain itu juga agar Pengurus Lembaga Mahasiswa FEB UB dapat mengerti mengenai apa itu public speaking serta tata cara menjadi public speaker yang memiliki keterampilan dan dapat dipahami oleh pendengar.

“Kemampuan berbicara didepan umum merupakan dasar penting bagi seorang public speaking agar dapat menguasai jalannya suatu acara. Usia muda dan aktifis di lembaga kampus adalah kesempatan untuk para mahasiswa mengasah kemampuan berbicara didepan umum,” kata Saza Azizah Anindyo, S.I.Kom. selaku narasumber.

Tidak hanya para mahasiswa dari lembaga kemahasiswa FEB UB tapi ada para tenaga pendidik yang diundang dalam pelatihan ini. Harapan dari acara ini adalah membangun motivasi para mahasiwa dan tenaga pendidik untuk bisa menjadi public speaking.

Menakar Investasi yang Dibutuhkan

$
0
0

Keterpurukan ekonomi nasional akibat Pandemi Covid-19 tak dapat dihindari. Kini perlahan Indonesia berusaha bangkit melawan dampak pandemi. Upaya pemerintah saat ini selain menahan jangan sampai konsumsi rumah tangga drop melalui bantuan langsung tunai (BLT) dan bantuan lain, adalah menarik penanaman modal asing (PMA) sebanyak mungkin untuk masuk ke Indonesia. Apalagi melihat banyak industri dengan pandemi yang terjadi di China, investasi mulai berpindah lokasi ke negara-negara lain.

Tentu ini menjadi peluang besar bagi Indonesia, selain untuk Vietnam, Kamboja, Thailand, dan Malaysia. Karena itu, berbagai kemudahan prosedur perizinan, pembangunan jaringan infrastruktur darat, laut, serta fasilitas perpajakan yang lebih ramah pada pengusaha terus diupayakan. Bahkan untuk menurunkan biaya logistik yang sebelumnya sangat mahal, sekitar 23,5% PDB, pemerintah telah mengeluarkan perpres untuk menekan biaya logistik tersebut dengan menerapkan NLE (National Logistic Ecosystem) yang merubah secara mendasar terutama dengan penerapan teknologi pada sistem transportasi, pergudangan.

Seiring dengan upaya pemerintah dalam memberikan kemudahan prosedur perizinan untuk menarik PMA, nyatanya berdasarkan informasi yang beredar para investor asing masih lebih tertarik untuk melabuhkan investasinya di negara lain. Alasan investor enggan berinvestasi di Indonesia bukan hanya sekadar permasalahan iklim investasi, melainkan juga karena keterbukaan Indonesia terhadap PMA tidak sejalan dengan keterbukaan Indonesia terhadap tenaga kerja asing (TKA). Pasalnya, tak sedikit pekerja asing, salah satunya dari Jepang, yang mengeluhkan kesulitan dalam mengambil visa kerja. Persyaratan dan prosedurnya yang semakin ketat, kerap berubah-ubah, hingga pengawasan yang semakin ketat terhadap orang asing menjadi pertimbangan kenyamanan bagi investor asing untuk berinvestasi di Indonesia.

Beban Ekonomi Indonesia

Harus kita akui bahwa dampak ekonomi dari pandemi yang dihadapi Indonesia sangat berat. Pemerintah terus berupaya menahan ancaman kemerosotan ekonomi yang mungkin akan terus terjadi. Hal ini nanti bisa kita lihat pada capaian pertumbuhan ekonomi pada kuartal II. Beberapa lembaga sudah memprediksi bahwa capaian pertumbuhan ekonomi Indonesia akan negatif, ada yang sangat dalam dan ada yang tidak terlalu dalam.

Menyikapi semua prediksi tersebut, pemerintah berusaha mengantisipasi dengan ekspansi fiskal yang sangat besar. Total dana yang disediakan untuk kesehatan, perlindungan sosial, sektoral K/L dan pemda, UMKM, pembiayaan korporasi, dan insentif usaha sebesar Rp695,20 triliun. Tentu saja, pendanaan yang disediakan tersebut menuntut ada realisasi yang cepat, tepat, dan benar (sesuai tata kelola).

Kalau melihat laporan Badan Pusat Statistik (BPS), beberapa hal yang menyebabkan penurunan yang dalam pada capaian pertumbuhan ekonomi adalah penurunan tingkat pendapatan masyarakat, penurunan sektor industri pengolahan, penurunan sektor perdagangan, penurunan jumlah penumpang pesawat, penurunan ekspor, penurunan harga komoditi utama ekspor (kelapa sawit) serta penurunan jumlah iklan.

Walau begitu, kita juga perlu menyadari penurunan sektor-sektor tersebut di atas berdasarkan survei yang dilakukan pada bulan April dan Mei, saat di beberapa pusat pertumbuhan sedang diberlakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), termasuk di dalamnya Jakarta, Surabaya, Bandung, Jawa Tengah, termasuk Bali. Kita tentu berharap setelah adanya pelonggaran, di mana beberapa daerah tersebut sudah mulai relaksasi pembukaan daerahnya di awal atau pertengahan Juni 2020. Akan sangat baik jika BPS melakukan survei lanjutan pada bulan Juli, untuk memitigasi penurunan tersebut sekaligus memperbaiki strategi kebijakan pemerintah dalam menyelesaikan masalah-masalah yang ada.

Antara Investasi dan Tenaga Kerja Asing

Pemulihan ekonomi nasional dapat dicapai dengan mendorong konsumsi, belanja pemerintah, investasi, dan ekspor. Sejumlah ekonom menilai tingkat investasi dan konsumsi masih akan menjadi tulang punggung pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pertumbuhan ekonomi di Indonesia hampir 90% berasal dari sektor konsumsi rumah tangga dan investasi.

Investasi, baik asing maupun domestik, bagi setiap negara merupakan suatu keniscayaan dalam mendorong pembangunan dan penyerapan tenaga kerja. Sementara itu, ekspor sudah saatnya juga perlu ditingkatkan untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi. Mengingat beberapa pasar tujuan ekspor Indonesia sudah mulai menunjukkan relaksasi pada perekonomiannya dengan melonggarkan arus barang masuk ke negaranya. Data historis dalam jangka waktu 10 tahun terakhir menunjukkan bahwa ekspor memiliki volatilitas cukup tinggi, terutama ketergantungan pada komoditas yang harganya sangat volatile. Karena itu, formulasi kebijakan yang tepat dan efektif sangat diperlukan untuk memperkuat kinerja ekspor agar ketidakpastian dari dua sektor ini menjadi lebih kecil.

Persoalan TKA di Indonesia hingga kini masih menjadi topik sensitif. Isu “serbuan” TKA asal China sempat menjadi kontroversi di Indonesia. Hal ini seiring ketika ada lonjakan investasi dan proyek-proyek perusahaan dari Cina di Indonesia beberapa tahun silam. Presiden Joko Widodo (Jokowi) masih terus berupaya merangkul aliran investasi dengan melonggarkan perizinan TKA masuk ke Indonesia. Jokowi menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 20/2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing pada 26 Maret 2018. Salah satu pertimbangan perpres ini adalah upaya peningkatan investasi.

Sejatinya, hadirnya investor asing merupakan hal penting bagi Indonesia. Banyak sektor penting di Indonesia membutuhkan suntikan dana segar untuk berkembang seperti sektor properti, transportasi, dan pariwisata yang mulai berkembang dalam beberapa tahun terakhir. Tidak semua dana bisa dicukupi oleh pemodal yang ada di dalam negeri. Masuknya pemodal asing ke Indonesia untuk melakukan investasi akan membuat kebutuhan dana segera tercukupi dan pembangunan bisa segera dilakukan.

Harapan lainnya adalah terbukanya lapangan kerja baru bagi pekerja lokal sesuai dengan amanat UU Nomor 13/2003 Pasal 42 hingga Pasal 49 yang berkaitan dengan kewajiban yang harus dilakukan oleh perusahaan jika mempekerjakan TKA. Pemerintah perlu tegas dan memastikan bahwa perusahaan wajib mempekerjakan TKA dalam jabatan dan waktu yang sesuai dengan keputusan menteri, serta menjamin adanya transfer keahlian dari TKA kepada tenaga kerja lokal melalui penunjukan tenaga kerja Indonesia sebagai tenaga pendamping bagi tenaga kerja asing yang dipekerjakan.

Secara gamblang saat ini kita bisa melihat bahwa solusi masalah bangsa ini tidak bisa hanya dijawab oleh pemerintah. Kita memerlukan semangat nasionalisme untuk mengatasi bersama masalah-masalah yang kita hadapi saat ini, dari posisi kita masing-masing. Saat negara-negara lain menghadapi masalah yang sama, bahkan lebih berat, saatnya kita untuk terus bersatu memupuk rasa kebersamaan, kebangsaan, dan nasionalisme. Semoga.

Prof Candra Fajri Ananda PhD
Staf Khusus Menteri Keuangan Republik Indonesia


Pandemi, Pinjaman Daerah dan Pengelolaan SDM

$
0
0

HAMPIR 20 tahun usia kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal di Indonesia. Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal di Indonesia terakhir diatur dengan Undang-Undang Nomor 2/ 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, serta UU No 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Secara umum, pelaksanaan desentralisasi fiskal telah mampu meningkatkan perekonomian daerah di Indonesia, namun pembangunan setiap daerah belum mencapai hasil yang seperti kita harapkan. Fakta menunjukkan bahwa masih terdapat beberapa provinsi yang memiliki tingkat ketimpangan yang tinggi di bidang pendapatan, indeks pembangunan manusia (IPM), kemiskinan, dan pengangguran.

Bank Dunia menyoroti kawasan timur Indonesia yang masih tertinggal secara signifikan. Ini terlihat dari Papua yang memiliki tingkat kemiskinan tertinggi sebesar 27,5%, sementara provinsi di Jawa mampu menekan tingkat kemiskinan di sekitar angka 5%.

Sebanyak 23 provinsi memiliki IPM dengan status tinggi (70-80), sedangkan 11 provinsi berada di status sedang (60-70). Keadaan ini mengindikasikan bahwa cita-cita luhur atas kebijakan desentralisasi masih harus diperjuangkan dengan lebih baik.

Pinjaman Daerah dan Kualitas SDM
Prinsip dasar pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia ialah ‘money follows functions’. Adanya kewenangan yang diserahkan pada daerah perlu diikuti oleh pembiayaan dari pusat. Meski dalam konsep desentralisasi fiskal memberikan kewenangan besar bagi daerah untuk menggali sumber dana sendiri, tak sedikit daerah di Indonesia yang hingga kini masih belum memiliki kapasitas fiskal yang baik.

Lebih dari separuh pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota masih memiliki kapasitas fiskal yang rendah. Hal ini terlihat dalam Peraturan Menteri Keuangan(PMK) No 126/PMK.07/2019 tentang Peta Kapasitas Fiskal Daerah (KFD).

Berdasarkan peta KFD dari 34 provinsi yang ada di Indonesia, 9 provinsi masuk kategori KFD sangat rendah, di antaranya Sulawesi Tengah, Nusa Tenggara Timur, dan Bangka Belitung. Selanjutnya, terdapat 8 provinsi tergolong kategori KFD rendah di antaranya Jambi, Bengkulu, dan DI Yogyakarta.

Kemudian 8 provinsi masuk kategori KFD sedang, di antaranya Aceh, Bali, dan Papua Barat. Lima provinsi masuk kategori KFD tinggi, di antaranya Riau, Kalimantan Selatan, dan Banten. Terakhir, hanya terdapat 4 provinsi yang masuk kategori KFD sangat tinggi, yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.

Selanjutnya untuk peta KFD kabupaten/kota, 126 dari 508 kabupaten/kota di antaranya masuk kategori KFD sangat rendah. Beberapa daerah itu antara lain Kabupaten Aceh Besar, Kota Sabang, dan Kota Banjar. Selanjutnya ada 126 kabupaten/kota yang masuk kategori KFD rendah, seperti Kabupaten Bengkulu Utara, Kota Salatiga, dan Kota Batu.

Kemudian, 127 kabupaten/kota masuk kategori KFD sedang, seperti Kota Cimahi, Kabupaten Kuningan, dan Kota Magelang. Lalu terdapat 81 kabupaten/kota yang masuk kategori KFD tinggi, beberapa di antaranya Kabupaten Cirebon, Kabupaten Purwakarta, dan Kota Manado. Terakhir, ada 42 kabupaten/kota yang masuk kategori KFD sangat tinggi, seperti Kota Balikpapan, Kabupaten Mimika, dan Kota Surabaya.

Melihat masih banyaknya daerah yang belum memiliki kapasitas fiskal yang baik untuk mendukung pembangunan daerah serta kebutuhan akan pembiayaan alternatif di luar dana transfer, maka pinjaman daerah dapat menjadi pilihan alternatif daerah dalam mengatasi permasalahan keterbatasan pembiayaan pembangunan.

Pinjaman daerah dapat digunakan untuk membiayai segala pembangunan, baik terkait dengan fasilitas maupun prasarana umum yang merupakan aset daerah serta dapat menghasilkan penerimaan bagi daerah yang juga dapat memberikan manfaat untuk masyarakat. Meski demikian, untuk dapat memperoleh pinjaman, pemerintah daerah harus memiliki tata kelola yang baik berdasarkan kriteria, persyaratan, dan mekanisme yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Menjadi konsekuensi logis bahwa pemerintah harus mempersiapkan tata kelola pemerintahan yang baik, terutama terkait transparansi laporan keuangan jika pemerintah daerah ingin mendorong pembangunan daerah melalui dukungan pinjaman. Laporan keuangan menjadi cerminan untuk dapat mengetahui baik atau buruknya suatu pemerintahan, sehingga pemerintah harus dapat menghasilkan laporan keuangan yang berkualitas.

Laporan keuangan pada dasarnya merupakan asersi yang dihasilkan oleh bidang atau disiplin ilmu akuntansi. Oleh sebab itu, sumber daya manusia (SDM) yang kompeten menjadi hal penting untuk menghasilkan sebuah laporan keuangan berkualitas. Begitu juga di pemerintahan, untuk menghasilkan laporan keuangan daerah yang berkualitas maka dibutuhkan SDM yang memahami dan kompeten dalam akuntansi pemerintahan, keuangan daerah, maupun organisasi tentang pemerintahan.

Dorong Pinjaman-Perbaikan SDM
Pemerintah berupaya turut aktif dalam mendorong pinjaman daerah dengan memfasilitasi dua jenis pinjaman, yakni melalui Bank Pembangunan Daerah (BPD) yang dimiliki pemerintah daerah, dan melalui PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) sebagai penyedia pinjaman infrastruktur yang diharapkan dapat memberikan dampak signifikan ke daerah.

Meski fasilitas lembaga pemberi pinjaman telah disiapkan, data SMI menunjukkan bahwa dari 450 daerah yang pantas dipilih (eligible), hanya 21 pemda yang melakukan akses dana pinjaman dari SMI. Hal ini menunjukkan bahwa tidak semua daerah yang termasuk eligible tersebut mau berupaya mencari pendanaan selain dari APBN untuk mengakselerasi pembangunan daerahnya.

Seiring memperkuat pinjaman daerah sebagai alternatif pembiayaan untuk akselerasi pembangunan, kualitas SDM di bidang keuangan juga penting untuk ditingkatkan. Berkaitan dengan hal ini, Politeknik Keuangan Negara Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (PKN STAN) yang selama ini dikenal sebagai lembaga pendidikan paling andal untuk menghasilkan ahli bidang keuangan negara seperti pajak, bea cukai, pengolahan aset, cashManagement, dituntut untuk menyiapkan kebutuhan pemerintah.

Bukan hanya di tingkat kementerian dan lembaga (K/L), melainkan juga untuk pemerintah daerah. Selain memberikan pendidikan dengan gelar, sangat strategis juga jika PKN STAN menghasilkan pendidikan nongelar, termasuk kursus jangka pendek yang bersertifikat dan berorientasi pada keahlian tertentu.

Pada era pandemi saat ini, di mana penerimaan negara turun yang akhirnya berdampak pada jumlah dana yang harus ditransfer juga turun, maka sangat logis jika pemerintah mendorong pemerintah daerah untuk melakukan pinjaman daerah sebagai alternatif pembiayaan pembangunan.

Selain komitmen, peran SDM di daerah sangat krusial untuk mendorong pengelolaan anggaran lebih baik, lebih transparan, dan lebih akuntabel.

Penyediaan SDM yang ahli di bidang keuangan daerah sangat mendesak. Untuk itu, peran PKN STAN––apakah secara mandiri atau melalui kerja sama dengan universitas daerah, akan menjadi kunci dalam akselerasi penyediaan SDM unggul di bidang keuangan.

Kita berharap proses ini akan berjalan dengan cepat, sehingga pandemi ini tidak menjadi alasan bahwa proses pembangunan harus melambat, tetapi melalui pinjaman daerah percepatan pembangunan tetap bisa dilakukan dengan proses yang transparan, partisipatif, dan akuntabel. Semoga!

Prof Candra Fajri Ananda PhD
Staf Khusus Menteri Keuangan Republik Indonesia

Usaha Padat Karya yang Berdaya Saing

$
0
0

Pandemi Covid-19 yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir telah semakin nyata berdampak pada sejumlah ekonomi negara di dunia. Singapura menjadi salah satu negara yang memasuki zona resesi setelah ekonominya mengalami penurunan hingga 41,2% pada kuartal II/2020.

Pernyataan resesi Singapura tersebut didefinisikan setelah dua kuartal berturut-turut ekonomi negara tersebut mengalami kontraksi. Sebelumnya, pada kuartal I/2020, Singapura melaporkan ada kontraksi ekonomi 3,3% dibanding kuartal sebelumnya. Buruknya kinerja ekonomi Singapura pada kuartal II/2020 terjadi karena beberapa langkah penutupan pada sebagian wilayah negara tersebut guna memutus dan mengurangi penyebaran Covid-19.

Tak dapat dihindari bahwa pandemi Covid-19 memberikan ancaman besar bagi berbagai negara yang mengandalkan sektor perdagangan, pariwisata, dan berbagai industri penunjangnya, seperti hotel dan restoran. Sektor pariwisata di Singapura menjadi korban terdepan akibat Covid-19. Ini dapat terlihat di sektor penerbangan, perhotelan, dan restoran yang terpaksa berhenti di tengah wabah. Berdasarkan data produk domestik bruto (PDB) Singapura, sektor jasa menyusut 37,7% pada kuartal II atau sebesar 13,6% dibandingkan tahun sebelumnya.

Sebagaimana Singapura, Indonesia pun kini berada di ambang resesi akibat Covid-19. Sektor perdagangan dan pariwisata Indonesia telah terdampak sangat dalam. Hasil kajian Sarana Multi Infrastruktur (SMI) menyebutkan bahwa badai pandemi telah memukul pertumbuhan sektor perdagangan cukup signifikan, khususnya sektor UMKM. Selain itu, pariwisata yang selama ini digadang-gadang sebagai sumber kontribusi devisa terbesar kedua bagi Indonesia juga kini tak berdaya menghadapi badai Covid-19.

Hasil riset berdasarkan data Organisasi Pariwisata Dunia (UNWTO) hampir 80% pengusaha di sektor pariwisata mengalami penurunan omzet. Selain itu, data CNN juga menunjukkan bahwa penurunan pada sektor pariwisata tersebut juga berimbas pada okupansi hotel yang juga mengalami penurunan sekitar 60% – 80%.

Mitigasi Sektor Usaha yang Mampu Bertahan

Meskipun hantaman pandemi Covid-19 melumpuhkan sebagian besar dunia usaha, masih terdapat beberapa sektor bisnis yang juga mampu bertahan di tengah pandemi saat ini. Hingga kini setidaknya terdapat lima sektor bisnis yang dinilai mampu bertahan selama masa pandemi, di antaranya bisnis makanan dan minuman atau food and beverage (F&B), usaha penjualan kebutuhan bahan pokok, sektor jasa atau produk kesehatan, usaha jasa pendidikan dan pelatihan, serta bisnis sektor digital.

Hasil kajian SMI menyebutkan bahwa secara nasional, Informasi dan komunikasi menjadi sektor unggulan bagi seluruh provinsi di Jawa. Adanya pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang membatasi mobilitas penduduk dan kontak secara langsung menyebabkan permintaan terhadap sektor telekomunikasi mengalami peningkatan.

Permintaan terhadap layanan data, telekomunikasi dan internet diperkirakan tetap tumbuh sehubungan beralihnya aktivitas masyarakat dari kantor, pusat perbelanjaan, dan sekolah ke rumah masing-masing. Kebiasaan tersebut diperkirakan berlanjut pada masa new normal sehingga dapat mendukung kinerja sektor telekomunikasi.

Berbagai sektor usaha dipaksa untuk terus beradaptasi di masa sulit. Adaptasi yang lebih maju pada saat sulit adalah dengan melakukan berbagai inovasi, di mana sektor usaha melakukan suatu tindakan kreatif yang sistematis dan terencana dengan proyeksi masa depan

Salah satu bentuk inovasi bagi dunia usaha yang dapat dilakukan di masa pandemi ini ialah “bersahabat” dengan teknologi. Para pelaku usaha kini harus berani manfaatkan penjualan secara daring, sebab terhubung dengan ekosistem digital akan memudahkan masyarakat untuk mengakses berbagai produk usaha yang diperdagangkan. Selain inovasi melalui teknologi, para pelaku usaha kini juga perlu lebih adaptif dalam menyikapi pandemi. Adaptif dalam hal ini ialah mengalihkan produksi bisnisnya ke berbagai barang yang diperlukan konsumen saat ini. Digitalisasi dan bisnis yang adaptif merupakan dua hal penting yang kini dapat menjadi senjata bagi pelaku usaha untuk mampu bertahan selama masa pandemi.

Sebagai upaya mendukung sisi suplai, kehadiran pemerintah melalui bantuan modal dan insentif pajak dapat menjadi angin segar bagi para pelaku usaha untuk mampu bertahan selama pandemi. Berdasarkan perincian dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), pemerintah telah menyiapkan dana subsidi bunga bagi UMKM, dunia usaha, dan masyarakat sebesar Rp34,12 triliun, untuk insentif perpajakan kepada UMKM, dunia usaha dan masyarakat sebesar Rp123,01 triliun, dan untuk penjaminan untuk kredit modal kerja baru bagi UMKM sebesar Rp6 triliun.

Selain mendorong sisi suplai, saat ini pemerintah juga perlu mendorong sisi permintaan dengan mempertahankan daya beli masyarakat. Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut tingkat konsumsi rumah tangga melemah signifikan menjadi 2,84% pada kuartal I/2020. Angka tersebut turun drastis dibandingkan dengan kuartal I/2019 yang mencapai 5,02%.

Selain itu, data BPS juga menunjukkan bahwa angka inflasi terpantau terus mengalami penurunan dalam beberapa bulan terakhir selama masa pandemi. Hingga Juni, BPS mencatat bahwa inflasi sebesar 0,18% (month-to-month) pada Juni 2020, di mana angka tersebut lebih rendah dari Juni tahun sebelumnya, yakni 0,55%.

Perlambatan transaksi ekonomi telah terasa sejak Maret lalu dan belum membaik hingga Juni. Lesunya tingkat konsumsi ini disebabkan oleh terbatasnya mobilitas masyarakat. Sejak Covid-19 menyebar di Indonesia, jumlah PHK perlahan terus bertambah.

Data Kementerian Ketenagakerjaan mencatat jumlah PHK mencapai 1,7 juta orang hingga 8 Juli 2020. Hilangnya pemasukan masyarakat, otomatis menggerus daya beli dan memicu kontraksi pertumbuhan ekonomi. Melalui PEN, dukungan anggaran sebesar Rp172,1 triliun telah digulirkan pemerintah untuk mendorong sisi konsumsi, melalui subsidi atau bantuan sosial.

Bagaimana Fokus Ekonomi Indonesia?

Ekonomi China mencatat pertumbuhan positif pada kuartal II/2020 sebesar 3,2% secara tahunan. Sektor manufaktur mendorong pemulihan ekonomi di negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia itu. Pertumbuhan ini dicapai setelah status penutupan sejumlah wilayah di negara itu dicabut, diiringi pembukaan berbagai pabrik dan toko. Capaian ini merupakan pembalikan arah positif dari tekanan ekonomi yang terjadi di negara tersebut.

Pertumbuhan positif menggambarkan bahwa aktivitas ekonomi China telah kembali bergeliat pascakebijakan lockdown dicabut. Pemulihan ekonomi di China tersebut dapat memberikan dampak positif bagi aktivitas ekonomi Indonesia. Sebagai mitra dagang, Indonesia harus mengambil peluang atas membaiknya pertumbuhan ekonomi China tersebut dengan menjadikan China sebagai negara tujuan ekspor dan mengimpor bahan baku industri dalam negeri dari Negeri Tirai Bambu tersebut.

Menjaga daya saing produk ekspor masih menjadi kunci utama agar produk Indonesia mampu bersaing dengan produk negara tujuan ekspor. Bagi pemerintah, seharusnya menjaga kemampuan industri untuk dapat terus berproduksi dan fokus pada daya saing produk selama masa pandemi lebih menjadi prioritas daripada berpikir untuk membebani produsen melalui pungutan pajak. Insentif pajak saat ini akan lebih banyak memberikan dampak positif bagi kelangsungan aktivitas ekonomi secara menyeluruh daripada meningkatkan beban produsen melalui pungutan pajak. Oleh sebab itu, dukungan pemerintah untuk mendorong ketahanan industri melalui PEN diharapkan dapat menyelamatkan Indonesia dari jurang resesi akibat pandemi. Semoga!

Prof Candra Fajri Ananda Ph.D
Staf Khusus Menteri Keuangan Republik Indonesia

Tantangan Pinjaman Daerah

$
0
0

SECARA kewilayahan, dampak ekonomi akibat pandemi Covid-19 juga dirasakan di berbagai daerah di Indonesia. Terganggunya kegiatan operasional berbagai sektor di daerah kini terancam mengalami penurunan pendapatan hingga merugi akibat pandemi. Akibatnya, sejumlah sektor pajak yang memberikan kontribusi terhadap pendapatan daerah pun turut mengalami penurunan akibat pandemi Covid-19, satu diantaranya yakni pajak hiburan, restoran, dan hotel. Tak hanya itu, terkait dana yang bersumber dari Pemerintah Pusat, seperti Dana Alokasi Umum (DAK) dan Dana Alokasi Umum (DAU), Transfer Daerah maupun Dana Bagi Hasil (DBH) pun juga ikut berkurang akibat Covid-19. Di samping itu, mata anggaran yang ada dalam APBD juga dialihkan untuk penanganan Covid-19. Ditambah lagi, Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Dalam Negeri (Mendagri) dengan Menteri Keuangan menyebutkan bahwa program pembangunan minimal 50% dipotong, sehingga akan berdampak pada banyaknya program kerja yang harus ditunda atau di rubah.

Di era pandemi ini, upaya pemerintah untuk mendorong desentralisasi fiskal belum menunjukan perkembangan yang signifikan. Terutama jika dilihat dari ketergantungan akan anggaran pusat yang masih tinggi. Berdasarkan peta kapasitas fiskal daerah (KFD), dari 34 provinsi yang ada di Indonesia, 9 provinsi masuk kategori KFD sangat rendah, diantaranya adalah Sulawesi Tengah, Nusa Tenggara Timur, dan Bangka Belitung. Selanjutnya, terdapat 8 provinsi tergolong kategori KFD rendah diantaranya Jambi, Bengkulu, dan DI Yogyakarta. Kemudian, 8 provinsi masuk kategori KFD sedang, diantaranya adalah Aceh, Bali, dan Papua Barat. Sebanyak 5 provinsi masuk ketegori KFD tinggi di antaranya adalah Riau, Kalimantan Selatan, dan Banten. Terakhir, hanya terdapat 4 provinsi yang masuk kategori KFD sangat tinggi yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.

Pinjaman Daerah dan Tantangannya
Kebutuhan pembiayaan yang terus meningkat, apalagi di era pandemi ini, tidaklah mungkin ditanggung oleh APBD yang ada saat ini. Diperlukan sumber daya lain, misalnya pinjaman daerah, dimana secara regulasi pemerintah diperbolehkan, untuk menjadi sumber alternatif pembiayaan untuk kepentingan daerah.

Pinjaman daerah dapat menjadi pilihan alternatif daerah dalam mengatasi permasalahan keterbatasan pembiayaan pembangunan. Penggunaan dana ini dapat untuk membiayai segala proyek dan program pembangunan, baik fisik maupun non fisik. Beberapa kemudahan terus dilakukan oleh pemerintah, salah satunya dengan mendirikan PT. Sarana Multi Infrastruktur (SMI) sebagai institusi bisnis milik pemerintah untuk memberikan layanan pada pinjaman daerah ini secara masif, cepat dan terukur.

Meskipun memiliki potensi pinjaman yang relatif besar, namun sebagian besar daerah belum secara optimal memanfaatkan potensi tersebut untuk pembiayaan daerah. Hal ini tercermin dari kapasitas pemanfaatan pinjaman yang kecil dan bahkan tidak pernah melakukan pinjaman sama sekali. Menteri Keuangan menyebutkan bahwa rasio pemerintah daerah yang mampu dan mau melakukan pinjaman ke PT SMI hanya 16% dari seluruh Pemerintah Daerah (Pemda) yang sebetulnya eligible untuk melakukan pinjamana daerah. Data SMI juga menunjukkan bahwa dari 450 daerah yang eligible, hanya 21 Pemda yang melakukan akses dana pinjaman dari SMI.

Merujuk pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 106/2018, pemerintah memberikan batas maksimal kumulatif pinjaman daerah sebesar 0,3% dari PDB. Batasan ini juga berlaku pada tahun-tahun anggaran sebelumnya. Data Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) Kementerian Keuangan menunjukkan bahwa penerimaan pinjaman daerah secara nasional pada 2017 mencapai Rp7,4 triliun. Penarikan pinjaman daerah meningkat menjadi Rp12,2 triliun pada 2018. Namun, pinjaman daerah kembali menurun pada 2019 menjadi Rp9,38 triliun.

Pada aspek pembiayaan anggaran daerah, selama ini pemda cenderung lebih memanfaatkan Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) atau menunggu dana APBD sebagai penerimaan pembiayaan. Hal tersebut menunjukkan bahwa banyak daerah yang masih menggunakan pola pikir konvensional dalam mengelola anggaran. Padahal, PP No. 56/2018 tentang Pinjaman Daerah telah mengamanatkan bahwa pinjaman daerah bermanfaat untuk membiayai infrastruktur, investasi prasarana, hingga sarana daerah dalam rangka pelayanan publik.

Melakukan pinjaman daerah memang tak semudah menunggu turunnya dana transfer dari pemerintah pusat. Sebelum melakukan penarikan pinjaman daerah, Pemda perlu melakukan banyak persiapan. Misalnya adanya dokumen komplit terkait dengan proyek atau program yang akan dibiayai, termasuk feasibility study atas proyek yang akan diajukan pembiayaannya. Selain itu, rendahnya dan volatility PAD (Pendapatan Asli Daerah) menyebabkan rendahnya Pemda enggan mengambil risiko untuk menarik pinjaman daerah. Begitu juga, PP Nomor 56/2018 yang mengamanatkan untuk mendapatkan persetujuan DPRD, merupakan permasalahan lain yang harus diselesaikan oleh pemda. Sangat penting bagi pemda, untuk membangun hubungan yang baik dan konstruktif dengan pihak legislatif untuk membangun daerah secara bersama-sama.

Penguatan Good Governance dan Kualitas SDM
Pada dasarnya, pemerintah daerah memang tidak dapat begitu saja mengakses pasar untuk mendapatkan pinjaman. Meskipun pemerintah pusat secara implisit menjamin pinjaman pemerintah daerah tersebut, namun lembaga pinjaman tetap melakukan pembatasan dan kontrol untuk menghindari kasus gagal bayar yang pada akhirnya akan membebani anggaran pemerintah pusat. Sebagai contoh di Kanada, batasan-batasan mengenai jumlah pinjaman, jenis instrumen pinjaman, jangka waktu, tingkat bunga, dan penggunaan dana pinjaman diatur secara tegas dalam suatu peraturan. Selain itu, di Kolombia, pemerintah daerah untuk dapat melakukan pinjaman harus mendapatkan persetujuan minimal 100 orang pekerja di pemerintahan, sehingga untuk menentukannya diperlukan waktu kurang lebih 1 tahun.

Dasar analisis untuk mengetahui besarnya kapasitas pinjaman yang dilakukan oleh pemerintah daerah adalah melalui analisis market disciplinedirect administrative controlcooperative control, dan rule – based control. Oleh sebab itu, penguatan good governance dan peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) dalam pemerintah daerah menjadi kunci utama untuk mendorong pinjaman daerah. Hal serupa juga disebutkan oleh Menteri Keuangan, Sri Mulyani, bahwa untuk mendorong kesediaan daerah dalam mengakses pinjaman, pemerintah akan terus memperbaiki penguatan regulasi untuk mendukung perbaikan kualitas SDM di daerah. Melalui pinjaman daerah, pemerintah daerah dapat segera menyelamatkan keberlangsungan pembangunan yang ada di wilayahnya. Pesatnya pembangunan yang terjadi di daerah diharapkan memberikan manfaat positif bagi peningkatan kualitas kehidupan masyarakat, sekaligus membaiknya kualitas dari layanan publik yang disediakan pemerintah, semoga.

Prof Candra Fajri Ananda PhD
Staf Khusus Menteri Keuangan Republik Indonesia

Webinar Menteri BUMN: Sinergitas Perguruan Tinggi dan BUMN dalam menyongsong Kampus Merdeka

Religiusitas dalam Pengawalan Pemulihan Ekonomi Nasional

$
0
0

HAMPIR seluruh dunia, dimana umat Islam berada, saat ini sedang merayakan hari raya kurban. Hari Raya ini berbeda dengan Idul Fitri yang diawali dengan puasa ramadan selama sebulan penuh, hari raya kurban dibarengi dengan kegiatan Haji yang berpusat di dua kota suci umat Islam, Makkah dan Madinah. Hari raya ini sebagai penghargaan atas tauladan keikhlasan dan ketaatan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail atas perintah-Nya. Pengorbanan ini lah, yang seharusnya bisa menjadi tauladan dari kehidupan keseharian kita, untuk terus memberikan peranannya dalam menyelesaikan problematika sosial di sekitar kita.

Suasana kurban saat ini, menjadi sangat spesial bagi masyarakat, karena perayaannya dijalani dalam suasana pandemi Covid-19. Beriringan dengan meningkatnya jumlah pasien positif yang masih terus bertambah, dampak ekonomi yang diakibatkan juga semakin besar. Kalau kita perhatikan di berbagai negara, hampir sebagian besar negara berusaha memerangi pandemi ini dengan mengeluarkan kebijakan fiskal yang extraordinary. Mengingat sampai saat ini belum ada yang berani memastikan kapan pandemi ini akan berakhir. Ketidakpastian ini, menyebabkan pemerintah dimanapun perlu memanage kemampuan fiskalnya dengan baik dan tetap terus berjaga akan kemungkinan terburuk. Pemerintah Indonesia sendiri, telah berusaha dengan sangat ekstra untuk pembiayaan penanganan Covid-19 ini, sehingga defisit anggaran yang harusnya di angka 3%, harus dilonggarkan sampai melampaui standar yang sudah ditetapkan.

Dari berbagai berita yang dikumpulkan bisa diperkirakan jumlah hewan kurban yang disembelih pada perayaan kurban saat ini, terus bertambah secara signifikan. Dari sisi fikih kurban, angka hewan kurban yang meningkat secara signifikan ini, menggambarkan ketaatan umat akan perintah Tuhan dan ini tentu membawa pada kebersamaan “rasa” di masyarakat. Hal ini akan mendorong munculnya rasa kepedulian dan empati pada sesama yang sangat dibutuhkan saat ini. Saat manusia tidak berdaya, sebagian besar mereka secara naluri akan kembali kepada penciptanya.

Dari sisi sosial, betapa semangat “memberi” yang muncul dimana-mana saat ini, perlu dilihat sebagai modal sosial yang penting sebagai alternatif pembiayaan pembangunan saat ini. Dengan semakin besar pengeluaran masyarakat dalam bentuk pembelian hewan kurban maupun amalan lain seperti shodaqoh, zakat dan infaq, secara langsung akan mendorong konsumsi rumah tangga yang lebih tinggi. Selain itu, dana yang selama ini ngendon di perbankan atau sektor keuangan lainnya, karena kebutuhan akan hewan kurban, akhirnya harus dicairkan dan dibelanjakan. Dengan kata lain, sektor riil mendapatkan kucuran dana segar yang memang sangat diperlukan saat ini.

Efek lainnya adalah, adalah meningkatnya jumlah pemudik yang pada lebaran Idul Fitri tidak bisa mudik karena pelarangan oleh pemerintah dan MUI. Tentu saja, saat tidak ada pelarangan untuk mudik, maka bisa dipastikan jumlah pemudik akan meningkat secara signifikan. Pada kondisi normal, jumlah pemudik diperkirakan sekitar 66.000 orang, sedangkan di era saat ini, diperkirakan sebesar 99.000 orang. Tentu saja, ini akan mendorong geliat perekonomian di daerah.

Seorang sahabat menunjukkan angka yang fantastis, betapa besar nilai ekonomi dari perayaan kurban saat ini. Jika jumlah penduduk muslim Indonesia sebesar 230 juta dan 8-10% penduduk muslim melakukan kurban di era pandemi ini, dengan harga kambing sebesar Rp2,5-4,5 juta per ekor, maka potensi ekonomi yang muncul sebesar Rp70 triliun sampai dengan Rp107 triliun yang melibatkan 2,3 juta hewan ternak atau setara dengan 583 juta ton daging. Padahal kita juga tahu, bahwa pengeluaran kurban ini juga mendorong sektor lainnya juga bergerak, seperti transportasi, bumbu, freezer, hotel dan restaurant, terutama saat mereka harus mudik.

Norma Religius dalam Pengawasan
Dalam hal perubahan dalam APBN secara umum, di aspek pendapatan negara, Belanja Negara, dan Pembiayaan. Pada pendapatan negara, pemberian insentif pada dunia usaha diperpanjang sd Desember 2020 yang berupa, PPh 21 ditanggung pemerintah, pembebasan PPh 22 dan PPN Impor (Alkes) serta percepatan restitusi PPN. Pada sisi Belanja negara, menampung tambahan belanja sekitar Rp125 triliun dari Perpres Nomor 54/2020, antara lain Subsidi UMKM dan IJP UMKM, perpanjangan Bansos Tunai dan Diskon Listrik, Tambahan DID dalam rangka PEN, Belanja penanganan Covid-19 lainnya. Sementara dari sisi pembiayaan menampung kebijakan pembiayaan investasi, PMN, Penempatan dana, penjaminan dalam rangka pemulihan ekonomi nasional.

Komitmen pemerintah dalam penanggulangan Covid-19 yang sangat tinggi ini, dapat dilihat dari belanja pemerintah yang terus meningkat. Bagaimana mendorong para pelaksana kebijakan untuk menjalankan program pemulihan ini dengan motivasi tinggi dan dijalankan dengan bersih dan benar.

Akan sangat baik, jika pemerintah merangkul tokoh-tokoh agama, termasuk didalamnya lembaga resmi seperti MUI, bahkan Kyai Ma’ruf wakil presiden kita, sebelumnya adalah ketua MUI, atau tokoh agama yang ada, untuk terus aktif menyuarakan program pemulihan ekonomi nasional yang saat ini dijalankan. Pengawalan pemulihan melalui pendekatan religi, tentu memiliki efek yang berbeda, terutama jika dikaitkan dengan kewajiban muslim untuk terus memberikan sebagian rezekinya kepada sesama. Secara makro, semakin tinggi belanja masyarakat, akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Apalagi jika belanja yang dilakukan pada produk-produk dalam negeri dan produk UMKM.

Hari raya kurban saat ini, seharusnya menginspirasi kita, untuk membawa nilai-nilai agama di dalam pelaksanaan kebijakan yang kita buat. Semangat bernegara dan beragama seharusnya memang menjadi kekuatan kohesif yang perlu dibangun secara terus menerus, untuk dipupuk sebagai modal sosial yang kita perlukan untuk membuat kebijakan yang akseptabel, dan efisien dalam pencapaian, semoga.

Prof Candra Fajri Ananda PhD
Staf Khusus Menteri Keuangan Republik Indonesia

Viewing all 811 articles
Browse latest View live