Quantcast
Channel: Berita – Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya
Viewing all 811 articles
Browse latest View live

Pertumbuhan Berkualitas?

$
0
0

Prof. Candra Fajri AnandaDekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya
Pertumbuhan ekonomi merupakan satu di antara hal yang menjadi perhatian besar di setiap negara di dunia. Sebab, pertumbuhan ekonomi merupakan satu di antara indikator keberhasilan pembangunan dalam suatu perekonomian.

Pertumbuhan ekonomi mengukur prestasi perkembangan perekonomian dari suatu periode ke periode berikutnya. Pertumbuhan ekonomi merupakan upaya peningkatan kapasitas produksi untuk mencapai penambahan output, yang diukur menggunakan produk domestik bruto (PDB) maupun produk domestik regional bruto(PDRB) dalam suatu wilayah.

Pertumbuhan ekonomi pada dasarnya menjelaskan tentang kemajuan ekonomi, perkembangan ekonomi, kesejahteraan ekonomi, serta perubahan fundamental suatu negara dalam jangka relatif panjang. Simon Kuznets (1971) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan kenaikan jangka panjang dalam kemampuan suatu negara untuk menyediakan semakin banyak jenis barang-barang ekonomi kepada penduduknya.

Kemampuan suatu negara untuk menghasilkan barang dan jasa akan meningkat tak lepas dari pertambahan jumlah dan kualitas faktor-faktor produksi di antaranya berupa sumber daya manusia (SDM), sumber daya alam (SDA), peningkatan modal yang digunakan, hingga kemajuan teknologi.

Pertumbuhan ekonomi, selain sebagai tolok ukur keberhasilan atau kemunduran perekonomian suatu negara, juga merupakan indikator kesejahteraan masyarakat. Ketika pertumbuhan ekonomi mengalami kenaikan, maka di dalamnya terdapat kegiatan ekonomi yang berkembang.

Kegiatan ekonomi yang berkembang ini menandakan bahwa lapangan pekerjaan semakin banyak dan pendapatan masyarakat semakin meningkat.

Mendorong Pertumbuhan Ekonomi

Beberapa faktor produksi yang secara teori dianggap berpengaruh besar terhadap pertumbuhan ekonomi pada realitanya tidak selalu dimiliki seluruhnya secara sempurna oleh setiap negara. Tidak semua negara di dunia memiliki sumber alam yang dapat memenuhi seluruh kebutuhan manusia.

Negara maju seperti Amerika dan Jepang sejatinya keduanya mengalami kelangkaan sumber alam berupa bahan mentah. Namun, keduanya mampu mengatasi kelangkaan tersebut melalui perdagangan. Sedangkan Indonesia dengan kekayaan alam yang melimpah dan jumlah penduduk 267 juta jiwa yang sebenarnya memiliki potensi besar untuk kepentingan pembangunan, namun rendahnya produktivitas masih menjadi kendala.

Permasalahan ketenagakerjaan di negara-negara sedang berkembang seperti Indonesia, Brasil, Kolombia, India, dan negara berkembang lain adalah memiliki jumlah SDM yang besar, namun belum berbanding lurus dengan kualitas SDM yang dimiliki. Sehingga, untuk dapat memproduksi barang/jasa secara optimal, maka setiap negara memerlukan pertukaran/perdagangan antarwilayah.

Melihat perdagangan menjadi kebutuhan dalam kegiatan ekonomi antarwilayah, maka tak heran jika ada beberapa wilayah yang mendorong pertumbuhan ekonominya melalui perdagangan.

Setiap negara membangun negaranya dengan cara dan strategi yang berbeda sesuai dengan sumber daya yang dimiliki. Ada beberapa negara yang mendorong pertumbuhan ekonomi dari kepemilikan sumber daya alam atau sebaliknya dari peran sektor industrinya.

Sayangnya, kajian empiris menunjukkan bahwa negara yang bertumpu pada ekonomi berbasis sumber daya alam ternyata tidak mampu bertahan lama sebagai “penguasa” ekonomi dunia. Sedangkan negara yang mampu menjadi inventor maupun sangat inovatif dalam teknologi, mereka kinilah yang menjadi leader ekonomi dunia saat ini.

Pertumbuhan Ekonomi Indonesia

Realisasi pertumbuhan ekonomi Indonesia masih jauh dari harapan. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang 2019 sebesar 5,02%, meleset dari target pemerintah sebesar 5,2%. Selain itu, pertumbuhan tersebut juga melambat dibandingkan periode 2018 sebesar 5,17% dan 2017 sebesar 5,07%. Pada 2019 pertumbuhan ekonomi kuartal keempat bahkan cukup rendah, hanya 4,97%.

BPS mencatat bahwa penyebab rendahnya pertumbuhan ekonomi Indonesia ialah sejumlah sektor ekonomi yang melambat serta pelambatan konsumsi rumah tangga dan pelemahan daya beli masyarakat, di mana konsumsi rumah tangga turun 4,97% di kuartal IV/2019.

Ekonomi Indonesia bagai bangunan yang memiliki fondasi rentan runtuh. Masalah struktural itu adalah masih rendahnya investasi, ekspor yang didominasi produk primer, minimnya industri manufaktur, rendahnya produktivitas pekerja, besarnya pekerja sektor informal, minimnya jumlah wirausaha, serta terbatasnya instrumen sektor keuangan dan pasar modal. Dengan begitu, sedikit saja ada tekanan eksternal, berbagai indikator ekonomi langsung melemah.

Pada dekade 1960-an, Indonesia berada di garis yang sama dengan Korea Selatan, Taiwan, dan Singapura. Kini tiga negara tersebut telah masuk kategori negara maju. Sedang Indonesia masih tersandung sebagai negara berpendapatan menengah-bawah dan terancam middle income trap. Tanpa ada kebijakan yang jitu di bidang ekonomi dan transformasi, Indonesia akan terperangkap di kelasnya sebagai negara berpendapatan menengah bawah dengan PDB per kapita di bawah USD4.000.

Kini Indonesia tengah menikmati bonus demografi, yakni jumlah usia produktif yang mencapai 64-70% dari total penduduk. Mereka adalah warga Indonesia berusia 15-64 tahun.

Sejumlah studi memperkirakan bonus demografi terjadi pada 2020-2035. Jika semua manusia usia produktif bekerja produktif dan meraih penghasilan yang baik, bangsa ini akan menikmati kemajuan luar biasa. Bonus demografi perlu dimanfaatkan dengan baik untuk memacu laju pertumbuhan ekonomi sebagaimana pengalaman negara maju.

Pada 1981-1995, saat menikmati bonus demografi, Korsel memacu pertumbuhan ekonomi hingga di atas 8,5%. Jepang dan kini China mencatat laju pertumbuhan double digit saat menikmati bonus demografi.

Menuju Indonesia 2045

Pada 2045, di mana NKRI merayakan HUT Kemerdekaan Ke-100, seharusnya Indonesia bisa masuk negara maju. Dalam desain pemerintah, diharapkan pada 2045, pendapatan per kapita Indonesia sudah mencapai USD23.000. Namun, untuk menuju “Indonesia Emas 2045” tersebut, bukanlah hal yang mudah. Pemerintah perlu melakukan perubahan ekonomi Indonesia tidak bisa parsial, melainkan harus secara struktural.

Pemimpin bangsa Indonesia pada 2045 adalah mereka yang saat ini sedang duduk di bangku sekolah, baik pendidikan usia dini, pendidikan dasar, atau pendidikan menengah. Pendidikan adalah kendaraan mencapai keterwujudan manusia unggulan sebagai generasi emas berdasarkan motivasi intrinsik, menuju pada kinerja yang akuntabel, berkualitas, dan otonom sebagai manusia yang bermartabat, bukan semata sebagai manusia yang harus mengisi keseimbangan antara supply dan demand.

Rendahnya kualitas pekerja Indonesia menjadi isu krusial industri saat ini. Produktivitas pekerja Indonesia masih jauh di bawah produktivitas China. Hal ini jugalah yang menjadi satu di antara penyebab produk Indonesia mahal dan kurang berdaya saing.

Di bidang pendidikan, setidaknya pemerintah perlu segera mencanangkan Program Wajib Belajar 12 Tahun dengan harapan dapat meningkatkan daya tampung SMA/MA/SMK dan merata di seluruh wilayah NKRI sedemikian sehingga angka partisipasi sekolah (APS) untuk penduduk usia 16-18 tahun mencapai angka di atas 90%. Pemerataan pendidikan di Indonesia sangat diperlukan untuk dapat meningkatkan produktivitas masyarakat hingga di berbagai pelosok daerah di Indonesia.

Selain kenaikan produktivitas, kunci penentu daya saing Indonesia juga ditentukan oleh kemampuan penguasaan teknologi. Ekonomi dunia begitu dinamis mengikuti cepatnya perubahan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Selama ini SDM Indonesia banyak terhalang oleh berbagai kendala satu di antaranya berkenaan dengan perubahan cepat teknologi akibat perkembangan iptek yang merupakan tuntutan pasar dan mempersyaratkan keterampilan baru dalam memasuki dunia kerja.

Selain itu, kesiapan lain yang perlu dilakukan pemerintah untuk mencapai golden moment 2045 ialah pemerataan pembangunan infrastruktur. Meskipun dalam kurun lima tahun terakhir Indonesia telah membangun infrastruktur secara besar-besaran, namun infrastruktur yang diperlukan oleh Indonesia tak cukup hanya di bidang infrastruktur transportasi dan jalan raya, melainkan juga pemerataan pembangkit listrik, jaringan distribusi dan transmisi, serta telekomunikasi, hingga infrastruktur pertanian dan infrastruktur dasar. Banyak wilayah di Indonesia masih kekurangan air bersih dan hidup dengan sanitasi yang buruk.

Selanjutnya, reformasi struktural juga mencakup peningkatan efisiensi perlu dilakukan pemerintah untuk meningkatkan minat investor terhadap Indonesia. Kualitas kelembagaan yang profesional dan bebas korupsi diharapkan dapat menarik investor untuk berinvestasi di Indonesia.

Dengan berbagai upaya yang dilakukan pemerintah dan dukungan rakyat atas kebijakan pemerintah, tentu seharusnya kita optimistis menyongsong Indonesia Emas 2045. Semoga.

Prof. Candra Fajri Ananda

Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya


Mencari Titik Tengah Omnibus Law

$
0
0

Reformasi pajak hingga kini belum menunjukkan hasil yang signifikan dan masih memerlukan perhatian khusus pemerintah. Rasio pajak yang belum mencapai yang diinginkan, pertumbuhan pajak di bawah yang ditargetkan, serta perbaikan yang signifikan pada administrasi perpajakan. Kini kelanjutan agenda penting tersebut ditumpukan pada Omnibus Law Perpajakan. Pemerintah melalui menteri keuangan telah menyampaikan Rancangan Undang-Undang tentang Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian atau lebih dikenal dengan sebutan Omnibus Law Perpajakan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada 31 Januari 2020.

Satu diantara poin dalam Om nibus Law ialah penurunan tarif PPh badan yang akan menjadi insentif bagi investor. Pemerintah memiliki harapan besar dengan peningkatan penerimaan perusahaan dapat menyebabkan lebih banyak lagi dana yang dimiliki perusahaan untuk dapat diinvestasi kembali sehingga lapangan kerja bisa diciptakan secara lebih baik.

Dengan pajak yang lebih rendah, diharapkan akan ada peningkatan dividen yang dibagikan. Pemerintah juga akan membebaskan pengenaan pajak atas dividen selama dividen tersebut direpatriasi kembali ke Indonesia. Sehingga, uang yang kembali masuk dan berputar di Indonesia diharapkan akan membantu pergerakan roda perekonomian Indonesia.

Pertumbuhan Ekonomi dan Investasi di Indonesia

Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang 2019 yang hanya terhenti diangka 5,02% secara tahunan (yoy).

Angka tersebut tumbuh lebih rendah dibandingkan pada 2018 sebesar 5,17%. BPS mencatat bahwa angka pertumbuhan ekonomi 5,02% tersebut utamanya masih berasal dari konsumsi rumah tangga yang juga sedang mengalami perlambatan. Sebab itu, kini pemerintah berupaya menggenjot pertumbuhan ekonomi dengan cara mendorong investasi sebagai motor penggerak perekonomian, sekaligus terus berusaha memberikan insentif pada konsumsi rumah tangga untuk tumbuh lebih baik. Secara umum pemerintah perlu mulai menggali strategi baru untuk meningkatkan investasi sebagai unsur penting dalam menggenjot pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat bahwa investasi pada kuartal I 2019 hanya tumbuh 5,3%, dimana capaian ini menjadi realisasi investasi terendah Indonesia dalam kurun 2014-2019. Meski tumbuh dari kuartal I 2018, namun pertumbuhannya jelas masih jauh dari target yang diharapkan pemerintah. Ironisnya, negara kita juga tidak mendapat manfaat secara signifikan atas migrasinya perusahaan asing China di tengah terjadinya perang dagang China-Amerika. Terdapat lebih dari 50 perusahaan multinasional telah mengumumkan rencana atau mempertimbangkan pemindahan manufaktur keluar dari China, namun Indonesia tidak menjadi pilihan yang menarik untuk investasi di banding dengan negara Asia yang lain seperti Vietnam dan Taiwan.

Padahal, pada 2018 pemerintahan Presiden Jokowi telah meluncurkan paket kebijakan ke-16 guna menarik lebih banyak investasi asing demi memperbaiki defisit transaksi berjalan.

Paket kebijakan tersebut terdiri atas perluasan penerima fasilitas libur pajak (tax holiday), relaksasi aturan daftar negatif investasi (DNI), dan pengaturan devisa hasil ekspor sumber daya alam (DHE SDA). Sayangnya, kalangan analis merasa bahwa paket kebijakan pemerintah tersebut dalam perjalanannya masih jauh dari harapan. Pasalnya, implementasi paket tersebut masih saja terganjal aturan perundangan-undangan yang berlapis-lapis.

Merujuk Regulatory Quality Index yang dikeluarkan Bank Dunia, posisi skor Indonesia disepanjang 1996-2017 selalu tercatat berada di bawah nol atau minus. Seperti diketahui, skala indeks kualitas regulasi yang dirumuskan Bank Dunia menempatkan skor 2,5 poin sebagai indeks tertinggi dan menunjukkan kualitas regulasi yang baik. Sementara skor paling rendah yaitu 2,5 poin. Indeks ini menunjukkan kualitas regulasi yang buruk. Pada 2017 skor Indonesia menunjukkan angka -0,11 poin dan berada dipe ringkat ke-92 dari 193 negara. Diantara negara-negara ASEAN, Indonesia masih berada di peringkat kelima di bawah Singapura, Malaysia, Thailand, dan Filipina.

Kualitas dan jumlah regulasi di Indonesia memang telah menjadi persoalan tersendiri. Merujuk data yang dirilis oleh Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) pada 16 Juli 2019, tercatat sepanjang rentang 2014 hingga Oktober 2018 saja telah terbit 8.945 regulasi. Banyaknya jumlah regulasi yang semrawut dan tumpang tindih pada akhirnya berimplikasi pada berbagai akses terhadap pelayanan publik, termasuk fasilitas terkait kemudahan berusaha. Berpijak dari urgensi inilah, jalan satu-satunya menyederhanakan dan sekaligus menyeragamkan regulasi secara cepat ialah melalui Omnibus Law. Sejumlah aturan yang dinilai menghambat investasi akan dipangkas.

Menimbang Konsep Omnibus Law

Baru-baru ini kata “Omnibus Law” menjadi primadona dijajaran pemerintah dan menjadi buah bibir masyarakat. Omnibus Law merupakan produk hukum yang merevisi beberapa aturan hukum sekaligus melalui aturan payung, disebut sebagai aturan payung karena Omnibus Law secara hierarki perundangan akan lebih tinggi dibanding aturan yang disederhanakan. Omnibus Law berfungsi sebagai alat simplifikasi peraturan perundangan yang sudah mengalami komplikasi (tumpang tindih). Kehadiran asas Omnibus Law tak lain bertujuan untuk mengatasi konflik peraturan perundang-undangan baik vertikal maupun horizontal serta menjadikan pengurusan perizinan investasi menjadi lebih efektif dan efisien.

Seiring dengan rencana kehadiran Omnibus Law, kini pemerintah perlu melakukan mitigasi konflik antar lembaga melalui jalinan komunikasi yang baik guna mereduksi konflik antar lembaga ke depan. Tanpa mitigasi tersebut, maka Omnibus Law nanti tetap tidak dapat mewujudkan kepastian hukum untuk menunjang investasi dan pembangunan. Untuk itu, sebelum membuat aturan payung dalam konsep Omnibus Law, pemerintah perlu menyelesaikan penataan kewenangan pusat dan daerah maupun penataan kewenangan antar instansi yang selama ini tumpang tindih. Perlu diluruskan bahwa esensi utama dari Omnibus Law bukan sekadar mengurangi jumlah peraturan, tetapi fungsi utama konsep ini adalah mengurangi konflik antar peraturan perundangan sehingga tercipta kepastian hukum.

Terdapat dua RUU Omnibus Law yang akan dibahas pemerintah bersama DPR, yaitu RUU Cipta Kerja dan RUU Ketentuandan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian (Omnibus Law Perpajakan). Keduanya akan menjadi tumpuan strategi bagi pemerintah guna memperkuat perekonomian nasional melalui perbaikan ekosistem investasi dan daya saing Indonesia, khususnya dalam menghadapi ketidakpastian dan perlambatan ekonomi global. Tak dapat dipungkiri bahwa kehadiran Omnibus Law akan banyak memberikan “kenikmatan” bagi korporasi demi menggenjot investasi.

Perpajakan ini mencakup tujuh substansi yang mengatur peraturan perpajakan di tingkat pusat ditambah dua substansi yang mengatur penyesuaian tarif pajak daerah dan retribusi daerah (PDRD) dan merekonfigurasi wewenang pemerintah daerah. Pemerintah akan memberikan fasilitas pajak berupa insentif-insentif pajak seperti tax holiday, super deduction, tax allowance, kawasan ekonomi khusus (KEK), PPh untuk surat berharga, dan insentif pajak daerah dari pemda. Melihat begitu banyaknya kemudahan yang ditawarkan Indonesia pada investor, maka pemerintah perlu dengan teliti dan sungguh-sungguh memonitor dan menganalisis potensi kehilangan pajak, PNBP, maupun sumber pendapatan negara lainnya. Sebab, hal ini akan memberikan potensi kehilangan pajak, PNBP, maupun sumber pendapatan lainnya sehingga terjadi penurunan penerimaan netto yang selanjutnya akan berimbas pada besaran dana perimbangan bagi daerah.

Memberikan insentif pajak secara besar-besaran demi menarik investor tanpa memperhatikan dampaknya terhadap penerimaan negara merupakan hal yang sangat riskan. Hingga kini belum ada kajian yang sangat meyakinkan tentang dampak penurunan tarif pajak terhadap peningkatan investasi asing langsung atau penanaman modal asing (PMA).

China yang memiliki tarif PPh badan sebesar 25% dan India 25,17%, yang mana keduanya jauh lebih tinggi dari Singapura, justru terus diburu oleh investor asing. Berkaca dari program Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) yang sempat digulirkan pemerintah beberapa tahun lalu nyatanya program tersebut gagal memperluas basis pajak.

Tax ratio pasca program Tax Amnesty hanya naik pada 2018 sebesar 10,2% dari sebelumnya pada 2017 hanya sebesar 9,9%. Sayangnya, kenaikan tersebut tak bertahan lama. Pada 2019 tax ratio kembali mengalami penurunan menjadi 9,8%, dimana angka tersebut merupakan titik terendah dalam setengah abad terakhir.

Insentif tidak serta-merta mampu menarik minat investor untuk berinvestasi. Masih tersimpan faktor lain yang menjadi pertimbangan bagi investor untuk memilih negara tujuan investasi. Selama ini insentif pajak yang dijanjikan pemerintah kurang diminati investor manufaktur karena ketiadaan kepastian penerimaan insentif. Hambatan itu yang selama ini membuat banyak perusahaan multinasional tidak mau memilih Indonesia untuk regional headquarter atau bahkan sekadar service center.

Secara umum konsep Omnibus Law penting untuk meningkatkan efisiensi regulasi yang dapat menjadi satu diantara daya tarik investasi. Melalui RUU Omnibus Law terlihat bahwa Pemerintah Indonesia serius untuk memberikan kelegaan badan usaha untuk berkembangdan berusaha sebesar-besarnya di wilayah Indonesia. Melihat hal itu, maka dalam implementasi Omnibus Law pemerintah perlu mengedepankan prinsip kehati-hatian, terutama ketika saat ini kondisi perekonomian nasional sedang rentan karena masih dihadapkan pada ketidakpastian ekonomi global dan perlambatan ekonomi dalam negeri.

Candra Fajri Ananda
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya

Negara (Perlu Hadir)

$
0
0

Perlambatan ekonomi global kian tak terbendung. Hampir seluruh proyeksi ekonomi dari berbagai lembaga ekonomi dunia memberikan gambaran kecemasan dan ketidakpastian global pada awal 2020, tak terkecuali Bank Indonesia (BI). BI menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global 2020 dari 3,1% menjadi 3%.

Perlambatan ekonomi global tentu berdampak kepada Indonesia yang kini pertumbuhan ekonomi nasionalnya diperkirakan melambat hingga kisaran di bawah 5% pada 2020 akibat masih lemahnya pertumbuhan global yang salah satunya disebabkan penurunan permintaan komoditas dari China setelah dihantam wabah virus korona.

Kemunculan wabah virus korona secara tiba-tiba di tengah ketidakpastian ekonomi global menambah potensi keterpurukan pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih dalam mengingat besarnya ketergantungan Indonesia terhadap China. Elastisitas perdagangan Indonesia dengan China mencapai 0,86%. Porsi perdagangan Indonesia-China yang dulu hanya 16% kini menjadi 30%. Selain itu Indonesia mengalami defisit karena impor Indonesia dari China lebih besar daripada ekspor. Sementara ini data BI menunjukkan bahwa dampak terhadap ekspor sebesar USD0,3 miliar dan impor USD0,7 miliar.

Selanjutnya dampak terhadap investasi, khususnya dari China, sebesar USD0,4 miliar. Catatan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan capaian produk domestik bruto (PDB) pada kuartal IV 2019 sebesar 4,97%. Sektor industri menurun dari 4,25% menjadi 3,66% (yoy), sektor perdagangan turun dari 4,41% ke 4,24% (yoy), dan sektor pertambangan turun dari 2,25% ke 0,94% (yoy). Tren penurunan di berbagai sektor tersebut menunjukkan ekonomi domestik Indonesia masih rentan terhadap guncangan ekonomi global.

Kini kehadiran pemerintah sebagai pengambil kebijakan dipaksa sigap untuk mendorong ekonomi Indonesia agar dapat tumbuh sesuai dengan harapan. Berdasarkan APBN 2020, pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3 %. Pasalnya setiap perlambatan ekonomi China sebesar 100 basis poin (bps), ekonomi Indonesia akan terdampak sebesar 30 bps. Oleh sebab itu pemerintah perlu segera melakukan mitigasi, salah satunya dengan menjaga daya beli masyarakat.

Mengelola Fiskal dan Moneter

Saat ini dari sisi fiskal, pemerintah tengah berupaya menjaga daya beli masyarakat melalui percepatan realisasi beberapa program, di antaranya percepatan penyaluran dana desa hingga percepatan transfer dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).

Kementerian Keuangan telah menyalurkan dana BOS reguler tahap I gelombang I sebesar Rp9,8 triliun untuk 136.579 sekolah. Penyaluran dana BOS ke sekolah-sekolah pada bulan Februari 2020 ini lebih cepat bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang rata-rata baru masuk ke rekening sekolah pada bulan Maret dan April.

Alokasi dana BOS reguler tahap I sebesar 30% diperuntukkan bagi sekolah yang telah mendapatkan rekomendasi dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Dana BOS disalurkan secara langsung dari rekening kas umum negara ke rekening sekolah sebagaimana yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 9/PMK.07/2020 tentang Perubahan atas PMK Nomor 48/PMK.07/2019 tentang Pengelolaan DAK Nonfisik. Melalui proses penyaluran yang lebih cepat ke rekening sekolah, diharapkan kegiatan operasional mengajar dapat dilaksanakan dan didanai lebih cepat.

Selain itu baru-baru ini pemerintah juga telah menyalurkan dana desa tahun 2020 langsung dari kas umum negara ke rekening pemerintah desa. Tahun 2020 ini jumlah dana desa meningkat menjadi Rp72 triliun dari tahun sebelumnya yang sebesar Rp70 triliun.

Percepatan penyaluran dana desa tersebut diharapkan mampu menggerakkan roda perekonomian desa melalui berbagai program kegiatan desa. Guna merealisasi hal tersebut, penyaluran TKDD tahun anggaran (TA) 2020 telah didesain berbasis kinerja dan dilakukan percepatan dengan transfer langsung sesuai dengan ketentuan perundangan untuk mempercepat pemanfaatan dana dan pencapaian output/outcome.

Secara umum, kebijakan pemerintah ini juga diikuti kementerian/lembaga (K/L) dengan mempercepat realisasi belanjanya demi menggenjot perekonomian yang sedang dilanda berbagai tekanan. Belanja pemerintah, baik dalam bentuk belanja modal, belanja barang, belanja pegawai maupun belanja sosial, diharapkan berkontribusi secara optimal menjaga daya beli dan konsumsi masyarakat. Hal ini bisa dilihat dari pertumbuhan belanja barang dan belanja modal K/L pada Januari lalu yang masing-masing mencapai 13,2% dan 12,6% yoy.

Dewan Gubernur melalui Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia memutuskan untuk menurunkan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 25 bps menjadi 4,75%, suku bunga deposit facility sebesar 25 bps menjadi 4,00%, dan suku bunga lending facility sebesar 25 bps menjadi 5,50%. Penurunan tingkat suku bunga acuan dapat menjadi angin segar dalam mendorong pertumbuhan ekonomi domestik dan menjaga arus modal asing sebagai penopang stabilitas eksternal di tengah dinamika ekonomi global. Penurunan BI7DRR secara langsung diharapkan dapat mendorong sektor ekonomi, terutama swasta, agar terus dapat beraktivitas dan berkembang melalui ekspansi usahanya.

Insentif Pemerintah dan Pariwisata

Sektor pariwisata merupakan sektor yang potensial untuk dikembangkan sebagai salah satu kekuatan perekonomian nasional dan sumber pendapatan daerah. Usaha memperbesar peran sektor pariwisata ini bisa dibantu melalui sektor transportasi maupun hotel dan restoran yang lebih murah. Pariwisata dipandang sebagai kegiatan yang multidimensi dari rangkaian suatu proses pembangunan. Semakin banyak tempat wisata yang dikelola baik oleh pemerintah daerah maupun penduduk setempat pasti akan menciptakan efek positif berganda bagi perekonomian.

Melalui insentif yang diberikan pada sektor pariwisata tersebut, diharapkan wisatawan dalam negeri akan terus melakukan perjalanan wisata pada destinasi wisata domestik yang sangat indah dan menyebar ke seluruh Indonesia. Dengan demikian sangatlah tepat jika pemerintah juga akan memberikan insentif untuk menekan biaya transportasi. Begitu pula jika pemerintah akan memberikan insentif pada sektor hotel dan restoran. Semua ini tentu merupakan upaya menyeluruh dari pemerintah untuk mempertahankan sektor ekonomi tetap berjalan sesuai dengan yang diharapkan.

Selanjutnya pemerintah saat ini juga perlu mendorong sektor properti melalui sejumlah kebijakan insentif perpajakan untuk memicu geliat sektor tersebut. Pertumbuhan sektor real estat sempat menyamai pertumbuhan PDB nasional pada 2014 lalu, yaitu sebesar 5,01%.

Akan tetapi pertumbuhan sektor real estat terus turun secara konsisten hingga tahun 2018 pada angka 3,58%. Selama periode 2014–2018, pemerintah juga mencatat proporsi sektor real estat terhadap PDB stagnan di bawah 3%.

Indikator perkembangan sektor properti juga tecermin dari Indeks Pertumbuhan Harga Properti Residensial yang disurvei BI secara periodik. Berdasarkan hasil survei terhadap 18 kota utama, terlihat adanya perlambatan indeks pertumbuhan harga pada semua segmen properti seiring dengan pertumbuhan ekonomi domestik yang juga melambat.

Padahal sektor konstruksi dan real estat merupakan sektor yang penting lantaran memiliki efek pengganda (multiplier-effect) yang tinggi. Peningkatan aktivitas di kedua sektor tersebut dapat mendorong kegiatan ekonomi yang lebih tinggi di sektor-sektor lain seperti perdagangan, semen, transportasi, jasa keuangan dan asuransi hingga sektor makanan dan minuman.

Kuartal I-2020 memang baru sepertiga jalan, masih banyak jalan, waktu, dan asa untuk memperbaiki dan mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan terburuk atas dinamika ekonomi global. Waktu yang masih tersisa harus dimanfaatkan dengan baik. Kehadiran pemerintah sangat diperlukan dalam memulihkan dan memperkuat kondisi ekonomi domestik di tengah ketidakpastian ekonomi dunia. Semoga.

Candra Fajri Ananda
Dosen dan Guru Besar FEB Universitas Brawijaya

Spending Cerdas

$
0
0

Fenomena perlambatan ekonomi global masih berlanjut. Musim pemangkasan proyeksi laju pertumbuhan ekonomi terjadi hampir di seluruh negara. Di tengah perang dagang Amerika Serikat (AS) dan China yang mulai mereda, kemunculan wabah virus corona seketika berhasil memorak-porandakan ekonomi dunia. Wabah virus korona yang terus menyebar diyakini berimbas pada lemahnya ekonomi global secara signifikan. Virus korona yang melumpuhkan sebagian dari kegiatan operasional perusahaan akhir-akhir ini diprediksi akan mengancam pertumbuhan ekonomi global pada kuartal I/2020.

China, di mana korona berasal, merupakan negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia. Bahkan menurut sebuah laporan baru dari Goldman Sachs, virus korona yang telah menyebar dengan cepat diperkirakan juga dapat memperlambat pertumbuhan kuartal pertama ekonomi AS. Penurunan ekonomi AS ini akibat berkurangnya ekspor AS ke China serta penurunan jumlah turis China ke AS. Tekanan ekonomi China berpotensi memberi efek limpasan ke negara-negara mitra termasuk Indonesia melalui beberapa transmisi seperti sektor pariwisata, perdagangan internasional, dan aliran investasi.

Menjaga Laju Pertumbuhan

Beberapa waktu yang lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang 2019, mencapai angka 5,02% secara tahunan (yoy). Angka tersebut tumbuh lebih rendah dibandingkan tahun 2018 sebesar 5,17%. BPS mencatat bahwa angka pertumbuhan ekonomi 5,02% tersebut utamanya masih berasal dari konsumsi rumah tangga yang juga sedang mengalami perlambatan. Konsumsi rumah tangga mencapai 4,97% di kuartal IV/2019, demikian juga kinerja industri pengolahan juga mengalami perlambatan cukup dalam.

Sikap pemerintah Indonesia sudah jelas dalam menghadapi perlemahan ekonomi dunia tersebut dengan menerapkan kebijakan counter cyclical, yang tentunya bertujuan menahan perlemahan perekonomian dalam negeri sebagai dampak ekonomi dunia secara mendalam.

Mengingat konsumsi masyarakat masih menjadi motor utama penggerak perekonomian nasional, maka saat ini pemerintah perlu fokus menjaga daya beli masyarakat dan mendorong aktivitas produktif. Beberapa paket kebijakan ekonomi diharapkan mampu menahan perlemahan ekonomi, seperti memperkuat konsumsi rumah tangga, kegiatan produksi, dan investasi di masyarakat. Di luar usaha tersebut, pemerintah tentu juga berharap bahwa perlu dicegah terjadinya gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK), tentu ini perlu pemberian insentif yang tepat untuk situasi yang seperti ini.

Dari sisi moneter, Bank Indonesia sudah memutuskan untuk menurunkan suku bunga acuan 7-Day Reverse Repo Rate sebanyak 25 basis poin menjadi sebesar 4,75%. Pada saat bersamaan, Bank Indonesia juga memutuskan untuk menurunkan suku bunga deposit facility dan lending facility sebesar 25 basis poin masing-masing menjadi 4,00% dan 5,50%. Penurunan ini merupakan yang pertama kali setelah bank sentral mempertahankan suku bunga acuan sebesar 5% selama empat bulan berturut-turut atau sejak Oktober 2019.

Menurunnya tingkat suku bunga ini diharapkan akan diikuti oleh tingkat bunga bank umum sehingga akan direspons positif oleh para pengusaha untuk terus berproduksi atau bahkan melakukan ekspansi produksi.

Sektor pariwisata merupakan sektor yang terdampak signifikan atas terjadinya wabah virus korona. Terdampaknya sektor pariwisata tersebut secara langsung juga berdampak terhadap subsektor lainnya seperti perhotelan, restoran, dan penerbangan akan terpengaruh sehingga berpotensi akan menghambat pertumbuhan konsumsi rumah tangga. Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Kepala Badan Pariwisata dan Ekonomi menyebutkan bahwa selama ini pariwisata merupakan sektor padat karya yang menyerap lebih dari 13 juta pekerja.

Angka tersebut belum termasuk dampak turutan atau multiplier effect yang mengikuti, termasuk industri turunan yang terbentuk di bawahnya.

Sektor lain yang diupayakan untuk tumbuh positif adalah bidang perumahan. Pemerintah menyediakan insentif sebesar Rp1,5 triliun. Jumlah tersebut terdiri atas Rp800 miliar untuk subsidi selisih bunga dan Rp700 miliar untuk subsidi bunga uang muka. Bantuan tersebut akan menambah pasokan unit rumah yang mendapat subsidi sebanyak 224.000. Sektor properti diharapkan bisa memberikan dampak turunan terhadap 150 bidang industri, di antaranya semen, besi, furnitur yang merupakan barang-barang yang dibutuhkan untuk pembangunan perumahan.

Efektivitas dan Insentif

Indikator efektivitas dalam implementasi kebijakan dapat dilihat dari tercapainya sasaran atau tujuan yang telah ditentukan, di mana target yang telah tercapai sesuai dengan yang direncanakan. Insentif yang diberikan oleh pemerintah perlu perhitungan yang cermat dan dipastikan siapa sebenarnya penerima manfaat. Jangan sampai misleading, di mana penerima insentif ternyata bukan golongan yang ditargetkan, melainkan kelompok lainnya.

Dengan kacamata positif, kejadian saat ini sebenarnya membuka peluang baru di mana pariwisata domestik menjadi krusial untuk berkembang lebih daripada sebelumnya.

Sebelumnya, hambatan utama orang melakukan kegiatan wisata domestik adalah transportasi, terutama tiket pesawat. Jika harga tiket pesawat bisa ditekan, ditambah dengan hari libur diperpanjang (pengganti Sabtu), gaji ke-13 dibayar lebih awal, rapat-rapat kementerian dan lembaga dilakukan di daerah, tentunya kita optimistis bahwa ekonomi domestik kita mampu bertahan dari gempuran dinamika ekonomi dunia yang kuat dan tidak terpola. Tambahan dana sebesar Rp298,5 miliar saat ini bagi sektor pariwisata, tentu masih sedikit, tetapi setidaknya kita boleh berharap bahwa ekonomi masyarakat dan daerah wisata kita tetap bergerak positif.

Pemerintah daerah juga memiliki peran yang krusial terutama untuk bertanggung jawab langsung atas perekonomian daerahnya. Pola belanja yang lebih baik, perizinan yang lebih mudah dan murah, serta fokus pada sektor ekonomi yang produktif, akan in-line dengan keinginan pemerintah pusat. Dana desa meningkat menjadi Rp72 triliun dari tahun sebelumnya yang hanya Rp70 triliun, dan pola transfernya diubah, di mana pertama 40%, kedua 40%, dan terakhir 20%. Tentu dengan harapan bahwa dana desa tersebut secepatnya dibelanjakan dan menggerakkan seluruh sektor ekonomi di desa tersebut.

Menjaga pertumbuhan kuartal I/2020 di atas 5% bukan pekerjaan yang ringan. Meski ketidakpastian itu semakin nyata, upaya, semangat, dan optimisme perlu terus dikobarkan. Pengelolaan hubungan pusat dan daerah termasuk antarkementerian/ lembaga yang lebih baik, kebijakan fiskal dan moneter yang semakin padu (harmonis), belanja kementerian dan daerah yang cerdas, akan menuju sinkronisasi langkah, tentu positif bagi Indonesia tercinta. Semoga!

Prof Candra Fajri Ananda Phd
Staf Khusus Menteri Keuangan Republik Indonesia

Empat Skill Untuk Mahasiswa Milenial

$
0
0

Pesatnya pertumbuhan pengetahuan baru, globalisasi perdagangan dan budaya, meningkatnya kebutuhan pendidikan dan keragaman populasi, menjadikan manusia harus adaptif terhadap perubahan-perubahan tersebut. Penekanan pada transfer keterampilan dan pengetahuan serta pentingnya soft skill yang muncul seperti kreativitas, manajemen inovasi, berpikir futuristik dan kewirausahaan penting untuk meningkatkan keunggulan yang kompetitif di tingkat pribadi dan organisasi.

“Di pendidikan masa depan, apa yang dapat mahasiswa lakukan adalah mahasiswa harus memiliki 4 skills ini untuk menghadapi dunia,” terang Prof. Amran Rasli, Ph.D dari Sumait University, Zanzibar saat menjadi pembicara pada kuliah umum Masa Depan Pendidikan di Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) UB, jumat (6/3/2020).

Empat skills yang dimaksud adalah yang pertama, menjadi pribadi yang kreatif, kreatif dalam hal ini meliputi penciptaan ide dan berpikir kritis. Mahasiswa sekarang, harus mampu menghasilkan ide-ide baru, berpikir terbuka, mempertimbangkan berbagai kemungkinan dan solusi, berpikir kreatif dan konstruktif, dan jadilah mahasiswa dengan karya yang original bukan plagiarisme. Berpikir kritis, tidak mudah menerima semua informasi yang masuk, tanpa pembenaran atau bukti yang cukup, objektif, jujur, dan menghargai pendapat orang lain.

Skills selanjutnya adalah manajemen inovasi. Artinya, mahasiswa dapat mengenali dan menerapkan strategi untuk manajemen inovasi dalam suatu organisasi, memanfaatkan ide-ide yang dihasilkan dari berbagai sumber, bertindak secara tepat dalam mengatasi masalah di organisasi, serta merancang dan menerapkan kreativitas.

“Kemudian, kemampuan berpikir masa depan, mahasiswa harus mampu memindai tren, sadar tentang perencanaan strategis masa depan yang panjang. Lalu yang terakhir, kemampuan wirausaha, mahasiswa khususnya mahasiswa FEB harus mampu mengenali dan menerapkan faktor-faktor kunci dalam pendirian sebuah perusahaan baru dan merumuskan rencana bisnis untuk sebuah perusahaan baru. Mahasiswa harus menjadi wirausaha yang baik, kuat dan pantang menyerah,” pungkasnya.

sumber : http://kanal24.co.id/read/empat-skill-untuk-mahasiswa-milenial

Langkah Cepat dan Tepat

$
0
0

Ancaman novel coronavirus atau Covid-19 kian nyata. Virus tersebut telah sukses menyebarkan ketakutan yang nyata di seluruh penjuru dunia, terlebih setelah Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengumumkan epidemi virus corona sebagai darurat global.

Wabah virus corona Covid-19 telah dikonfirmasi di lebih dari 100 negara. Sementara itu, jumlah kasus yang terkonfirmasi telah mencapai 109.835 kasus di berbagai belahan dunia. Situasi dunia kini semakin darurat. Dunia berupaya sekeras mungkin dalam mencegah penyebaran virus tersebut. Namun, tampaknya penyebaran Covid-19 semakin meluas.

Merebaknya novel coronavirus atau Covid-19 di seluruh penjuru dunia tidak hanya mengancam kesehatan masyarakat, tetapi juga berdampak terhadap ekonomi dunia. Ancaman resesi global telah nyata muncul di depan mata. Ekonomi global diprediksi tumbuh hanya mencapai 3,3%. Angka ini terpangkas 0,1 hingga 0,2% karena virus korona.

Selain itu, turunnya kebutuhan minyak dunia terutama China yang kegiatan industrinya turun drastis hingga 30% karena dampak korona, menjadi salah satu alasan minyak dunia menjadi over-supply. Arab Saudi telah membanting harga minyak dari USD60 per barel menjadi lebih rendah USD30 per barel, belum lagi Rusia yang menolak untuk menurunkan produksi minyak agar harga tetap stabil membuat terjadi perang harga, hal ini juga berimbas catatan merah pada bursa saham global.

Guncangan Ekonomi bagi Indonesia

Dampak buruk akibat sebaran virus korona juga dirasakan oleh pasar keuangan di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Data menunjukkan bahwa perdagangan di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada Jumat 13 Maret 2020 mengalami penurunan. Terlihat indeks harga saham gabungan (IHSG) terpantau anjlok hingga menyentuh angka 5,02%. Penurunan tersebut juga terjadi pada saham Asia lainnya seperti Hang Seng turun 5,78%, disusul oleh KOSPI Korea turun 6,31%, KLCI Malaysia mengalami penurunan hingga 6,49%, Indeks Nikkei Jepang turun 8,23%, dan penurunan terendah dialami oleh Sensex India yang anjlok hingga 9,43%. Selain itu, sektor perbankan, consumer goods, properti, resources, dan konstruksi juga terpantau merah.

Besarnya efek virus korona telah berhasil memengaruhi aktivitas masyarakat, menurunkan produktivitas perusahaan, hingga berkembang ke pemutusan hubungan kerja sektor-sektor terdampak. Kelumpuhan aktivitas ekonomi mutlak dialami airlines, hotel, dan saat ini industri manufaktur karena disrupsi dari barang-barang supply chain. Wabah korona di China dalam beberapa bulan terakhir telah berdampak pada rantai pasok bahan baku dari China ke dunia termasuk Indonesia. Langkah pemerintah melalui paket kebijakan untuk mendorong konsumsi dan menjaga sisi permintaan menjadi tidak efektif karena sisi supply terkoreksi.

Operasional bahan baku perusahaan baik dari dalam negeri maupun luar negeri kini telah terganggu. Asupan bahan baku yang semakin tidak lancar dan sulit, menyebabkan perusahaan melakukan antisipasi melalui penurunan produksi. Jika hal itu terjadi maka perlu alert untuk inflasi yang bisa jadi akan mengalami peningkatan karena produksi tidak dapat memenuhi jumlah demand.

Pemerintah Indonesia menyebut bahwa menghadapi efek virus korona atau Covid-19 lebih rumit ketimbang krisis keuangan global pada 2008. Virus korona tak hanya berdampak pada kesehatan manusia, tetapi juga berdampak pada psikologis masyarakat. Faktor psikologis dan ekspektasi yang sangat negatif yang diadopsi oleh beberapa pelaku pasar mendorong pasar kian lesu tak berdaya. Begitu juga dengan panic buying yang sempat terjadi di awal virus korona masuk ke Indonesia menyebabkan permintaan meningkat tajam. Kenaikan permintaan tersebut berpotensi memicu kelangkaan barang yang bisa berakhir pada kenaikan harga.

Menjaga Guncangan Psikologis Masyarakat

Dampak lain yang juga cukup merusak pasar ketika psikologis masyarakat mulai terdampak ialah munculnya oknum yang sengaja memanfaatkan momentum atas kenaikan permintaan untuk mengerek harga lebih tinggi dengan menyimpan stok barang. Hal tersebut dapat merusak harga barang di pasar dan menimbulkan guncangan terhadap pembelian barang.

Kini saatnya pemerintah fokus untuk menjaga perekonomian kita agar tidak terperosok semakin dalam melalui ketersediaan pangan. Wabah virus korona yang kian meresahkan masyarakat menyebabkan sejumlah masyarakat berbondong-bondong menyerbu bahan pangan untuk menjaga ketersediaan pangan di rumah ataupun menjaga ketahanan tubuh diri sendiri, sehingga dapat dipastikan permintaan pangan akan meningkat drastis. Selama ini, bahan makanan merupakan penyumbang terbesar inflasi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada Januari 2020, gejolak harga bahan makanan terhadap inflasi secara keseluruhan adalah 0,32%. Oleh sebab itu, pemerintah perlu memastikan kestabilan ketersediaan pangan dengan baik untuk menjaga perekonomian nasional.

Atas kondisi ini, pemerintah perlu mengambil langkah ekstra agar ekonomi Indonesia tidak terinfeksi virus korona. Langkah ekstra melalui kebijakan yang dapat diimplementasikan dalam jangka pendek hingga menengah. Pemerintah harus tetap menjaga kelancaran arus perdagangan di tengah ancaman virus korona. Pemerintah perlu memastikan pasokan barang kebutuhan industri tetap berjalan dan bebas dari paparan virus.

Langkah penting saat ini ialah memastikan semua komponen pemerintah memiliki semangat yang sama, yakni menstandarkan pelayanan kesehatan, mempersiapkan rumah sakit rujukan, termasuk memperbanyaknya baik rumah sakit swasta maupun milik pemerintah untuk memastikan keterjangkauan dan kecepatan pelayanan kesehatan. Melalui fasilitas yang baik dan penanganan yang tepat, pemerintah dapat menekan penyebaran virus dan menciptakan kepercayaan masyarakat. Saat ini yang dibutuhkan untuk membangun kepercayaan itu adalah memberikan informasi jelas kepada publik terkait virus korona.

Langkah lain yang perlu dilakukan pemerintah ialah menjaga koordinasi antar-K/L termasuk dengan pemerintah daerah (pemda). Koordinasi tersebut perlu dilakukan terutama dengan pemda yang daerahnya terdampak besar dengan destinasi wisata terbanyak. Hal itu merujuk pada Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, di mana pemerintah bersama pemda, masyarakat bertanggung jawab melakukan upaya pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan penyakit menular serta akibat yang ditimbulkannya. Selain itu, pemda juga perlu secara berkala menetapkan dan mengumumkan jenis dan persebaran penyakit yang berpotensi menular dan atau menyebar dalam waktu yang singkat, serta menyebutkan daerah yang dapat menjadi sumber penularan. Jangan sampai hanya karena masalah koordinasi, sosialisasi, membuat virus ini jadi lebih kuat daripada kita.

Covid-19 telah nyata di depan mata sebagai tantangan yang harus dihadapi bersama. Ancaman kesehatan, psikologis, hingga ekonomi kian memerlukan kesigapan pengendalian. Artinya, kini tak bisa pemerintah bergantung hanya pada kementerian tertentu, atau hanya pada pemerintah pusat. Perlu kebersamaan langkah berbagai instansi dari pusat hingga daerah untuk menjaga kekuatan nasional kita. Semoga!

Prof. Candra Fajri Ananda Ph.D
Staf Khusus Menteri Keuangan RI

Fokus Kesehatan, “First”

$
0
0

Indonesia kian terancam. Persebaran virus Covid-19 di Indonesia semakin luas. Kasus positif Covid-19 terus melonjak hari demi hari. Hingga Sabtu, 21 Maret 2020, jumlah kasus meningkat menjadi 450 orang. Bahkan, dari jumlah tersebut, 38 orang dinyatakan meninggal dunia. Ironisnya jumlah kematian akibat virus corona ini di Indonesia mencatatkan angka tertinggi di Asia Tenggara. Indonesia disebut sebagai negara dengan persentase kematian tertinggi yang mencapai angka 8%.

Rasio tersebut melampaui sejumlah negara lain yang turut terdampak virus corona seperti Italia, Iran, China. Kenyataan ini kian membuat pemerintah dan masyarakat terpukul di tengah upaya memerangi virus corona.

Tak dapat dimungkiri, dinamika perubahan angka kasus corona di Indonesia yang meningkat pesat membawa kondisi ekonomi Indonesia perlu perhatian secara mendalam. Bank Indonesia (BI) menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi pada 2020 menjadi 4,2–4,6% dari sebelumnya 5,0–5,4%. Pemangkasan tersebut seiring dengan tantangan persebaran virus corona bagi pertumbuhan ekonomi domestik. Selain itu BI juga memperkirakan pertumbuhan ekonomi global 2020 hanya 2,5% di mana angka tersebut lebih rendah daripada pertumbuhan ekonomi 2019 yang sebesar 2,9% dan lebih rendah dari proyeksi sebelumnya yang sebesar 3%.

Sejumlah ekonom sepakat persebaran virus corona sukses menyebabkan nilai tukar rupiah dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami penurunan secara signifikan. Perdagangan IHSG pada Jumat, 20 Maret 2020, tercatat telah meninggalkan level 4.000. IHSG dibuka di level 4.104 dan mengalami titik terendah pada level 3.918. Begitu pula dengan yang terpantau di pasar spot, rupiah sempat menembus level Rp16.037 per dolar AS.

Ironisnya angka IHSG dan rupiah tersebut mencatatkan rekor terendah sejak pemerintahan Presiden Joko Widodo memerintah. Pelemahan IHSG dan nilai tukar rupiah tersebut tak lain karena semakin meningkatnya kekhawatiran pelaku pasar yang selanjutnya mendorong mereka untuk keluar dari pasar keuangan di negara-negara yang berisiko tinggi sehingga investor saat ini cenderung mencari instrumen keuangan di negara safe haven. Hingga kini wabah corona di Indonesia belum terlihat akan terkontrol dalam waktu dekat sehingga potensi tekanan dan dampak terhadap ekonomi nasional yang lebih luas dan lebih dalam bila dibandingkan dengan saat ini masih sangat terbuka.

Dilema Kesehatan vs Ekonomi

Kini pemerintah telah menyatakan Indonesia dalam kondisi tanggap darurat bencana nonalam. Hal tersebut menandakan bahwa situasi yang terjadi saat ini lebih serius bila dibandingkan dengan Keadaan Luar Biasa (KLB) yang sebelumnya dinyatakan sejumlah pemerintah daerah seperti Kota Solo dan Provinsi Banten. Melihat kondisi tersebut, pemerintah perlu mengedepankan kesehatan dan keselamatan masyarakat dan mengesampingkan prinsip efisiensi mengingat Indonesia sedang dihadapkan pada kondisi genting dan tak normal.

Kehancuran ekonomi merupakan keniscayaan di tengah serangan virus corona. China, negara yang menjadi sumber virus corona, selama berperang melawan virus telah mengalami kerugian ekonomi yang mendalam. Virus corona telah menyebabkan dana sebesar USD445 miliar atau setara Rp6.112 triliun (asumsi Rp13.728 per USD) kabur dari pasar modal China.

Selain itu sejumlah perjalanan melalui udara turun 41,6%, perjalanan kereta api turun 41,5%, dan transportasi darat di jalan raya menurun 25%. Tak hanya itu, sejumlah aktivitas perdagangan di dalam negeri China maupun ekspor impor China juga dihentikan sementara karena persebaran virus corona. Alhasil China kekurangan pemasukan dalam negeri.

Jakarta yang kini sudah menjadi episentrum corona karena jumlah kasusnya paling banyak sempat memberlakukan pembatasan sarana transportasi. Seruan untuk menutup sebagian wilayah atau bahkan seluruh Indonesia nyaring disuarakan di media sosial. Hal tersebut merujuk pada kebijakan negara seperti China yang memberlakukan lockdown di Wuhan dan beberapa kota lain atau memberlakukan lockdown total seperti di Italia dan negara Eropa lainnya. Lockdown merupakan kebijakan paling ekstrem untuk mencegah persebaran virus ketika transmisi lokal sudah merebak luas di tengah masyarakat. Kebijakan menutup total wilayah-wilayah terdampak tentu jauh lebih efektif daripada sebatas imbauan jaga jarak sosial (social distancing). Sayangnya konsekuensi mengisolasi kota di Indonesia terhalang dengan konsekuensi berat yang harus dihadapi. Kebijakan lockdown secara langsung akan berdampak pada perekonomian, khususnya yang berada di sektor informal.

Berbeda dengan negara-negara maju, sayangnya Indonesia masih didominasi pekerja sektor informal yang akan sangat terpukul jika kebijakan lockdown dilakukan.

Fokus dan Solidaritas Melawan Corona

Melalui anggaran yang ada, masyarakat menanti kesigapan Pemerintah Indonesia dalam menangani pandemi Covid-19 yang tengah menggurita. APBN bersumber dari rakyat, harus digunakan sebesar-besarnya untuk kemaslahatan rakyat. Dalam kondisi genting saat ini sudah saatnya pemerintah pusat memanfaatkan anggaran yang tersedia untuk menuntaskan masalah pandemi Covid-19 ini. APBN sebagai alat kebijakan tidak semestinya hanya memperhatikan pembangunan ekonomi. Di tengah ancaman Covid-19, politik anggaran harus lebih berpihak pada kesehatan warga negara. Pemerintah sebagai penguasa dan pengambil keputusan terakhir perlu bersikap dengan segala risikonya.

Saat ini Indonesia tengah menghadapi dua tekanan besar, yakni ancaman Covid-19 yang telah di depan mata dan tekanan ekonomi. Tentu ini bisa saja sebagai kausalitas, tetapi keduanya memerlukan penanganan masing-masing karena risikonya pun berbeda. Kondisi yang terjadi kini memaksa pemerintah untuk mendahulukan penyelamatan nyawa rakyat.

Menyelamatkan nyawa rakyat juga telah diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu bahwa hak untuk hidup adalah hak setiap orang dan negara wajib melindunginya. Kehancuran ekonomi lazim terjadi di negara-negara terdampak corona, tetapi ekonomi dapat dibangun kembali, sedangkan nyawa tak bisa dikembalikan lagi.

Jika pemerintah memilih fokus pada kesehatan sebagai hal yang utama, filosofi APBN/D yang menurut fungsinya digunakan sebagai sumber pendanaan dan pembiayaan bagi pelaksanaan pembangunan harus digeser pada penyelamatan umat manusia. Meskipun pengorbanan ini menitikberatkan pada manusia, kita berharap ekonomi tetap bisa berjalan dan menghasilkan nilai tambah.

Kini solidaritas kemanusiaan di seluruh elemen masyarakat sangat diperlukan. Seluruh komponen bangsa, pemerintah, pengusaha, akademisi, pimpinan ormas mesti bersatu padu bekerja sama untuk mencegah, menyembuhkan, dan mengantisipasi seluruh dampak yang muncul akibat serangan Covid-19 ini.

Prof Candra Fajri Ananda, PhD
Staf Khusus Menteri Keuangan Republik Indonesia

Covid19 dan Dampaknya terhadap Ekonomi?

$
0
0

Perekonomian dunia terus mengalami tantangan-tantangan baru:

  • Hadirnya revolusi industri 4.0 yang mencemaskan industri-industri bergaya lama.
  • Perang dingin AS dan Tiongkok, hingga
  • Serangan virus Covid-19

Setidaknya ketiga hal ini menjadi sebuah era baru VUCA, dimana ekonomi dunia dihadapkan pada posisi yang volatility, uncertainty, complexity dan ambiguity. Artinya, kita harus mengakui kegamangan atas strategi apa yang harus dilakukan menghadapi tantangan-tantangan baru kedepannya.

Secara umum, dampak apa yang tiga hal besar diatas memberikan dampak apa pada perekonomian nasional dan lokal?

Dalam sudut pandang mikro (business), VUCA atau masalah-masalah ini adalah hal baru bagi mereka. Maka yang dihadapi, antara lain:

  • Bisnis mengalami tantangan yang baru.
  • Bisnis menghadapi konsumen yang baru dengan preferensi konsumen yang baru dan lebih kompleks.
  • Bisnis mengalami tantangan menggunakan inovasi digital.
  • Bisnis menghadapi kompetitor yang baru.
  • Bisnis mengalami keterbatasan dalam melakukan inovasi.
  • Bisnis mengalami kesulitan dalam merubahan kebiasaan lama.

Bagi bisnis, mereka akan melakukan beberapa hal dalam jangka pendek:

  • Melakukan evaluasi terhadap bisnis proses (model) sehingga akan mengubah haluan strategi bisnis dalam jangka pendek, menengah.
  • Melakukan efisiensi dengan melakukan pengurangan jumlah karyawan.
  • Menjadwal kembali hutang-hutang mereka.

Dalam menghadapi perubahan-perubahan tersebut, khususnya pengaruh pandemic Covid19 maka ada beberapa hal yang harus diantisipasi. Namun, akan diuraikan dulu landscape ekonomi yang berubah akibat pandemi Covid19:

  1. Depresiasi rupiah akan terus terjadi yang disebabkan karena beberapa hal yang kompleks.
    • Penurunan produksi di Tiongkok (akibat lockdown) mengurangi supply dunia, sehingga kurva AS (Agregate Supply) akan tergeser kekiri mengurangi jumlah output dan menaikkan harga. Hal ini tentu akan mendorong depresiasi rupiah, krn Indonesia adalah Net Importer.
    • Penurunan kinerja perusahaan domestik (akibat pandemic Convid19) akan mengurangi minat investor untuk berinvestasi di Indonesia dalam jangka pendek (pasar saham). Hal ini tentu saja akan mendorong capital outflow sehingga terus mendepresiasi rupiah.
    • Masa depan ekonomi Indonesia yang belum jelas tentu saja mengurangi minat investor untuk berinvestasi di seluruh jenis instrumen keuangan (surat hutang), hal ini tentu saja akan berdampak pada melemahnya rupiah.
  2. Investasi domestik maupun asing tentu saja akan berkurang karena “ekspektasi investor” yang masih belum stabil. Sehingga mereka akan menunda investasi mereka dalam jangka pendek dan menengah.
  3. Preferensi Konsumen yang “shock” akibat pandemic Covid19:
    • Mereka akan prefer dan mengutamakan kebutuhan primer, dibandingkan sekunder maupun tersier bahkan menunda leisure mereka karena ancaman pandemic dan efek campaign pemerintah (#workfromhome, #socialdistancing)
    • Konsumen akan cenderung mengkonsumsi barang-barang sehat yang diyakini mampu meningkatkan imunitas mereka. Rempah-rempah (organik); Makanan dan minuman kesehatan; Mengurangi Rokok
  4. Biaya telekomunikasi akan meningkat tajam seiring dengan semakin ingin tahunya masayakat atas informasi-informasi dan perkembangan baru.
  5. Masyarakat akan mengurangi keinginan mereka untuk berpergian (penurunan yang tajam biaya transportasi)

Kemudian apa yang dilakukan oleh Pemerintah lokal untuk mengantisipasi dampak ekonomi secara luas?

Sebelum membahas ini, perlu menjadi perhatian bersama. Dalam ilmu ekonomi kita selalu belajar tentang Trade-off, yaitu dua pilihan ekstreem antara lockdown (kesehatan masyarakat membaik) dan Ekonomi (kesehatan masyarakat memburuk).

Dalam hal ini, lockdown adalah menghentikan keseluruhan aktivitas ekonomi masyarakat, dan pilihan ekonomi adalah tidak adanya pembatasan social distancing dll. Tentu pilihan ekstreem ini tidak dilakukan di Indonesia. Namun, pendulum pilihan ada diantara atau memihak yang mana.

So, strategi apa yang harus dilakukan?

  1. Strategi solidaritas ekonomi lokal.
  2. Realokasi anggaran untuk kebutuhan mendesak dan strategis.
  3. Kebijakan Targeted saja pada yang paling terdampak atau yang paling memberikan value paling tinggi untuk mengurangi resiko Convid19.
  4. Jaga supply dan stock kebutuhan pokok (dasar) tersedia dan harganya terjangkau.
  5. Jaga ekspektasi masyarakat agar tidak “panik”.
  6. Insentif kebijakan untuk mendukung ekonomi lokal.

Namun, sebelum lebih detail. Siapa Pahlawan di Era Covid19? Inilah person-person yang punya andil besar dan positif di Era Convid19.

  1. Paramedis (dokter, suster dan pegawai rumah sakit). Bagaimana memberikan insentif bagi mereka untuk terus semangat bekerja, menjaga kesehatan dll.
  2. Bagaimana memberikan insentif bagi mereka untuk terus semangat bekerja, menerima subsidi pupuk dan efisiensi biaya input, menjaga kesehatan dll.
  3. Driver OJOL. Bagaimana memberikan insentif bagi mereka untuk terus semangat bekerja, menjaga kesehatan dll.
  4. Satpol PP. Bagaimana memberikan insentif bagi mereka untuk terus semangat bekerja, menjaga kesehatan dll.

Kemudian, siapa yang paling beresiko terhadap convid19 selain 4 orang diatas, adalah Manula atau orang tua yang juga memiliki penyakit bawaan yang dapat semakin buruk kesehatannya ketika terjangkit Covid19. Oleh karena itu, perlu jg targeted actions untuk menyelamatkan mereka.

Strategi solidaritas ekonomi lokal.

  • Hal paling simple yang bisa dilakukan di era Covid19 dan recovery adalah mengembalikan kembali kejayaan ekonomi lokal (UMKM).
  • Kita bisa melakukan gerakan support produk-produk lokal, membatasi import untuk menjaga cadangan devisa dan rupiah.’
  • Kembali mendukung sektor pertanian dimana sektor ini menjadi primadona di era “self-quarantine”, dimana orang akan bertahan untuk sehat dan bertahan untuk tetap makan.
  • Kita dorong industri-industri baru maupun lama untuk terus berproduksi menciptakan inovasi produk (hilirasi) sektor-sektor pertanian, perkebunan (primer) yang memang saat ini urgent dibutuhkan masyarakat.
  • Kita dorong juga seluruh upaya dan inovasi di sektor makanan kesehatan, agar masyarakat lebih mengenal apa yang seharusnya mereka makan? Mengapa makanan organik lebih baik dll.
  • Dorong bisnis-bisnis lokal yang memproduksi Jamu. Kembangkan Jamu-jamu tradisional dengan pendekatan klinis, berkolaborasi dengan Perguruan tinggi.

Realokasi anggaran untuk kebutuhan mendesak dan strategisSeluruh OPD adalah Satgas Covid19. Namun gerak mereka harus terpadu, terencana dan terukur.

  • OPD Perindustrian, Perdagangan dan UMKM mengawal pasar-pasar tradisional mendapatkan pengawalan khusus, kaitannya dengan keamanan, kesehatan, ketersediaan stock dan insentif untuk menggiatkan pasar tradisional.
  • OPD Pemberdayaan masyarakat mendorong UMKM yang dapat mencegah penyebaran Covid19: Pembuatan Masker, Bilik semprot disinfektan dan hal-hal inovatif lainnnya untuk mendukung upaya-upaya pemerintah mengurangi penyebaran Covid19.
  • OPD Kesehatan terus mengembangkan data real-time tentang PDP, ODP, Suspect dll yang terhubung dengan CallCenter atau Satgas Covid19. Untuk menghindari penumpukan pasien di RS, serta untuk mengedukasi ciri-ciri symptomps Covid di masyarakat.
  • Penyiapan Gugus di level kelurahan sebagai bagian mendukung kebijakan-kebijakan pemerintah kabupaten/Kota:
    • Menutup dan memberhentikan keramaian.
    • Mengedukasi masyarakat ttg social distancing, hoax, tidak panic buying dll.

Anggaran harus strategis dan targeted untuk yang paling terdampak dan pahlawan yang beresiko (Paramedis, OJOL, Petani dll.)

  • Insentif khusus dinas kesehatan untuk paramedis dan staf.
  • Insentif khusus bagi petani.

Jaga supply dan stock kebutuhan pokok (dasar) tersedia dan harganya terjangkau.

  • Insentif dan Subsidi Bagi Petani.
  • Insentif dan Subsidi Bagi Pasar Tradisional.
  • Mendorong logistik sistem Pasar Tradisional dengan Masyarakat.

Jaga ekspektasi masyarakat agar tidak “panik”.

  • Pemerintah lokal terus melakukan operasi pasar.
  • Pemerintah terus mengupdate ketersediaan bahan pangan.
  • Pemerintah menjaga agar tidak terjadi panik-buying dengan menindak upaya-upaya pelanggaran (penimbunan dan panik buying).

Insentif kebijakan untuk mendukung ekonomi lokal.

  • Pengurangan pajak bagi sektor-sektor yang paling memberikan manfaat di Era Pandemi: kuliner.
  • Fasilitasi dengan perbankan untuk rescheduling

Dorong penggunaan E-Money dan E-Wallet

  • Kurangi kontak fisik dengan benda mati (uang). Karena alat transaksi ini juga menimbulkan resiko bagi penyebaran virus Covid19.

Pelajaran Penting di Era Covid19, kaitannya dengan kebijakan publik?

  1. Menjaga agar masyarakat tidak panik adalah hal yang perlu untuk terus dilakukan. Dengan apa?
    • Terus menangkal HOAX (bahkan harus lebih cepat, agar tidak melebar dan membuat kepanikan baru.)
    • Terus melakukan tindakan tegas untuk mematuhi peraturan pemerintah (social distancing dll).
    • Terus melakukan upaya pencegahan (disinfektan dll)
    • Terus melakukan upaya operasi pasar, agar masyarakat yakin bahwa stock pangan tersedia di pasaran.
  2. Jangan gegabah. Cepat memang perlu. Namun analisa costs-benefit tetap harus dilakukan. bahkan akal sehat pun perlu untuk dilakukan atas apa yang dilakukan oleh Pemerintah. Semua harus terpadu, terencana dan terukur.
  3. Kembalikan Kampanye kembali ke Produk Lokal untuk memperbaiki cadangan devisa dan nilai tukar. UMKM harus kembali berkibar pasca recovery Convid19.
  4. Kebijakan harus targeted. Analisa siapa yang “Paling” Paling” dan “Paling” terdampak. ingat, anggaran pemerintah terbatas, personel pun terbatas. sehingga dipikirkan betul siapa yang paling terdampak. Bekerja dengan Prioritas!.
  5. Kebijakan publik tidak akan efektif tanpa dukungan masyarakat, komunitas, tokoh masyarakat dll. rangkul mereka agar kebijakan ini bisa lebih kredibel. Dorong upaya gotong royong untuk membangkitkan semangat melawan rasa takut, panik dan tindakan yang melemahkan kebijakan pemerintah.

Terakhir, krisis Convid19 harus diakhiri dan jangan sampai berevolusi menjadi krisis kepanikan dan “ketidakpercayaandiri”. inilah yang harus dikembalikan di Masyarakat, bahwa Pemerintah adalah really otoritas yang mampu menyelesaikan ini dengan terpadu, terencana dan terukur. Maka kunci apa yang dilakukan pemerintah adalah transparansi dan “akal sehat”. Dalam hal ini, maka kerjasama dan kolaborasi medis (kesehatan), IT dan riset di bidang farmasi harus dilakukan untuk menangkal Covid19-20-21 dan kemungkinan terburuk yang mungkin terjadi di masa depan.

Ini saatnya berkolaborasi dan perang terhadap rasa panik dan ketakutan. Berhentilah menyebar hoax! Dan jangan terlibat dalam menciptakan ketakutan publik. Pemerintah harus jadi garda depan, bersama-sama dengan seluruh stakeholders untuk melawan dan mengantisipasi setiap resiko yang terjadi.

Dias Satria.

Dosen FEB UB


Meretas Pilihan Terbatas

$
0
0

Dunia sedang berduka. Penyebaran Covid-19 yang begitu cepat di berbagai belahan dunia seketika telah berhasil melumpuhkan aktivitas masyarakat, termasuk ekonomi masyarakat. Menurut lembaga-lembaga ternama dunia, IMF, JP Morgan, perekonomian dunia akan mengalami kontraksi yang sangat dalam, bahkan bisa negatif. Terakhir IMF sudah menyatakan bahwa ini adalah resesi dunia. Kini semua negara tengah berjuang keras melawan penyebaran virus corona demi melindungi masyarakatnya dari ancaman kehancuran sosial dan ekonomi, tak terkecuali Indonesia.

Persebaran Covid-19 di Indonesia kian meluas. Hingga Minggu, 29 Maret 2020 telah terkonfirmasi kasus positif sebanyak 1.285 kasus. Angka tersebut diperkirakan akan terus meningkat cepat setiap harinya. Hampir semua wilayah di Indonesia kini mulai terpapar virus corona. Ironisnya, di tengah semakin meningkatnya jumlah kasus di Indonesia, sejumlah tenaga medis mengakui rumah sakit di dalam negeri mulai mengalami kesulitan dalam menangani penyebaran penyakit virus corona ini. Terutama terkait dengan perlengkapan kesehatan baik terkait keberadaan maupun betapa sulit pengadaannya.

Fokus Anggaran

Sebagaimana arahan yang diberikan oleh Presiden Joko Widodo, fokus anggaran pemerintah kini untuk kemanusiaan dan kesehatan. Kondisi yang terjadi kini memaksa pemerintah untuk mendahulukan penyelamatan nyawa rakyat. Menyelamatkan nyawa rakyat juga telah diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, di mana hak untuk hidup adalah hak setiap orang, dan negara wajib melindungi. Pada kondisi genting saat ini, sudah saatnya pemerintah pusat memanfaatkan anggaran yang tersedia untuk menuntaskan masalah pandemi Covid-19 ini.

Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menekankan pentingnya penerapan stimulus fiskal yang efektif dalam rangka mengatasi dampak Covid-19. Stimulus fiskal yang diberikan pemerintah membawa konsekuensi bahwa subsidi, insentif, pemberian cash transfer merupakan strategi umum yang kini sedang dilakukan oleh pemerintah di berbagai dunia. Di Indonesia, pemerintah telah memberikan dua paket stimulus fiskal dan menyiapkan paket stimulus berikutnya yang lebih besar mencakup aspek kesehatan, social safety program, insentif sektor industri, untuk tetap menjaga aktivitas ekonomi tetap berjalan walaupun kita tahu pasti akan terkoreksi.

Sejatinya, memberikan stimulus fiskal yang tak sedikit saat ini bukan hal yang mudah bagi Indonesia, mengingat hingga akhir 2019 kinerja ekonomi kita sedikit meleset dari harapan kita semua. Sebab itu, modal fiskal pemerintah sangatlah terbatas dan diperlukan portofolio kebijakan yang lebih lebar dengan opsi yang terbuka walaupun tetap harus dilakukan dengan tata kelola yang benar dan baik.

Menanti Stimulus Fiskal

Bagaimana negara lain? Australia, negara tersebut memberikan stimulus sebesar USD17,6 miliar antara lain untuk insentif pajak, bantuan langsung tunai usaha mikro kecil dan menengah (UMKM), pengangguran, dan pensiunan, subsidi upah, termasuk di bidang kesehatan. Selain itu, Australia juga memberikan stimulus investasi sebesar USD15 miliar dan stimulus tambahan sebesar USD66 miliar untuk pengangguran, cash transfer untuk UMKM, dan jaminan pinjaman bisnis.
Selain itu, Argentina juga mengalokasikan dananya sebesar USD4,5 miliar untuk kesehatan, cash transfer, dan social safety net; sektor terdampak Covid-19. Begitu juga Malaysia, untuk penanganan virus korona, negara tersebut memberikan stimulus sebesar USD4,5 miliar yang terdiri atas bantuan untuk bisnis dan individu yang terdampak seperti penundaan pajak, serta menstimulus permintaan di sektor pariwisata. Stimulus sebesar USD232,4 juta juga diberikan Pemerintah Malaysia untuk membantu pembayaran upah pekerja dan subsidi tagihan listrik.
Negara-negara tersebut pada dasarnya melindungi masyarakat rentan yang ada, apakah penduduk miskin, pekerja informal, pengusaha kecil termasuk pekerja kesehatan.

Dilihat dari struktur ekonomi masyarakatnya, Indonesia masih didominasi oleh sektor informal. Data BPS mencatat, dari 100% lapangan kerja di Indonesia per Februari 2019, sebanyak 57,27% disumbang oleh sektor informal. Dalam beberapa waktu terakhir, kontribusi sektor informal terhadap total pasar tenaga kerja Indonesia terus mendekati level 60%. Selain itu, Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia menyebutkan bahwa status penduduk miskin juga masih didominasi oleh penduduk rentan miskin dan hampir miskin sebanyak 64,28 juta jiwa.

Begitu juga, UMKM yang telah penopang ekonomi dalam negeri juga memerlukan stimulasi fiskal dari pemerintah untuk mampu bertahan di tengah badai Covid-19. Asosiasi Usaha Mikro Kecil dan Menengah Indonesia (Akumindo) pada 2019, kontribusi UMKM terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia mencapai 65% atau sekitar Rp2.394,5 triliun. UMKM pun memberikan kontribusi terhadap sektor ketenagakerjaan, yakini 96% dari 170 juta tenaga kerja.

Melihat struktur ekonomi masyarakat tersebut, pemerintah perlu memberikan stimulus anggaran yang besar untuk menyelamatkan penduduknya sebagaimana yang juga telah dilakukan oleh sebagian besar negara lain di dunia. Pada fase ini pemerintah tidak bisa menghadapinya dengan cara yang “biasa”, perlu upaya extra ordinary (luar biasa) untuk melindungi dan membangkitkan ekonomi masyarakat, sekaligus menyelamatkan nyawa manusia.

Keselamatan dan perlindungan masyarakat adalah prioritas. Kepercayaan publik pada kekuasaan akan terpelihara dengan sendirinya seiring kehadiran negara di tengah mereka. Segala kebijakan yang berorientasi pada kemanusiaan pada akhirnya akan menciptakan keselamatan bagi sebuah negara.

Saatnya sekarang ini pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan kabupaten/kota, memiliki visi yang sama dalam program melawan Covid-19 ini. Sinkronisasi anggaran dan penyediaan data dan informasi yang valid akan sangat membantu pelaksanaan kebijakan ini. Pemerintah pusat sudah menyiapkan berbagai regulasi yang diperlukan bagi pemerintah daerah untuk bertindak dengan aman. Begitu juga unsur masyarakat swasta menengah besar termasuk golongan berpunya (the have), ormas besar yang ada di negeri ini, bersama-sama dengan inisiatif sendiri atau kelompok dapat ikut aktif membantu memerangi Covid-19 ini.

Terlepas dari segala usaha yang dilakukan, sebagai negara dengan masyarakat yang berketuhanan, kita juga perlu memohon agar Tuhan semesta alam selalu mendampingi dan menyelamatkan kita semua. Aamiin.

Candra Fajri Ananda
Staf Khusus Menteri Keuangan Republik Indonesia

Perppu dalam Reformasi Kebijakan

$
0
0

Di tengah serangan gelombang Covid-19 yang masih masif dan terus membawa korban lebih besar, pemerintah menyikapi dengan segala daya untuk mencegah dampak serangan yang tidak hanya pada kesehatan, tetapi juga akan berdampak kepada sosial dan ekonomi masyarakat ini. Upaya-upaya perlindungan dan pengobatan atas serangan covid-19 tidak hanya pada satu area, karena saat ini virus sudah menyebar pada hampir seluruh provinsi di Indonesia. Jadi betapa besar pendanaan yang dibutuhkan untuk memerangi virus ini dan tidak bisa dilakukan dengan cara-cara biasa.

Sebagian besar dunia (193 negara) saat ini juga melakukan hal yang sama, perang melawan Covid-19. Perekonomian dunia pun harus menanggung atas tragedi kemanusiaan ini. JP Morgan menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi dunia akan kontraksi sebesar -1,1%, The Economist Intelligence Unit melihat lebih mendalam sebesar -2,2% dan IMF menyatakan bahwa dunia sedang memasuki fase krisis ekonomi dunia. Kesimpulannya apa?

Lembaga-lembaga tersebut memiliki pemahaman yang sama bahwa Covid-19 ini akan mendorong disrupsi pada permintaan dan penawaran. Pada permintaan muncul dengan banyaknya pemutusan hubungan kerja pada beberapa industri, pengangguran pada pekerja informal serta usaha kecil dan menengah (UKM). Begitu juga pada sisi penawaran, disrupsi terjadi karena beberapa industri yang bahkan sebelumnya menjadi kekuatan ekonomi suatu negara, apalagi karena sudah masuk dalam supply chain dunia, harus terganggu produksinya dan penjualannya. Sehingga gelombang penutupan industri akan terus terjadi, terutama pada industri transportasi, pariwisata, hotel, konstruksi dan otomotif. Sedangkan beberapa industri seperti alat-alat kesehatan, internet dan komunikasi, e-trading, pertanian, serta pengolahan makanan dan minuman, sebaliknya memiliki peluang untuk berkembang pesat.

Perppu Nomor 1/2020

Pemerintah, dengan melihat angka-angka korban yang terus meningkat pesat, perlu melakukan aksi kebijakan yang tidak biasa (extra ordinary). Alasannya sederhana, bahwa perkembangan Covid-19 yang semakin cepat dan kehadiran pemerintah di tengah pusaran Covid-19 suatu kewajiban. Waktu yang tersedia terbatas dan besaran jumlah dana yang harus dibelanjakan sangat besar, dianggap menjadi alasan utama untuk pemerintah menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu).

Secara umum, perppu ini meliputi perubahan dalam aturan APBN, terutama terkait dengan defisit 3% dari PDB sesuai dengan UU Keuangan Negara, termasuk perubahan dalam belanja yang sudah di mandatkan, realokasi belanja, refocusing belanja, termasuk penundaan belanja transfer jika kondisi harus memaksa. Dengan perppu ini akhirnya dana sebesar Rp405,1 triliun disediakan oleh pemerintah sebagai wujud aksi memerangi Covid-19 dan dampaknya pada sosial ekonomi.

Rincian pendanaan tersebut untuk beberapa program kesehatan sebesar Rp75 triliun termasuk di dalamnya untuk pengadaan alat-alat kesehatan, bantuan untuk rumah sakit rujukan, insentif untuk dokter dan perawat serta pendukung medis. Untuk jaring pengaman sosial disediakan Rp110 triliun, untuk kartu prakerja sebanyak 20 juta orang, kartu sembako diberikan 200.000 per KK, termasuk gratis pembayaran listrik untuk pelanggan 450 kwh dan potongan 50% bagi pelanggan 900 kwh. Untuk dukungan industri yang diharapkan tidak melakukan PHK dan tetap berproduksi sebesar Rp70,1 triliun dalam bentuk pengurangan beban pajak dan bea masuk, termasuk penangguhan cicilan untuk kredit usaha rakyat (KUR). Terakhir, Rp150 triliun, diberikan untuk program-program pemulihan ekonomi nasional.

Biaya yang harus disediakan dalam pembiayaan defisit, juga tidak biasa. Pembiayaan ini berasal dari berbagai sumber seperti: penghematan belanja sebesar Rp190 triliun, realokasi cadangan Rp54,6 triliun, penggunaan SAL Rp45,6 triliun, penerbitan SBN (surat berharga negara) senilai Rp449,9 triliun, serta penambahan pinjaman program sebesar Rp60,4 triliun. Pengelolaan pembiayaan yang cukup besar ini tentu harus dijalankan dengan prinsip kehati-hatian dengan tata kelola yang benar, mengingat tantangan pengelolaan anggaran cukup berat saat ini. Selanjutnya, ada beberapa hal yang masih harus kita lakukan, salah satunya menyiapkan aturan operasional dari perppu tersebut. Memerlukan koordinasi antarkementerian dan parlemen untuk bisa memberikan dukungan yang konstruktif agar perppu ini secepatnya bisa diimplementasikan.

Penguatan UMKM

UMKM biasanya memiliki ketahanan (resilience) saat terjadi masalah ekonomi. Sejarah mencatat bahwa pada saat terjadi krisis 1997-1998 lalu menjadi yang terkuat bahkan tidak terdampak. Sayangnya kini berbeda, pembatasan aktivitas ekonomi hingga pembatasan sosial menyebabkan kemampuan UMKM menghadapi gejolak menjadi sangat terbatas.

Pemerintah melalui Perppu Nomor 1/2020 memberikan stimulus bagi UMKM dan pelaku usaha yang akan diprioritaskan untuk penggratisan PPh 21 bagi para pekerja sektor industri pengolahan dengan penghasilan maksimal Rp200 juta. Selain itu, pemerintah juga membebaskan PPN impor bahan baku untuk wajib pajak. Selain itu, stimulus ekonomi juga diperuntukkan bagi percepatan restitusi PPN pada 19 sektor tertentu untuk menjaga likuiditas pelaku usaha melalui penurunan tarif PPh badan sebesar 3% dari 25% menjadi 22%. Selain itu, pemerintah juga memberikan kebijakan penundaan pembayaran pokok dan bunga untuk semua skema KUR yang terdampak Covid-19 selama enam bulan.

Melalui UKM yang tumbuh dan kuat dalam persaingan, wajah perekonomian Indonesia pasca Covid-19 ini tentu akan berubah. Industri dengan muatan bahan baku lokalnya besar akan dibutuhkan di masa mendatang, termasuk UKM yang sudah memiliki konten teknologi ternyata lebih banyak yang survive. Kita harus berpikir ulang (re-design) terkait pengembangan industri dan UKM ke depan, sektor pendidikan, kebijakan ASN dan reformasi birokrasi.

Saat Covid-19 ini terjadi, perguruan tinggi telah menyelenggarakan kuliah, ujian melalui online dan sampai saat ini tidak ada keluhan. Perkantoran pemerintah juga tetap memberikan layanannya walaupun sebagian ASN harus bekerja dari rumah (work from home/WFH), termasuk perbankan dan industri telah menerapkan proses layanan dan bahkan pengambilan keputusan strategis perusahaan dilakukan melalui online meeting dan berhasil.

Hal ini menunjukkan, telah terjadi disrupsi dalam administrasi organisasi. Ternyata dengan bekerja di rumah, terjadi efisiensi yang luar biasa baik dalam anggaran maupun kecepatan dalam pengambilan keputusan. Tentu ini seperti blessing in disguise, bagaimana format organisasi pemerintah dan swasta yang selama ini belum diketahui bentuknya ke arah mana harus bertransformasi, saat ini ternyata dengan bekerja online formatnya jadi jelas, ke depan e-government maupun layanan masyarakat dengan layanan digital sudah bisa kita lakukan. Kalau itu terjadi, penyesuaian harus secepatnya kita lakukan. Jangan sampai kita kehilangan momentum ini.

Prof Candra Fajri Ananda PhD
Staf Khusus Menteri Keuangan Republik Indonesia

Pandemi, Resesi Dan Relaksasi Pajak

Bertahan dan Bangkit

$
0
0

PERJUANGAN dunia dalam melawan pandemi Covid-19 belum usai. Sejumlah kalangan memperkirakan periode kritisnya sekitar April atau Mei ini. Pada bulan-bulan itu kita akan menghadapi bulan suci Ramadan dan Idul Fitri.

Akhir Ramadan biasanya diikuti aktivitas mudik yang memiliki nilai ekonomi sangat tinggi. Namun, dari beberapa pemberitaan, reaksi pemerintah daerah satu dengan yang lain sangat berbeda. Beberapa langsung bertindak dengan membantu pihak terdampak, baik bantuan berupa alat pelindung diri (APD) maupun bantuan sosial dalam bentuk bantuan langsung tunai (BLT). Sebaliknya, pemerintah daerah lain masih disibukkan dengan urusan rutin yang sudah setiap hari dilakukan.

Untuk menangani Covid-19 Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan paket stimulus yang dibagi dalam tiga jilid, di antaranya stimulus pertama sebesar Rp10,3 triliun yang fokus pada pemulihan sektor pariwisata. Stimulus kedua, pemerintah mengeluarkan dana Rp22,9 triliun untuk menumbuhkan daya beli masyarakat dan kemudahan ekspor-impor. Selanjutnya, stimulus ketiga pemerintah mengeluarkan Rp405,1 triliun untuk mencegah keparahan dan mempertahankan perekonomian tetap berjalan dengan baik walaupun sangat berat.

Bank Dunia bahkan memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia berada di rentang -3,5% hingga 2,1%. Sementara itu, ADB memperkirakan di kisaran 2,5%, sedangkan The Economist Intelligence Unit memperkirakan pertumbuhan ekonomi nasional di angka 1,0% sepanjang tahun ini.

Kebijakan Ekonomi dalam Pandemi
Karena situasi yang dihadapi adalah situasi yang sangat luar biasa, tentu respons pemerintah tidak bisa dengan cara biasa. Diperlukan langkah yang luar biasa tentu dengan tetap mempertahankan tata kelola yang baik, untuk menyikapi segala dinamika yang terjadi.

Pemerintah memprediksi defisit pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020 mencapai 5,07% terhadap produk domestik bruto (PDB) akibat virus korona. Walaupun begitu, pemerintah juga tetap melakukan penyisiran anggaran sebagai langkah efisiensi dan mencegah defisit terlalu lebar. Dalam posisi seperti itu, pemerintah perlu dukungan hukum dalam bentuk peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) yang fokus pada kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan.

Seluruh dunia saat ini tengah ”berperang” melawan pandemi Covid-19. Sebanyak 211 negara saat ini telah diserang dan terdampak, termasuk sudah mengeluarkan stimulus ekonomi yang ekstensif. Berbagai negara tersebut mengeluarkan stimulus fiskal dengan beberapa fokus di antaranya meningkatkan anggaran kesehatan, bantuan bagi rumah tangga, serta bantuan kepada sektor ekonomi yang terdampak.

Data menunjukkan bahwa Australia dan Singapura memberikan dukungan fiskal 10,9% terhadap PDB untuk menghadapi wabah Covid-19 di negaranya. Amerika Serikat (AS) memberikan dukungan fiskal 10,5% terhadap PDB, lalu Malaysia memberikan dukungan 10% terhadap PDB plus dukungan bagi dunia usaha terdampak sebesar 100 miliar ringgit Malaysia (6,7% terhadap PDB). Berbeda dengan itu, Indonesia hingga saat ini telah memberikan dukungan fiskal 3,1% dalam menangani wabah Covid-19 yang diimplementasikan melalui paket stimulus jilid satu hingga jilid tiga.

Melihat Strategi The Fed
Bagaimana negara adidaya AS melawan serangan virus ini patut kita pelajari dan renungkan. Sebagai episentrum Covid-19, Pemerintah AS terus mengimbau agar masyarakat di seluruh negara bagian untuk tetap berada di rumah, menutup sekolah, pembatalan acara, penutupan berbagai restoran dan bar, serta kebijakan wajib untuk bekerja dari rumah. Di luar itu, pemerintah juga menyiapkan pinjaman hingga USD2,3 triliun untuk mendukung rumah tangga, pengusaha, pasar keuangan, dan pemerintah di negara bagian.

Beberapa strategi yang dilakukan The Fed untuk mendukung ekonomi dan pasar keuangan adalah sebagai berikut. Pertama, mendukung state and municipal borrowing

melalui pinjaman langsung dengan membeli municipal bonds. Kedua, mendukung rumah tangga, konsumen, dan usaha kecil menengah (UKM) dengan memberikan kemudahan pinjaman.

Ketiga, mendukung perusahaan dan bisnis melalui pinjaman langsung ke perusahaan besar dengan membeli penerbitan obligasi korporasi. Dalam kebijakan ini juga terdapat opsi di mana peminjam dapat menunda pembayaran bunga dan pokok setidaknya enam bulan pertama. The Fed juga membeli commercial papers dan memberikan pinjaman untuk UKM dengan menawarkan pinjaman empat tahun, di mana pembayarannya dapat ditunda satu tahun.

Keempat, mendorong bank untuk memberikan kemudahan pinjaman melalui penurunan tingkat suku bunga yang dibebankan pada pinjaman dari 1,75% menjadi 0,25% dan memperpanjang jangka waktu hingga 90 hari, serta mempermudah persyaratan. Kelima, mendukung fungsi pasar keuangan melalui pembelian efek (QE), menghadirkan kembali reksa dana pasar uang, dan memperluas operasi repo.

Keenam, near zero interest rate yakni target FFR yang diturunkan menjadi 0-0,25% dan The Fed juga memberikan forward guidance mengenai future path dari tingkat suku bunga utamanya. Ketujuh, jalur swap internasional.

AS melakukan kebijakan luar biasa di luar batas kebiasaan selama ini. Hal itu memberikan pelajaran bagi kita bahwa Covid-19 ini bukan permasalahan sederhana, termasuk betapa kehadiran pemerintah dalam melindungi masyarakatnya sangat dinantikan.

Counter Cyclical Dongkrak Ekonomi
Secara umum, kebijakan counter cyclical ini, tidak hanya untuk mencegah dan mengantisipasi down-side risk dari penyebaran virus ini, tetapi juga harus dilihat sebagai kebijakan proaktif pemerintah guna mengatasi pergerakan siklus ekonomi yang ekstrem, serta menyiapkan untuk pergerakan perekonomian setelah Covid-19 ini.

Meskipun kehancuran ekonomi akibat pandemi adalah keniscayaan, mempersiapkan strategi matang untuk bertahan saat pandemi dan bangkit setelah badai terjadi adalah keharusan. Indonesia dengan strategi paket kebijakan counter cyclical dapat difokuskan untuk mempertahankan daya beli masyarakat, mencegah terjadinya gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK), stimulus pajak agar industri dan dunia usaha lebih bergairah, mengoptimalkan belanja negara, serta memperkuat daya tahan sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).

Tanpa kebijakan untuk melawan tren perlambatan pertumbuhan ekonomi dikhawatirkan kepercayaan, baik pelaku usaha maupun konsumen, terhadap prospek perekonomian nasional akan tergerus dan terus menurun. Hal ini yang tentu tidak kita semua tidak berharap. Semoga.

Candra Fajri Ananda
Staf Khusus Menteri Keuangan Republik Indonesia

Infografis Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya

Creative Destruction

$
0
0

EPIDEMI coronavirus (Covid-19) yang secara resmi telah dinyatakan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebagai pandemi telah memaksa masyarakat untuk berubah dalam beraktivitas sosial, ekonomi bahkan berorganisasi di seluruh dunia. Kesadaran bahwa hidup kita akan berubah sebagai dampak covid-19, bahkan untuk beberapa waktu ke depan mulai mengakar.

Covid-19 ini menyebabkan banyak orang menjadi lebih berhati-hati dalam kehidupan. Sejumlah negara telah mulai melakukan langkah radikal dalam bentuk pembatasan sosial untuk meminimalisasi persebaran dari Covid-19. Berawal dari paksaan atas keterbatasan kondisi tersebut, kini mulai memberikan kebiasaan baru bagi masyarakat di sejumlah negara.

Tak sedikit dari masyarakat yang pada awalnya menduga bahwa langkah-langkah melawan Covid-19 melalui pembatasan sosial hanya sementara, bahwa Covid-19 ini hanya beberapa minggu atau bahkan bulan saja. Ternyata ini akan bisa berlangsung lumayan lama, terutama melihat kasus di Wuhan, yang ternyata gejala kemunculan pasien baru juga muncul kembali.

Kita semua tentu sangat berharap, bahwa dengan segala upaya yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat, covid-19 ini akan menghilang di Bumi Indonesia. Semoga.

Hal yang pasti terjadi adalah kondisi yang terjadi saat ini, memaksa kita semua untuk berinovasi untuk tetap bertahan baik dalam kegiatan ekonomi, dalam pemberian layanan pada masyarakat, termasuk didalam menjalankan urusan-urusan bisnis. Kemampuan kita untuk dapat segera beradaptasi dengan segala keterbatasan yang ada, termasuk dalam dunia bisnis adalah kunci kita untuk bertahan dalam situasi seperti ini.

Kreativitas dan Inovasi untuk Bertahan
Munculnya Covid-19 membawa kejutan tersendiri bagi dunia bisnis. Perubahan aktivitas dan pola hidup masyarakat akibat pembatasan sosial memberikan dampak signifikan bagi kelangsungan dunia usaha. Kondisi ini menyebabkan munculnya supply and demand shock secara bersamaan.

Berdasarkan kajian yang sudah dilakuan, pandemi ini tidak hanya menghambat persediaan barang, namun juga melemahkan permintaan masyarakat. Covid-19 membuat pergerakan konsumen semakin jarang untuk keluar rumah, sehingga frekuensi transaksi akan relatif lebih rendah, akhirnya mendorong tingkat konsumsi menurun drastis.

Secara psikologis, Covid-19 membuat para pelaku ekonomi menghadapi ketidakpastian, sehingga konsumen dan perusahaan akan cenderung melakukan “wait and see” dalam keputusan ekonominya, atau dengan kata lain menahan kegiatan konsumsi, produksi dan bahkan investasinya.

Sebelum banyak perusahaan tutup atau merugi akibat perubahan pola dan saluran konsumsi masyarakat yang terjadi saat ini, ternyata jauh di awal abad 20 hal ini telah sejak lama diramalkan oleh seorang ekonom kebangsaan Austria yang kemudian menjadi guru besar di Harvard, Joseph Alois Schumpeter.

Menurut Schumpeter, terdapat dua hal yang akan memantik revolusi ekonomi yakni kreativitas dan inovasi, di mana Schumpeter menyebutnya sebagai “Creative Destruction”. Hanya kreativitas dan inovasilah yang akan merubah struktur ekonomi dari dalam, menghancurkan model lama secara instan, dan secara instan pula menciptakan model ekonomi baru (Schumpeter, 1950).

Saat ini yang diperlukan Indonesia adalah kreativitas dan inovasi, baik dalam produksi maupun perdagangan dan distribusi. Produk baru, metode produksi baru, sumber bahan baku baru, eksploitasi pasar baru, cara bisnis baru merupakan tipe inovasi yang dapat dilakukan oleh pemilik bisnis untuk melakukan transformasi pada bisnisnya. Bila kelima cara ini terus dilakukan, maka bisnis akan menjadi lebih dinamis dan lebih mungkin untuk sustain.

Pada beberapa tahun terakhir, inovasi dan kreativitas dalam dunia usaha ditunjukkan secara nyata oleh Gojek dan Grab. Inovasi tersebut berpotensi mendisrupsi bisnis transportasi konvensional. Tak hanya itu, berbagai media online berbasis internet telah menggerus bisnis media cetak (surat kabar dan majalah) bahkan mengancam bisnis televisi, bahkan kini juga toko online telah berhasil mengubah cara orang berbelanja.

Meski inovasi dan kreativitas tersebut mendisrupsi bisnis konvensional yang telah ada, namun tak dapat dipungkiri bahwa kehadiran teknologi bersamaan dengan inovasi dan kreativitas mampu menghasilkan lapangan kerja baru dan memberikan nilai tambah bagi perekonomian.

Kretifitas yang diperlukan saat ini tentu mereformulasi cara bisnis menjadi lebih efisien dan terbuka dalam menerima nilai-nilai baru. Inovasi dan kreativitas adalah komponen penting dalam menciptakan sebuah peluang usaha mencapai efisiensi. Semua bisnis atau usaha yang maju dan berkembang menerapkan upaya kreatif dan inovatif. Tanpa itu, Indonesia akan menjalani kehidupan yang sama seperti periode sebelumnya

New Normal?
Teknologi informasi telah mengubah manusia dari peradaban time series menjadi real time. Wabah Covid-19 memaksa masyarakat dari berbagai usia dan golongan untuk mulai “melek” dan beradaptasi dengan teknologi. Pembatasan sosial memaksa kegiatan pendidikan dari mulai jenjang Sekolah Dasar (SD) hingga perguruan tinggi melaksakan kegiatan belajar mengajar dari rumah masing-masing secara daring.

Beberapa perusahaan swasta menerapkan pola bekerja dari rumah atau Work From Home (WFH). Langkah mengejutkan pun dilakukan oleh instansi pemerintah yang juga pola WFH. Kebijakan WFH di instansi pemerintah bisa jadi merupakan terobosan yang unik, bahkan mungkin baru pertama kali dilakukan di sektor publik.

Berawal dari keterbatasan kondisi, nyatanya segala kesibukan yang tidak pernah terbayang dapat dilakukan melalui daring secara berkesinambungan, bahkan kini mampu menghasilkan output yang rata-rata tetap tercapai sesuai target dengan standar yang baik.

Hanya dalam hitungan bulan, virus corona telah mengubah cara hidup dan kondisi masyarakat dunia. Aktivitas ekonomi dan transportasi yang dibatasi juga juga turut berdampak pada lingkungan.

Di China, emisi turun 25% pada awal tahun karena orang diperintahkan untuk tinggal di rumah dan banyak pabrik yang tutup. Penggunaan batu bara di negara ini juga turun 40% pada enam pembangkit listrik terbesar China sejak kuartal terakhir di 2019.

Pandemi global Covid-19 juga telah mengubah lingkungan sosial masyarakat. Adanya wabah ini membuat semua elemen bekerja sama mengatasi virus corona. Di Indonesia sendiri telah banyak bantuan atau donasi yang digalakkan oleh berbagai kalangan.

Dukungan dan gerakan physical distancing juga turut mengubah kebiasaan hidup masyarakat. Dengan menjaga jarak antarindividu, kita dibentuk untuk lebih menjaga kebersihan dan kesehatan diri sendiri serta orang lain. Wabah ini juga telah mengubah pola pikir masyarakat untuk hidup sehat.

Tidak ada yang mampu memprediksi secara pasti kapan wabah ini akan berakhir. Kini, masyarakat tidak perlu terlalu fokus pada kekhawatiran dan ketakutan yang berlebihan. Hanya perlu memastikan bahwa diri kita untuk selalu tenang dan waspada dengan melakukan tindakan-tindakan pencegahan terhadap segala kemungkinan yang bisa saja terjadi.

Hal yang terpenting ialah hadapi, jalani dan tetap waspada dalam kondisi apapun. Mari kita coba untuk melihat peluang dari segala situasi dan kondisi yang saat ini kita hadapi, karena hal tersebut akan mengubah sudut pandang dan cara kita berpikir. It’s time to change, be more efficient and effective.

Candra Fajri Ananda
Staf Khusus Menteri Keuangan Republik Indonesia

Keberpihakan Fiskal Masyarakat Rentan

$
0
0

Penyebaran wabah Covid-19 masih terus meluas dan belum menunjukkan penurunan, bahkan hingga kini juga belum ada kepastian tentang berakhirnya pandemi. Hal yang pasti terjadi saat ini adalah peningkatan jumlah pengangguran dalam jumlah besar dan ancaman mudik dari para pekerja migran.

Sektor pertama yang paling terdampak akibat wabah Covid-19 di Indonesia ialah sektor pariwisata. Hotel, restoran, tempat-tempat wisata, bandara, pelabuhan pengunjungnya sudah menurun drastis akibat korona, bahkan tidak sedikit yang kini telah merumahkan para pekerjanya. Selain itu, lapangan usaha lain yang juga mengalami dampak buruk akibat Covid-19 adalah penyediaan akomodasi dan makan minum, transportasi, pergudangan, dan perdagangan, baik perdagangan besar maupun eceran.

Di luar pekerja formal tersebut, kelompok yang mengalami dampak paling parah adalah pekerja bebas atau pekerja lepas, berusaha sendiri (yang pada umumnya berskala mikro), berusaha sendiri dengan dibantu buruh tidak tetap/buruh tidak dibayar, dan pekerja keluarga/tak dibayar. Center of Reform on Economics (CORE) memperkirakan akan terjadi peningkatan jumlah pengangguran terbuka pada kuartal II/2020 dengan skenario terburuk mencapai 9,35 juta orang.

Selain masalah PHK di sektor formal, pemerintah juga perlu memperhatikan kesinambungan mata pencaharian di sektor informal. Pasalnya, daya tahan ekonomi para pekerja di sektor informal relatif rapuh, terutama bagi yang bergantung pada penghasilan harian, mobilitas orang, dan aktivitas orang-orang yang bekerja di sektor formal. Terlebih lagi jumlah pekerja di sektor informal di Indonesia lebih besar dibanding pekerja sektor formal, yakni mencapai 71,7 juta orang atau 56,7% dari total jumlah tenaga kerja.

Peran (Extraordinary) Pemerintah

Fungsi pemerintah dalam menjaga kestabilan perekonomian sangat jelas, yakni bertugas untuk stabilisasi, alokasi, dan distribusi sumber daya. Pada fungsi alokasi ini, pemerintah memainkan peranan dalam pengalokasian anggaran untuk kepentingan publik atau penyelenggaraan pemerintahan yang pada akhirnya juga dalam rangka pelayanan publik. Selain itu, fungsi lain termasuk juga pemerataan pendapatan dan pengentasan kemiskinan (fungsi distribusi) serta penciptaan lingkungan makroekonomi yang kondusif (fungsi stabilisasi). Fungsi-fungsi dasar tersebut dalam praktiknya diterjemahkan sebagai regulasi aturan main (kebijakan fiskal).

Otoritas kebijakan fiskal di pemerintahan sebagian besar berada di bawah Kementerian Keuangan (Kemenkeu), sedangkan otoritas kebijakan moneter berada di bawah Bank Indonesia (BI), dengan dukungan legal formal masing-masing. Keduanya mengacu pada dua instrumen kebijakan yang digunakan untuk mempengaruhi kegiatan ekonomi suatu negara.

Ada kalanya perekonomian suatu negara mengalami masa redup, di mana tingkat pengangguran tinggi dan daya beli masyarakat rendah, sebagaimana yang tengah terjadi saat ini. Jika dibiarkan berlangsung terus-menerus, perekonomian negara bisa semakin terpuruk sehingga mengalami krisis. Pada saat inilah kebijakan fiskal mengambil peranan melalui penurunan tarif pajak dan meningkatkan pengeluaran pemerintah. Tak hanya dengan kebijakan fiskal, tingginya tingkat pengangguran yang mengakibatkan daya beli rendah juga dapat diatasi dengan menerapkan kebijakan moneter. BI akan berusaha mendorong likuiditas di pasar tetap tinggi dengan menurunkan GWM (giro wajib minimum) atau bahkan menurunkan 7-days reverse repo rate-nya.

Mengingat situasi ekonomi kita saat ini adalah di luar kondisi normal, seluruh kebijakan harus keluar dari koridor normalnya walaupun dengan tetap berada dalam kepatuhan tata kelola yang benar. Sebagai salah satu bentuk kebijakan extraordinary pemerintah di masa pandemi ini, pemerintah telah mengeluarkan Perppu Nomor 1/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19. Pemerintah memberanikan diri untuk melampaui 3% dari produk domestik bruto (PDB) selama masa penanganan Covid-19 hingga berakhirnya Tahun Anggaran 2022.

Total dana yang disediakan pemerintah sebesar Rp405,1 triliun, di mana sebesar Rp110 triliun atau 27% akan dialokasikan untuk jaring pengaman sosial, termasuk di dalamnya dialokasikan untuk bansos kepada masyarakat yang terdampak Covid-19. Demikian juga dari hasil refocusing kegiatan dan realokasi anggaran kementrian dan lembaga, termasuk pemda seluruh Indonesia. Melihat perkembangan dampak Covid-19 yang terus membesar, terutama kesehatan dan pemulihan ekonomi, tuntutan realokasi anggaran semakin besar. Secara umum, seluruh kementrian maupun pemda telah keluar dari kebiasaan selama ini dengan memfokuskan anggaran pada kesehatan dan jaring pengaman sosial. Hal yang terakhir ini paling mungkin dilakukan karena ini tidak akan berdampak pada defisit yang lebih besar dan tidak mengubah struktur pembiayaan yang sudah ada.

Kerja Cepat dan Tepat Semua Lembaga

Saat ini, tak sedikit masyarakat yang kini mengharap bantuan pemerintah yang cepat untuk dapat terus menyambung hidup. Pada situasi seperti ini, kerja sama dan sikap tanggap seluruh lembaga pemerintahan yang lebih dari biasanya sangat diperlukan. Bantuan harus tepat diberikan kepada yang membutuhkan, seperti warga miskin, warga rentan miskin, warga yang terkena PHK dan pekerja migran yang tidak mudik. Hal ini untuk mencegah terjadinya kelaparan karena keterlambatan bantuan yang belum terdistribusi. Perlu koordinasi mekanisme distribusi yang tepat sasaran, cepat, manfaat, dan aman.

Untuk bisa tepat, cepat, dan aman, pemerintah memerlukan data penerima dengan benar. Melalui data yang baik, dipastikan kebijakan pemerintah saat ini akan tepat dan tidak salah sasaran. Dengan data yang ada, pemerintah daerah pasti mampu memberikan dukungan bantuan jika dianggap masih kurang atau dalam bentuk yang berbeda.

Pada kondisi yang luar biasa saat ini, seluruh institusi pemerintah termasuk nonpemerintah perlu memahami perannya untuk mengawal pembangunan secara bersama-sama. Lembaga nonpemerintah bisa memerankan fungsi lain seperti pengawasan, termasuk pendampingan, bagi pemerintah desa, misalnya, dalam distribusi BLT di wilayah perdesaan. Hal yang harus kita jaga, walaupun ini harus cepat, tepat, serta suasananya tidak biasa, aspek tata kelola harus tetap dijaga. Melalui kerja sama semua stakeholder pembangunan, niat baik pemerintah dan segala upaya yang ekstra-luar-biasa akan mencapai hasil diharapkan bersama. Jangan lupa juga, permohonan kepada Tuhan YME perlu terus kita lakukan, setelah semua desain teknis kebijakan kita buat. Wallahu a’lam.

Prof Candra Fajri Ananda
Staf Khusus Menteri Keuangan Republik Indonesia


Ramadhan dan New Normal

$
0
0

Yaa Ramadhan Karim, telah memasuki hari ke-11. Tentu kita harus bersyukur masih diberikan kesempatan dan kemampuan untuk menjalankan ibadah yang sudah ditunggu muslim sedunia ini.

Sayangnya, keberadaan pandemi Covid-19 telah mengubah wajah Ramadhan kali ini. Pembatasan sosial (physical distancing) dan karantina wilayah membuat beberapa aktivitas Ramadan seperti tarawih berjamaah atau buka bersama dengan banyak orang terpaksa hilang.

Tak hanya bagi umat muslim di Indonesia, perubahan suasana Ramadhan juga dirasakan oleh seluruh umat muslim dunia. Berbagai kebijakan keagamaan di dunia harus mengambil langkah berbeda yang memengaruhi kehidupan “baru” Ramadan tahun ini.

Pemerintah melalui Surat Edaran Nomor 6/2020 Kementerian Agama RI memberikan panduan ibadah Ramadhan dan Idul Fitri 1431 H di tengah pandemi Covid-19. Surat edaran tersebut dikeluarkan sebagai panduan beribadah yang sejalan dengan syariat Islam sekaligus mencegah, mengurangi penyebaran, dan melindungi masyarakat dari risiko penularan Covid-19. Kini masyarakat harus menyesuaikan aktivitas Ramadhan dengan situasi baru tanpa harus mengurangi esensi dan nilai ibadah di bulan mulia ini.

Ekonomi Ramadhan vs Pandemi

Selama ini Ramadhan selalu menjadi momen penting bagi pendorong pertumbuhan ekonomi melalui kontribusinya dalam kenaikan konsumsi rumah tangga, terutama pangan dan kebutuhan lainnya. Permintaan pangan pada bulan Ramadan dan jelang Lebaran cenderung meningkat yang akhirnya mendorong tingkat konsumsi. Ada kecenderungan jika makna bulan puasa bergeser dari bulan puasa (fasting) menjadi bulan berpesta (feasting) karena tradisi.

Biasanya bulan Ramadhan identik dengan momen munculnya pedagang dadakan yang tak lepas dari tradisi buka puasa bersama teman lama, kolega, dan sanak saudara yang sering dijadikan sebagai ajang reuni kecil. Selain itu, Ramadan juga identik dengan tradisi berbagi makanan hampir di setiap masjid. Berbagai tradisi tersebutlah yang menyebabkan terjadi peningkatan konsumsi masyarakat.

Ramadhan juga biasanya sukses meramaikan berbagai pusat perbelanjaan modern dan pasar tradisional. Tak jarang karena peningkatan animo belanja masyarakat besar tersebut direspons oleh berbagai toko dengan penambahan persediaan barang dan menunda jam tutupnya. Puncaknya menjelang akhir Ramadan, di mana antusiasme masyarakat untuk berbelanja kian meningkat karena ada tunjangan hari raya (THR) hampir bagi seluruh pekerja, serta ada aliran zakat/donasi sosial lainnya yang seketika dapat mendorong daya beli masyarakat. Berbagai fenomena tersebut merupakan gambaran sederhana bahwa pada Ramadan geliat ekonomi cenderung meningkat yang akhirnya menopang perekonomian nasional.

Ironisnya, gambaran fenomena “antusiasme belanja” di momen Ramadhan kini tak akan terjadi. Munculnya pandemi saat Ramadan menghadapkan masyarakat pada kenyataan yang sangat berkebalikan dari biasanya. Bukan tunjangan hari raya (THR) yang didapat karyawan secara besar-besaran, justru ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK)-lah yang kini menghantui para pekerja. Wabah Covid-19 telah menjadikan hampir semua sektor bisnis di Indonesia terguncang bahkan tak sedikit pula yang akhirnya menyerah. Jumlah karyawan yang mengalami PHK dan dirumahkan menurut Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) per 20 April lalu mencapai 2,8 juta orang akibat pandemi Covid-19.

Lebih dari setengahnya berasal dari sektor formal, yakni 1,54 juta orang, dan sektor informal yang terkena PHK sebanyak 538.000 pekerja. Jumlah perusahaan yang melakukan PHK dan merumahkan karyawannya tercatat sebanyak 116.370 perusahaan. Angka itu terdiri atas 84.000 dari perusahaan di sektor formal dan 31.000 perusahaan di sektor informal. Angka PHK diperkirakan mencapai puncaknya pada Juni.

Atas dasar pertimbangan tersebut, pemerintah harus mengeluarkan kebijakan yang tidak biasa (extra ordinary) mengingat ancaman dampak seperti yang di atas. Saat ini pemerintah telah menyiapkan dana sekitar Rp150 triliun untuk pemulihan ekonomi nasional. Jumlah tersebut bisa dikatakan kurang atau cukup, tergantung seberapa dalam dampak pandemi ini pada perekonomian. Kita tentu berharap bahwa usaha pencegahan kesehatan saat ini, berupa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), bisa berhasil dan mampu menekan jumlah penderita baru dan meningkatkan jumlah yang bisa disembuhkan, aamiin.

Memetik Hikmah Perubahan

Pandemi telah memaksa perubahan pada setiap individu, perusahaan, pemerintah, hingga berbagai organisasi yang ada. Perubahan menjadi kunci utama untuk bertahan dan tetap produktif di tegah pandemi. Pembatasan sosial memaksa berbagai instansi (swasta maupun pemerintah) menerapkan pola bekerja dari rumah atau work from home(WFH). Bagi instansi pemerintah, kebijakan ini menjadi hal baru yang tidak pernah terbayang sebelumnya.

Berawal dari paksaan kondisi, nyatanya kegiatan WFH di sektor pemerintah dapat dilakukan melalui daring secara berkesinambungan dan mampu menghasilkan output yang rata-rata tetap tercapai sesuai standar. Bagi dunia bisnis, adaptasi sangat penting dan kunci dalam menghadapi krisis. Kemampuan menggeser proses bisnis secara cepat serta mendesain produk baru yang dibutuhkan masyarakat menjadi kunci bertahan selama pandemi.

Bagaimana dengan zakat? Pengumpulan dan pembagiannya tentu juga harus berubah. Perubahan tradisi dari pemberian zakat offline kini mulai berubah menjadi zakat online. Sejatinya, penyaluran zakat tanpa tatap muka sudah dilakukan satu dekade terakhir, namun kini berubah menjadi media utama penyaluran zakat untuk menjaga physical distancing. Para lembaga zakat, penyedia platform dari perbankan, perusahaan financial technology (fintech) sampai e-commerce pun kini menyediakan pembayaran zakat secara online.

Saat ini teknologi informasi menjadi motor utama berbagai aktivitas manusia. Pemanfaatan teknologi telah terbukti mampu meningkatkan efisiensi kinerja dan aktivitas manusia. Pemerintah melalui Ketua Gugus Tugas Covid-19 menyebutkan bahwa situasi normal diprediksi akan terjadi pada awal Juli 2020.

Jika estimasi tersebut sesuai, maka sebaiknya setiap individu, organisasi, dan pemerintah tampil dengan “gaya baru” atas hikmah yang didapat selama masa pandemi. Bila kita dapat menyerap dan menerapkan berbagai hal positif yang kita dapat selama masa karantina, maka akan sangat menguntungkan. Wabah ini juga telah mengubah pola pikir masyarakat untuk hidup sehat, bahu-membahu, saling membantu dalam bentuk tenaga maupun donasi, hingga kemajuan pesat dalam hal bekerja dan belajar melalui teknologi merupakan beberapa hal positif yang patut dipertahankan pascapandemi.

Semangat Ramadan tentu seharusnya menjadi semangat untuk berubah, menjadi orang yang bertakwa, lebih bertanggung jawab, lebih jujur, lebih rajin, lebih kuat komitmen. Tentu semua nilai-nilai kebaikan ini, akan memudahkan negara kita menjadi Indonesia yang berbeda setelah pandemi dan tentu itu yang kita harapkan semuanya. Wallahu’alam

Candra Fajri Ananda
Staf Khusus Menteri Keuangan Republik Indonesia

Stick and Carrot Policy

$
0
0

Ujian pandemi masih belum berakhir di negara kita. Hingga saat ini bahkan belum ada seorang pun yang dapat memastikan batas akhir masa pandemi. Sementara di beberapa negara sudah mulai menunjukkan beberapa peningkatan tingkat pemulihan.

Demi menekan angka penyebaran wabah, tak ada pilihan lain yang dapat dilakukan pemerintah selain membatasi pergerakan manusia. Akibatnya, tentu dampak ekonomi yang muncul semakin dalam dan kini menjadi kenyataan pahit yang harus dihadapi oleh Indonesia.

Pandemi virus corona (Covid-19) juga berdampak pada pertumbuhan ekonomi domestik kuartal I/2020 yang terperosok dalam ke level 2,97% year on year (yoy). Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi kuartal I/2020 ini merupakan yang terendah sejak 2001. Produk domestik bruto (PDB) Indonesia berdasarkan harga konstan pada kuartal I/2020 ini sebesar Rp2.703 triliun dan atas dasar harga berlaku tercatat Rp3.122 triliun. Melalui dasar kuartal I seperti itu, bisa dipastikan pada kuartal II akan semakin mendalam dan berat bagi perekonomian.

Harapan kita, tentu di kuartal III dan IV ada titik balik pertumbuhan, terutama jika mampu memulihkan daya beli masyarakat serta ekspor. Hal ini karena beberapa negara tujuan ekspor sudah menunjukkan pemulihan.

Pandemi dan Ancaman PHK

Organisasi Buruh Internasional (ILO) memprediksi 1,25 miliar orang di dunia bekerja di sektor yang terdampak parah oleh Covid-19 dan dibayangi risiko PHK. Sektor-sektor tersebut termasuk akomodasi dan jasa makanan, yakni perdagangan ritel dan besar, termasuk jasa reparasi kendaraan, manufaktur, dan properti atau real estate.

Berdasarkan laporan hasil survei dampak Covid-19 terhadap perusahaan penerima fasilitas menunjukkan bahwa hanya 6% industri yang masih normal. Sisanya 94% industri terdampak corona. Dari jumlah tersebut, 46% industri masih berusaha mencari pasar pengganti, terutama industri pakaian jadi, 25% industri menunda pengiriman, 5% industri masih memproduksi dan menimbun produksi, serta 8% industri mengurangi produksi.

Di sektor ekspor–impor, pandemi lebih besar mengguncang ekspor ketimbang impor. Sebagian besar perusahaan masih mampu menjaga kinerja impor, di mana 654 perusahaan hanya mengalami penurunan 0-10%, sedangkan perusahaan yang mengalami penurunan di atas 50% hanya sebanyak 233 perusahaan. Industri yang paling bertahan adalah industri makanan, sedangkan industri yang tertekan paling dalam adalah industri pakaian jadi.

Data Kementerian Ketenagakerjaan per 20 April 2020 menunjukkan 2.084.593 pekerja dari 116.370 perusahaan yang telah dirumahkan dan terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat imbas pandemi corona. Sebanyak 1,8 juta di antaranya merupakan pegawai industri tekstil dan produk tekstil (TPT) dirumahkan dan di-PHK. Jumlah tersebut mencapai 70% dari total tenaga kerja industri TPT yang 2,7 juta orang.

Pemerintah berupaya keras mengantisipasi semakin meluasnya gelombang PHK. Selaku pemangku kebijakan, pemerintah terus berupaya keras mencari jalan untuk dapat membantu industri bertahan tanpa PHK besar-besaran hingga wabah ini selesai atau terkontrol. Supply-side economics berpendapat bahwa pertumbuhan ekonomi dapat paling efektif diciptakan dengan menurunkan pajak dan mengurangi regulasi.

Saat ini setidaknya ada empat insentif perpajakan guna membantu wajib pajak (WP) terdampak wabah Covid-19. Empat insentif tersebut terkait dengan ketentuan pajak penghasilan (PPh) Pasal 21, PPh Pasal 22 Impor, PPh Pasal 25, dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Pelaku UMKM juga mendapat fasilitas pajak penghasilan final tarif 0,5% (PP 23/2018) yang ditanggung pemerintah. Seluruh fasilitas insentif pajak tersebut berlaku hingga masa pajak September 2020. Pemerintah berharap fasilitas insentif pajak tersebut dapat membantu para pengusaha di Indonesia untuk menghadapi dan melewati masa sulit akibat dampak buruk wabah corona.

Selain itu, kelonggaran lain yang juga diberikan oleh pemerintah bagi industri untuk dapat bertahan di antaranya melalui pemberian relaksasi jangka waktu pelunasan cukai, insentif tambahan pembebasan bea masuk (BM), insentif pembebasan BM untuk impor alat kesehatan komersial/nonkomersial, insentif relaksasi prosedural penyerahan surat keterangan asal (SKA) secara online, serta perluasan pemberian pembebasan cukai etil alkohol (EA).

Kerja Sama Pemerintah dan Industri

Ekonomi memiliki konsep permintaan (demand) dan penawaran (supply) yang saling bertemu dan membentuk satu titik pertemuan dalam satuan harga dan kuantitas (jumlah barang). Setiap transaksi perdagangan pasti ada permintaan, penawaran, harga dan kuantitas yang saling memengaruhi satu sama lain.

Menurut ekonomi sisi penawaran, konsumen kemudian akan mendapat manfaat dari pasokan barang dan jasa yang lebih besar dengan harga lebih rendah dan lapangan kerja akan meningkat. Di sisi lain, ekonomi sisi permintaan, berpendapat bahwa pertumbuhan ekonomi paling efektif diciptakan oleh permintaan yang tinggi untuk produk dan layanan.

Menurut ekonomi sisi permintaan, output ditentukan oleh permintaan efektif. Pengeluaran konsumen yang tinggi mengarah pada ekspansi bisnis yang menghasilkan peluang kerja yang lebih besar. Tingkat pekerjaan yang lebih tinggi menciptakan multiplier effect yang selanjutnya mendorong permintaan agregat menuju pertumbuhan ekonomi yang lebih besar. Sebab itu, pemerintah telah berupaya memberikan insentif untuk mendorong sisi produksi tetap jalan dan dalam waktu yang sama sisi permintaan tetap terjaga.

Kerja sama yang diperlukan saat ini tentu kerja sama yang saling menguntungkan. Terutama jika pemerintah terus berupaya memberikan insentif, relaksasi, bagi industri/dunia usaha untuk terus bertahan (carrot), maka pemerintah saat ini berharap bahwa industri tidak melakukan PHK kepada buruhnya. Termasuk pemerintah memberikan izin bagi pengusaha untuk menunda pemberian THR itu juga bagian dari sharing beban di mana PHK tidak boleh dilakukan.

Itulah yang disebut stick and carrot policy, bagaimana fasilitas yang diberikan pemerintah dibayar dengan kepentingan mempertahankan buruh agar konsumsi masyarakat/rumah tangga tetap berjalan dan tumbuh. Wallahualam.

Prof Candra Fajri Ananda Ph.D
Staf Khusus Menteri Keuangan Republik Indonesia

UMKM Lokomotif Pemulihan?

$
0
0

Dalam rilis Badan Pusat Statistik (BPS) disampaikan, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal pertama 2020 mengalami kontraksi cukup dalam, 2,97%. Kondisi ini dibarengi pertumbuhan konsumsi yang mengalami penurunan dalam periode sama, 2,84% (yoy).

Kita semua tahu, konsumsi rumah tangga merupakan porsi terbesar (58,14%) pada pertumbuhan ekonomi sehingga rendahnya pertumbuhan ekonomi ini perlu disikapi dengan mendorong konsumsi rumah tangga melalui bantuan langsung tunai (BLT), pencegahan pemutusan hubungan kerja (PHK), serta kemudahan dan penurunan bea impor bahan baku.

Pemerintah tentu berharap pengeluaran pemerintah yang 3,74% untuk terus dipertahankan bahkan dinaikkan. Segala upaya ini tentu akan kita harapkan muncul pada kuartal ketiga, pertumbuhan kita sudah mulai lebih baik.

UMKM dalam Pandemi

Usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) memiliki kontribusi besar dan krusial bagi perekonomian Indonesia. UMKM menjadi penting lantaran keberadaannya tersebar di seluruh penjuru negeri dan menguasai sekitar 99% aktivitas bisnis di Indonesia, dengan lebih dari 98% berstatus usaha mikro.

Karena itu, tak mengherankan jika UMKM mampu menyerap 96% tenaga kerja serta berkontribusi 60% terhadap PDB. Begitu besar peran UMKM dalam menyerap tenaga kerja sehingga UMKM mampu mendorong peningkatan pendapatan masyarakat. Artinya, UMKM dapat dianggap memiliki peran cukup strategis dalam memerangi kemiskinan dan pengangguran yang ada di Indonesia.

Bila beberapa tahun silam UMKM dapat tetap berdiri tegak menyelamatkan perekonomian Indonesia ketika krisis global melanda, kini UMKM sedang mengalami keterpurukan yang mendalam akibat Covid-19. Terlebih, tak semua UMKM bisa beralih ke online. Bagi usaha kecil, pandemi ini seketika membuat usaha langsung terkapar.

Untuk kategori menengah, dengan sekuat tenaga mereka hanya dapat bertahan tak lebih dari tiga bulan. Berdasarkan data yang dihimpun Kementerian Koperasi dan UMKM, hingga pertengahan April ini tercatat 37.000 pelaku UMKM melaporkan keterpurukan yang mereka alami. Jumlahnya tentu akan membesar seiring lamanya pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di sejumlah daerah.

Keterpurukan UMKM menjadi sangat krusial mengingat pentingnya peran UMKM dalam perekonomian nasional, khususnya dalam menyerap tenaga kerja. Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) bidang UMKM menyebutkan bahwa jika diakumulasi dengan korban PHK dari sektor UMKM, angka tersebut mencapai 15 juta jiwa. Jumlah korban PHK lebih besar dari jumlah yang telah dirilis oleh Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) karena jumlah tersebut belum ditambah UMKM yang juga turut terdampak.

Kementerian Koperasi dan UKM menyebutkan bahwa kendala terbesar yang dikeluhkan (56%) adalah menurunnya penjualan atau permintaan pasar. Faktor dominan kedua yang banyak dilaporkan oleh pelaku UKM adalah permasalahan permodalan (22%). Selain itu, distribusi dan operasional (15%) juga menjadi faktor yang dikeluhkan, di samping kesulitan terhambatnya bahan baku dan produksi.

Keterpurukan industri kecil menengah (IKM) terjadi di semua bidang, termasuk IKM yang bergerak di bidang ekspor. Masalah berupa keterbatasan alat angkut dari udara maupun laut yang mengakibatkan perubahan jadwal pengiriman, lalu terdapat beberapa negara tujuan yang melakukan kebijakan lockdown sehingga terjadi penundaan atau bahkan pembatalan permintaan barang kini menjadi masalah-masalah yang harus dihadapi IKM ekspor.

Akibat berbagai masalah tersebut terjadilah penurunan ekspor ke seluruh negara tujuan rata-rata 52%. Kini IKM ekspor hanya mampu bertahan untuk produksi rata-rata selama tiga bulan.

Stimulus Penyelamatan UMKM

Turunnya daya beli masyarakat menjadi salah satu dampak negatif dari penyebaran pandemi Covid-19 di Indonesia. Sebagai upaya mengatasi kondisi ini, maka penting bagi pemerintah untuk memaksimalkan penyaluran bantuan sosial maupun jaringan pengaman sosial (JPS). Hingga kini setidaknya terdapat beragam bentuk bantuan sosial yang disiapkan pemerintah sesuai dengan fungsi masing-masing, di antaranya Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Sembako, bantuan sosial tunai, bantuan pangan nontunai (BPNT), bantuan langsung tunai (BLT) desa. Berbagai bantuan tersebut diharapkan bisa menopang tingkat konsumsi rumah tangga, termasuk bagi masyarakat terdampak, yang selanjutnya dapat mendorong transaksi bagi produk UMKM.

Selain itu, pemerintah mempersiapkan skema dukungan likuiditas untuk perbankan yang melakukan restrukturisasi kredit atau memberikan tambahan kredit modal kerja khususnya kepada UMKM. Skema dukungan likuiditas tersebut berjumlah Rp34,15 triliun dalam bentuk subsidi bunga untuk penerima bantuan sebanyak 60,66 juta rekening yang mendapatkan restrukturisasi kredit. Dalam kebijakan ini, bank berhak menentukan debitur yang dinilai terdampak, untuk kemudian melakukan restrukturisasi kredit.

Program lain dalam rangka counter cyclical yang diambil pemerintah untuk membantu segmen UMKM berupa subsidi bunga (Rp34,15 triliun), insentif perpajakan (PPh pasal 21 DTP, PPh Final UMKM DTP) senilai Rp28,06 triliun, serta penjaminan untuk kredit modal kerja baru sebesar Rp125 triliun.

Memang masalah UMKM bukan hanya pendanaan, melainkan juga terdapat permasalahan adopsi teknologi, pengembangan produk, dan perluasan pasar. Hasil penelitian Kementerian Koperasi dan UMKM menunjukkan bahwa masalah penting lain yang dihadapi oleh UMKM adalah rendahnya kualitas teknologi yang menyebabkan produktivitas dan kualitas produk UMKM juga menjadi rendah.

Rendahnya kualitas produk UMKM menyebabkan mereka sulit memasarkan produknya ke pasar bebas sehingga UMKM harus terus terikat pada pembeli tradisional, yaitu kelompok pemilik modal. Karena itu, perlindungan pada UMKM tidak hanya fokus pada pendanaan, jawaban lainnya masih tetap harus dilakukan. Kerja sama antarlembaga dan manajemen pengelolaan seluruh permasalahan menjadi kunci keberhasilan. Kita berharap hasil positif pada kuartal ketiga tahun ini, semoga.

Prof Candra Fajri Ananda Ph.D
Staf khusus Menteri Keuangan Republik Indonesia

Alam Bawah Sadar Wirausaha

$
0
0

Merambah pasar luar negeri acap kali menjadi sebuah indikator kesuksesan bagi usaha kecil dan menengah (UKM) di Indonesia. Keberhasilan menjual produk di pasar internasional membuktikan banyak hal bagi para pelaku UKM; kualitas, komitmen, dan kegigihan wirausaha. Akan tetapi, di balik potensi  keuntungan finansial, internasionalisasi produk UKM juga mengandung risiko tinggi. Apalagi dengan sumber daya UKM yang terbatas. Oleh karena itu pertanyaan yang selama ini belum tuntas terjawab adalah mekanisme apa yang mampu mendorong mereka untuk menerjang risiko sedemikian rupa?.

Penelitian di bidang internasionalisasi UKM pada umumnya fokus pada level institusi; peran pemerintah, struktur organisasi, lembaga keuangan, dan dukungan pihak ketiga. Beberapa penelitian di level wirausaha sebagai individu memang telah dilakukan. Namun terbatas pada perilaku atau motivasi yang bersumber dari stimulus eksternal.

Ternyata, ada satu mekanisme yang jarang diamati dari perilaku wirausaha. Yaitu motif bawah sadar (unconscious motive). Mekanisme ini belum banyak menarik peneliti karena sifatnya yang berada di alam bawah sadar dan sulit diamati secara langsung. Padahal, banyak perilaku manusia, termasuk wirausaha, yang digerakkan oleh motif bawah sadar mereka. Karena beroperasi di alam bawah sadar, maka ketika mekanisme ini bekerja mayoritas dari dari kita tidak merasa atau banyak juga yang menyangkal keberadaannya.

Secara akademis, mekanisme ini oleh McClelland disebut implicit motive, sebuah mekanisme bawah sadar manusia yang terbentuk melalui proses pengalaman hidup sejak usia dini dan bertahan dalam jangka panjang sehingga muncul secara otomatis ketika seseorang menerima stimulus dari lingkungan. Beberapa ahli menyebutnya sebagai jati diri manusia karena tidak dapat dimanipulasi mengikuti keinginan pribadi dan tuntutan lingkungan sosial.

Salah satu jenis implicit motive yang secara ilmiah dikaitkan dengan wirausaha adalah implicit need for achievement (nAch). Menurut Atkinson, seseorang dengan kadar nAch tinggi memiliki hasrat untuk menaklukkan tantangan, selalu ingin membuktikan sebagai yang terbaik dalam persaingan, dan gigih dalam mencapai kesukesan, sehingga dikenal sebagai individu yang memiliki perhitungan risiko yang matang. Bagi mereka, tindakan dengan risiko rendah tidak memberikan tantangan dan tindakan dengan risiko tinggi mengandung peluang gagal besar dan membahayakan posisi. Maka mereka cenderung memilih tindakan dengan risiko menengah. Karakter-karakter tersebut disepakati oleh banyak ahli sebagai karakter wirausaha.

Wirausaha dengan nAch tinggi dikenal mampu mengidentifikasi dan peka terhadap risiko serta berusaha memanfaatkan kemampuann tersebut untuk meraih kesuksesan. Perhitungan risiko yang matang dapat diwujudkan dalam kemampuan manajerial, perhitungan keuangan, kemampuan analisa pasar, bahkan pengenalam perilaku rekan bisnis. Perilaku tersebut bahkan muncul secara spontan dengan mekanisme alam bawah sadar. Tidak terkecuali ketika seorang wirausaha memutuskan untuk merambah pasar internasional.

Akan tetapi, dalam konteks UKM di Indonesia khususnya Jawa Timur, riset menunjukkan hal yang sebaliknya. Pemilik UKM yang berpartisipasi dalam riset yang dilakukan oleh FEB Universitas Brawijaya, Ghent University, dan The Uniersity of Antwerp memiliki kinerja ekspor yang optimal justru ketika mereka merasa bahwa risiko ekspor (internasionalisasi) sangat rendah dan/atau sangat tinggi.

Temuan ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, mekanisme bawah sadar nAch pemilik UKM kemungkinan besar didominasi oleh fear of failure. Sebuah sub-motif nAch yang mendorong seseorang untuk mencapai kinerja optimal justru dengan menghindari kegelisahan atau keragu-raguan. Bagi mereka, risiko sedang justru dianggap memberikan ketidak pastian, apalagi dalam konteks negara berkembang.

Kedua, UKM di Indonesia tidak menghadapi risiko internasionalisasi secara langsung karena adanya peran pihak ke tiga (eksportir) dan institusi pemerintah. Sehingga beberapa wirausaha meyakini risiko ekspor menjadi sangat rendah. Sebaliknya, bagi wirausaha yang meyakini risiko internasionalisasi sangat tinggi, hal ini disebabkan oleh lingkungan industri sekitar yang bersifat homogen atau menjadi sentra industri produk ekspor. Mereka tetap menjual seluruh produknya ke pasar internasional karena tidak tersedia pilihan lain selain memproduksi dan menjual produk untuk tujuan ekspor. Bagi mereka, tantangan rendah dan nilai tambah yang diterima kecil, yang penting kinerja ekspor tetap tinggi. Terlebih, memproduksi barang lain dan menjual di pasar domestik memberikan ketidak pastian dan keragu-raguan.

Dua penjelasan ini dapat dimaknai dari berbagai sisi. Pertama, mekanisme nAch yang digerakkan oleh fear of failure menunjukkan bahwa kewirausahaan di Indonesia khususnya di Jawa Timur belum berorientasi pada optimalisasi sumber daya-risiko. Secara teori, wirausaha dengan karakteristik semacam ini tergolong necessity entrepreneur yaitu seseorang yang menjadi wirausaha karena memenuhi kebutuhan hidup. Idealnya, menjadi wirausaha adalah karena kemampuan mengidentifikasi peluang, mengkalkulasi risiko, dan menghasilkan inovasi untuk mencapai kesuksesan (opportunity entrepreneur). Peran lembaga pendidikan dan institusi pemerintah sangat diperlukan untuk membentuk mekanisme bawah sadar semacam ini. Sistem pembelajaran yang menekankan pada sifat kritis, penuh tantangan, dan apresiasi terhadap pencapaian perlu dikenalkan sejak dini.

Kedua, dengan selalu menggantungkan peran pihak ketiga dalam melakukan ekspor, secara jangka panjang akan menumpulkan kemampuan dan kemandirian UKM. Bagi UKM yang produknya telah memenuhi standar internasional, pemerintah harus memberikan pendampingan lebih lanjut agar mereka mampu melaksanakan kegiatan ekspor secara mandiri. Hal ini perlu dilakukan agar nilai tambah dari kegiatan ekspor dapat sepenuhnya dinikmati oleh UKM yang pada akhirnya akan meningkatkan status mereka dari UKM menjadi usaha besar. Peberian insentif ekspor, pemberlakuan pajak rendah bagi UKM, dan mengikut sertakan mereka dalam pameran-pameran internasional secara intensif adalah beberapa pilihan strategi yang dapat dilakukan.

Dengan jumlah yang mendominasi bentuk bisnis di Indonesia, UKM menjadi motor penggerak perekonomian nasional. Oleh karena itu, peran penting UKM akan lebih optimal jika wirausaha Indonesia di masa depan memiliki motif bawah sadar yang berorientasi pada opportunity entrepreneur; lebih inovatif dan kreatif dalam melihat dan mengoptimalkan peluang.

(Tulisan ini adalah ringkasan hasil riset Handrito, R. P., Slabbinck, H., & Vanderstraeten, J. (2020). Enjoying or refraining from risk? The impact of implicit need for achievement and risk perception on SME internationalization. Cross Cultural & Strategic Management. doi:10.1108/ccsm-03-2019-0068).

https://www.emerald.com/insight/content/doi/10.1108/CCSM-03-2019-0068/full/html

 

Radityo Putro Handrito

IG : @dosenmumet

Live Streaming Halal Bihalal FEB UB 1441 H

Viewing all 811 articles
Browse latest View live