Quantcast
Channel: Berita – Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya
Viewing all 811 articles
Browse latest View live

Malam Pelepasan Alumni Periode IV & V TA 2015/2016

$
0
0

Jum’at (20/11), bertempat di Basement Fakultas Ekonomi & Bisnis Universitas Brawijaya (FEB UB), Malam Pelepasan Alumni Program Sarjana, serta Pasca Sarjana IV & V Tahun Akademik 2015/2016 dilaksankan dengan cukup khidmat. Acara Diawali dengan pembukaan, kemudian dilanjutkan dengan pembacaan laporan oleh Dr. Ghozali Maski, S.E., MS, selaku Wakil Dekan Bidang Akademik. Beliau tidak lupa untuk selalu bersyukur kepada Tuhan, atas terlaksananya acara ini, serta turut menyampaikan selamat berjuang, dan semoga sukses kepada calon wisudawan dan wisudawati FEB UB.

Dalam laporannya, Beliau mengumumkan jumlah wisudawan dan wisudawati yang mampu mendapatkan predikat cumlaude pada periode ini yaitu berjumlah 30 mahasiswa, yang terdiri dari 1 orang dari S-1 Program Studi Ekonomi Islam, 6 orang dari S-1 Program Studi Ekonomi Pembangunan, 1 orang dari S-1 Program Studi Keuangan dan Perbankan, 11 orang dari S-1 Jurusan Manajemen, 9 orang dari S-1 Jurusan Akuntansi dan 1 orang dari S-2 Jurusan Akuntansi. Hal ini cukup membanggakan, mengingat tidak mudah dan membutuhkan kerja keras untuk meraih predikat cumlaude.

Dalam agenda tersebut, FEB UB memberikan penghargaan kepada wisudawan dan wisudawati peraih predikat Skripsi Terbaik. Tiga orang wisudawan dan wisudawati FEB-UB yang berhasil mendapatkan predikat tersebut yaitu (1) Dwi Ayu Wulandari,S.E., (Jurusan Ilmu Ekonomi) dengan judul “Analisis Perbandingan Kinerja Keuangan dengan Pendekatan RGEC di Negara ASEAN (Studi pada Bank Umum di Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Singapura tahun 2010-2014” dengan dosen pembimbing Prof. Dr .Munawar, S.E., DEA.; (2) Deka Eko Prada, S.E. (Program Studi Manajemen) dengan judul ”Analisis Peran Komunitas Merak dalam Meningkatkan Loyalitas Merek Anggota (Studi pada Komunitas Chelsea Indonesia Supporter Club Malang)” dengan dosen pembimbing Yusuf Risanto, S.E., M.M.; (3) Ruri Ihsani, S.E. (Program Studi Akuntansi) dengan judul “Studi Fenomenologi Kecurangan Mahasiswa dalam Pelaporan Pertanggungjawaban Dana Kegiatan Mahasiswa Sebuah Realita dan Pengakuan” dengan dosen pembimbing Dr. M.Achsin, S.E., S.H., M.M., AK, CPA.

Acara kemudian dilanjutkan dengan penyampaian kesan dan pesan dari perwakilan wisudawan dan wisudawati. Program Sarjana diwakili oleh Bahrina Almas, S.E., sedangkan dari Program Pasca Sarjana diwakili oleh Dr.Theresia Woro Damayanti. Mereka mewakili para peserta wisudawan dan wisudawati untuk menyampaikan ucapan terima kasih kepada seluruh pimpinan, dosen, staff dan pihak penunjang kegiatan pembelajaran di FEB UB.

Selanjutnya, acara dilanjutkan dengan sambutan dari Dekan FEB UB, Prof. Candra Fajri Ananda, SE., MSc., Ph.D., yang menyampaikan rasa syukur karena telah berlangsungnya acara tersebut. Beliau berharap para wisudawan dan wisudawati mampu bersaing di dunia internasional serta memiliki sikap yang mencerminkan sifat kejujuran & keberanian. Kedua sifat tersebut merupakan kunci dari sebuah kesuksesan. Beliau juga mengingatkan para calon wisudawan dan wisudawati untuk senantiasa berkreativitas dan berinovasi. Pada kegiatan ini, turut hadir juga Prof. Fumio selaku Presiden ABEST 21. Acara ditutup dengan doa, yang dipimpin oleh Djoko Widodo,S.E., dan kemudian dilanjutkan agenda ramah tamah. (feb/azm)


Birokrasi Ujung Tombak Perekonomian

$
0
0

Kalender ekonomi 2015 sebentar lagi ditutup dan berganti dengan kalender baru. Catatan perekonomian 2015 berisi penuh dengan perjuangan berat pemerintah baru.

Hal ini dapat dilihat dari melemahnya beberapa variabel makroekonomi. Anjloknya kurs mata uang rupiah, perlemahan ekspor, masih lebarnya ketimpangan pendapatan, meningkatnya angka kemiskinan, dan rendahnya serapan anggaran di beberapa kementerian/lembaga serta pemerintah daerah merupakan faktor yang memberatkan tugas pemerintah dan perekonomian pada tahun ini.
Pemerintah masih juga harus berhadapan dengan perekonomian dunia, khususnya China dan Amerika Serikat, yang fluktuatif dan cenderung melemah. Ketidakpastian eksternal ini tentu akan tetap menjadi tantangan eksternal yang berat pada 2016. Apa yang harus dilakukan pemerintah dengan tantangan seperti itu?

Di saat ada banyak ketidakpastian, terutama dari eksternal, tentu faktor yang paling bisa dikendalikan dengan baik adalah sektor pemerintah, khususnya kebijakan anggaran yang tepat dan berkualitas. Secara umum kebijakan fiskal yang lebih bersifat fasilitatif (facilitative) dan mengurangi yang bersifat regulasi (regulative ) tentu lebih diperlukan.

Selain itu, penetapan skala prioritas dengan dampak berganda (multiplier) tinggi yang dikoordinasikan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional semakin perlu dan dibutuhkan sesuai dengan amanah Undang- Undang (UU) Nomor 25/ 2004. Misalnya pembangunan infrastruktur sangatlah penting, tetapi dengan keterbatasan anggaran, perlu disusun skala prioritas dan tentu tetap dalam koridor pencapaian target pembangunan seperti yang sudah diamanahkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).

Pada 2015, sendi-sendi perekonomian yang paling banyak mendorong perlambatan pertumbuhan antara lain lemahnya nilai tukar rupiah dan lambatnya penyerapan anggaran pemerintah. Efek lemahnya nilai tukar rupiah sedikitnya berpengaruh terhadap menurunnya persepsi daya beli (purchasing power) rumah tangga, padahal konsumsi inimemberikantopangandiatas 50% produk domestik bruto (PDB).

Ketergantungan impor yang cukup tinggi, terutama pada bahan pangan, menimbulkan kerentanan dan gangguan pada supply-demand bagi konsumsi rumah tangga. Sekitar 75% bahan baku untuk industri di Indonesia bergantung pada bahan baku impor dan ironisnya dengan latar belakang sebagai negara agraris, Indonesia justru cukup rajin mengimpor bahan pangan.

Imbauan Presiden Jokowi untuk menggalakkan pembelian produk lokal dan memperkuat nilai rupiah sementara ini cukup sulit membantu memulihkan ekonomi karena masyarakat mementingkan harga yang murah dan tidak membedakan apakah produk tersebut hasil produksi lokal ataupun impor. Aktivitas lain yang menyebabkan pertumbuhan tidak berjalan optimal adalah lambatnya penyerapan pemerintah untuk proses pembangunan.

Kontribusi pengeluaran pemerintah terhadap PDB memang rata-rata hanya berkisar 8% dari total PDB, tetapi dampak berganda (multiplier effects)dari pengeluaran pemerintah, terutama untuk belanja modal dan infrastruktur, tentu akan mendorong pertumbuhan ekonomi secara signifikan. Investasi pemerintah (public investment) untuk saat ini mutlak dibutuhkan agar sektor swasta terstimulasi aktivitas usahanya.

Gebrakan- gebrakan, paket kebijakan yang dikeluarkan pemerintah secara terstruktur harus mampu mempermulus laju pertumbuhan ekonomi yang konsisten meningkat seperti sebelum akhir tahun sebelumnya. Dari sisi penerimaan, target cukai saat ini pada November sudah mencapai 95%.Tapi untuk pajak masih sangat jauh dari harapan walaupun pemerintah sudah memberikan rangsangan yang sangat apresiatif kepada para pegawai pajak.

Kita perlu memahami bahwa 80% sumber keuangan negara berasal dari pajak sehingga dengan penerimaan yang jauh dari target, pemerintah harus berani memangkas belanja pemerintah yang ”bisa” ditunda atau tidak terlalu berdampak pada sektor perekonomian lain.

Memperbaiki Proses Birokrasi

Proses birokrasi, walaupun tidak selalu berhimpitan secara langsung terhadap minat investasi dan proses pengembangan ekonomi secara utuh, sering kali mendorong inefisiensi produksi (dalam arti luas) dengan tingginya biaya ekonomi. Birokrasi pada awalnya diharapkan menjadi proses kelembagaan yang mampu melindungi keberlanjutan perkembangan sektorsektor ekonomi produktif.

Lemahnya perlindungan melalui birokrasi ditinjau dari kesehatan daya saing akan dapat berdampak pada lahirnya sistem monopoli atau oligopoli yang mengarahpada perburuanrente, kanibalisme antarpelaku ekonomi, serta meningkatnya kesempatan untuk praktik pungutan liar (pungli) dan gratifikasi. Karena itu ancaman atas sustainabilitas ketahanan ekonomi akan semakin sulit direalisasi.

Kita perlu berpikir secara jujur bahwa perburuan rente berpeluang menyebabkan penyusunan kebijakan dan proses birokrasi berjalan tidak objektif dan tidaknetralsecara politissehingga muaranya akan memukul mundur cita-cita untuk memperluas jumlah investor domestik dan luar negeri di Indonesia.

Langkah-langkah sederhana yang terkait dengan reformasi birokrasi untuk sementara ini dapat difokuskan pada sisi pengamanan minat investasi dan kelancaran distribusi anggaran pembangunan pemerintah. Persoalan investasi yang paling banyak disinggung ialah durasi layanan yang di Indonesia rata-rata membutuhkan waktu berkisar 53 hari.

Pemerintah sudah berniat melakukan pemangkasan durasi layanan investasi dari rata-rata selama 53 hari menjadi 3 jam pada kawasan industri. Daya dukung untuk menerapkan birokrasi yang sehat tentu membutuhkan penguatan di bidang teknologi, peningkatan akuntabilitas, dan transparansi yang terbukti mampu meningkatkan daya saing investasi sebagaimana mereka yang menganut indeks Ease of Doing Business (EoDB) seperti di Singapura, Malaysia, dan Thailand yang peringkatnya sudah jauh di atas kita, sedangkan Indonesia masih tertatih-tatih peringkatnya di luar 100 dunia.

Selain penguatan di bidang teknologi, perlu juga ditingkatkan profesionalitas SDM di lingkungan birokrasi serta koordinasi yang solid antara pemangku kebijakan di tingkat nasional dan daerah untuk mampu menyelaraskan aturan-aturan investasi demi mengefisienkan birokrasi pelayanan investasi.

Reformasi birokrasi berikutnya adalah mengenai distribusi anggaran pemerintah yang penyerapannya masih cukup rendah dan berakibat pada ”lembeknya” daya dukung pemerintah terhadap perkembangan ekonomi nasional. Penyerapan anggaran oleh instansi pemerintah secara nasional hingga September 2015 masih berkisar 55%.

Alasan yang mengemuka antara lain permasalahan birokrasi karena perubahan nomenklatur kementerian, belum adanya payung hukum, serta kekhawatiran dari pejabat akan tersangkut korupsi saat penggunaan anggaran. Persoalan distribusi anggaran yang lelet juga terjadi pada penyaluran dana desa.

Dari Rp20,7 triliun alokasi dana desa dalam APBN 2015, tercatat sebanyak Rp16,57 triliun (80%) telah disalurkan kepada pemerintah kabupaten/kota. Namun dari jumlah tersebut tercatat baru 45% dana desa yang terserap hingga periode yang sama.

Padahal dana desa berpeluang mengakselerasi pergerakan perekonomian di desa melalui pemenuhan kebutuhan dasar, pengembangan potensi ekonomi lokal, pembangunan sarana dan prasarana desa, serta untuk pemanfaatan SDA dan lingkungan ekonomi desa secara berkelanjutan.

Sistem birokrasi yang sering kali diwarnai tarik ulur antara eksekutif dan legislatif dalam penentuan anggaran otomatis berulang-ulang memotong waktu pemerintah untuk melakukan proses penyerapan dan penyelenggaraan program-program pembangunan. Untuk menanggulangi hambatan tersebut, Presiden dapat menyusun aturan/regulasi yang dapat melindungi serapan untuk pemakaian anggaran yang sifatnya mendesak dan tidak harus melalui tender atau lelang seperti penanggulangan bencana atau belanja infrastruktur darurat.

Ancaman berupa sanksi tanpa diikuti sebuah solusi terbukti tidak mendorong perbaikan birokrasi secara signifikan. Pemerintah juga perlu meninjau alasan terhadap instansi yang tingkat penyerapannya tergolong rendah, untuk kemudian merespons melalui penyusunan regulasi ulang yang sekiranya tidak menjadi sumber ketakutan bagi pejabat dalam penggunaan keuangan negara dan tentu akan diikuti pengawasan agar tidak terjadi celah berupa penyelewengan penggunaan anggaran negara untuk kepentingan- kepentingan pribadi.

Pemerintah juga dapat mendorong agar Kejaksaan Agung dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) secara luas membuka ruang konsultasi bagi instansi pemerintah mengenai penggunaan anggaran negara yang sesuai dengan prosedur hukum yang sudah ditetapkan.

Adapun untuk hambatan distribusi dana desa, Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi menjelaskan bahwa dana yang sudah dialokasikan masih tertahan di tingkat kabupaten dan kota sehingga dalam waktu dekat akan dievaluasi penyebabnya serta akan disusun beberapa regulasi yang menjamin kelancaran proses distribusi dana desa.

Dengan demikian permasalahan pembangunan yang dihadapi bukan hanya pada pendanaan pembangunan yang terbatas, tetapi juga permasalahan birokrasi yang bertele-tele dan cenderung menjadi beban publik dan investor.

Perbaikan sistem dan manajemen kepegawaian serta penghargaan yang layak, sebagaimana yang diamanahkan dalam UU ASN (Aparatur Sipil Negara), tentu menjadi celah harapan bagi kita semua untuk memiliki birokrasi yang efisien dan profesional serta membuat optimisme kita pada 2016 meningkat. Semoga.

CANDRA FAJRI ANANDA
Dekan dan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya Malang

Wujud Kepedulian, HMJA Selenggarakan Charity Event

$
0
0

Kamis (3/12), bertempat di Basement Himpunan Mahasiswa Jurusan Akuntansi (HMJA) Fakultas Ekonomi & Bisnis Universitas Brawijaya (FEB UB) mengadakan Charity Event yang bertajuk”Nostalgia for Charity”. Acara tersebut memfasilitasi para mahasiswa baru jurusan akuntansi agar mampu memiliki jiwa sosial dan peduli terhadap lingkungan sekitar.

Ratusan mahasiswa jurusan akuntansi terlihat memadati Basement FEB UB. Suasana hangat dan kekeluargaan sungguh dirasakan oleh masing-masing peserta pada kesempatan tersebut. Hal ini terlihat dari antusiasme para peserta dalam mengikuti setiap rangkaian acara yang telah disusun oleh para panitia. Berbagai lomba turut diadakan demi memeriahkan suasana, diantaranya; stand up comedy, akustik, tebak kata, lempar kaleng.

Menurut Setiawan Parega, selaku ketua pelaksana dalam kegiatan tersebut mengatakan, “kegiatan ini merupakan salah satu agenda tahunan HMJA. Tujuan diadakannya adalah sebagai media untuk mengumpulkan dana untuk disumbangkan kepada yayasan disabilitas dan yayasan penyandang kanker. Ini juga merupakan wujud kepedulian mahasiswa jurusan akuntansi kepada sesama”.

HMJA merupakan suatu lembaga yang berada di FEB UB, dan berdiri sejak tahun 1985. Tujuan didirikannya himpunan ini adalah mempersatukan seluruh mahasiswa akuntansi FEB UB. Titik berat organisasi ini ialah peningkatan kemampuan akademis dan keahlian mahasiswa terutama dalam hal penguatan hard skill dan soft soft skill. Sehingga diharapkan kedepannya mahasiswa jurusan Akuntansi mempunyai bekal yang cukup dalam menghadapi dinamika kemanusiaan dan ilmu keprofesian. (feb/azm)

Rubrik : Promosikan Kota Melalui Branding

$
0
0

Jumat (4/12), Fakultas Ekonomi & Bisnis Universitas Brawijaya (FEB UB) mengadakan ruang berbagi isu terkini (Rubrik) yang bertajuk ”Beautiful Malang”. Tujuan terselenggaranya acara tersebut yaitu untuk memberikan kesempatan kepada para mahasiswa dan masyarakat luas untuk turut berkontribusi langsung dalam perkembangan kota Malang.

Dalam kesempatan tersebut turut hadir Dosen FEB UB, Radityo Putro Handrito, M.M., beliau menuturkan, “kegiatan semacam ini merupakan kegiatan yang edukatif serta solutif”. Beliau juga mengusulkan kegiatan semacam ini diadakan dua bulan sekali. Turut hadir dua orang narasumber diantaranya Dias Satria, SE., M.App.Ec., Ph.D. selaku perwakilan dari FEB UB, dan Ida Ayu Wahyuni, S.H., M.Si., selaku Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kota Malang.

Salah satu yang dibahas dalam kegiatan tersebut adalah mengenai sebuah branding yang wajib dimiliki oleh suatu kota. Melalui sebuah branding, kota akan mampu mempromosikan diri dengan lebih baik. Semestinya suatu kota memanfaatkan secara maksimal sumber daya dan potensi yang ada di kota tersebut. Sehingga mampu menarik para wisatawan untuk berkunjung ke kota tersebut, mulai dari luar daerah hingga wisatawan asing.

Pada dasarnya pemerintah kota Malang telah resmi meluncurkan city branding terbaru kota Malang yakni Beautiful Malang pada tanggal 23 agustus 2015. Hal ini dikarenakan city branding merupakan suatu strategi yang dilakukan suatu daerah untuk membuat posisi yang kuat dalam target pasar, sehingga posisinya mampu disejajarkan dengan brand pada suatu produk atau jasa. (feb/azm)

Indonesia takkan Bangkrut tanpa Freeport

$
0
0

Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya, Candra Fajri Ananda berpendapat, Indonesia sangat mampu mengelola sendiri tambang PT Freeport Indonesia. Apalagi mengingat sumber daya manusia (SDM) Indonesia yang dimiliki cukup besar.
“Walau PT Freeport Indonesia tutup, sumber daya manusia Indonesia mampu dan bisa mengelola sendiri. Kita sudah menguasai dalam pengelolaan sumber daya alam,” kata Candra dalam diskusi di kawasan Cikini Jakarta, Ahad (6/12).

Menurut dia, 97 persen pekerja PT Freeport adalah orang Indonesia, sehinga sudah terjadi transfer pengetahuan dalam proses pengelolaan tambang. “Jadi saya pikir Indonesia tidak akan bangkrut tanpa Freeport, kita bisa mengolah sendiri. Bajunya diganti tidak masalah karena dalamnya ada orang kita,” ujar dia.

Ia juga melihat potensi kekuatan untuk menyangga ekonomi Indonesia masih banyak dari berbagai sektor lain. Jika dilihat dari beberapa tahun terakhir deviden Indonesia share dari Freeport nol persen, ini sebagai pembuktian bahwa Indonesia tanpa Freeport tidak berpengaruh secara ekonomi.

Lagipula, kata Candra, Freeport sudah puluhan tahun, namun hingga sekarang penduduk Papua masih banyak yang miskin dan Provinsi Papua masih jauh tertinggal dari banyak provinsi lain di Indonesia. “Itu artinya Freeport gagal mendorong pembangunan Papua,” ucap dia.

Ia menilai, kegaduhan yang disebabkan bos PT Freeport Indonesia dan Menteri Sudirman Said terkait rekaman pencatutan nama, berimbas sangat besar terhadap memburuknya iklim investasi. “Terkait Freeport sangat merugikan bagi iklim investasi Indonesia, kalau kita punya duit dan ingin investasi, kita tidak hanya berpikir untuk satu tahun atau dua tahun, tapi untuk jangka panjang, apalagi kalau nominalnya besar,” kata Candra.

Salah satu pertimbangan yang terpenting untuk berivestasi adalah aspek keamanan dan kepastian hukum. Kondisi kegaduhan yang dipertontonkan Freeport dan para Menteri serta elit lainnya, membuat ketidak percayaan bagi investor untuk melepaskan uangnya.

Jika dilihat dari aliran capital inflow Indonesia terus menerus mengalami penurunan. Artinya, hal itu membuktikan kegaduhan hanya membawa keburukan bagi ekonomi Indonesia.

“Belum lagi ditambah pengaruh surat tertanggal 7 Oktober yang dikeluarkan oleh Menteri Sudirman, dalam konteks etika birokrasi, hal tersebut sangat tidak pantas,” imbuh dia.

Surat tersebut memberi sinyal akan memperpanjang kontrak Freeport, padahal Undang-Undang Minerba belum direvisi. “Apalagi pengaruh surat tanggal 7 sangat besar, dimana memberi sinyal akan dilanjutkan kontrak, padahal UU belum derevisi, ini membuat ketidaknyamanan,” tutur Candra.

Menurut Candra, Presiden Jokowi harus segera melakukan perombakan kabinet dan mengganti menteri yang membuat kegaduhan.

Candra mengatakan, skema divestasi saham PT Freeport Indonesia melalui pasar modal dengan makanisme penawaran umum perdana saham atauinitial public offering (IPO) tidaklah akan menyelesaikan masalah. “IPO adalah pilihan terakhir, dan bukan solusi yang terbaik,” kata Candra.

Dijelaskan Candra, jika dibeli sahamnya oleh seorang pengusaha pun, tidak akan menyelesaikan masalah tambang emas Papua tersebut. Yakni mengenai kesejahteraan masyarakat sekitar dan juga keuntungan ekonomis bagi bangsa Indonesia juga.

“Kalau dilempar ke pasar modal, bisa saja nanti dibeli oleh pihak Freeport lagi, melalui mitra-mitranya, kan yang mampu membeli saham Freeport saat ini adalah pemiliknya sendiri yang modalnya kuat,” kata Candra.

Candra juga mengingatkan yang terpenting adalah mampu membuat masyarakat sejahtera dan menguntungkan bagi perekonomian nasional. Ia menyarankan, bisa saja dikelola oleh BUMN, atau bahkan dijadikan BUMN, sehingga bisa memberi banyak dampak bagi Indonesia, dengan catatan kontrak Freeport tidak diperpanjang.

Debat Terbuka Pemilwa FEB UB

$
0
0

Kamis (10/12), Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) Fakultas Ekonomi & Bisnis Universitas Brawijaya (FEB UB) mengadakan debat terbuka terhadap calon kandidat DPM dan Presiden BEM tahun 2015-2016 yang bertajuk ”Isu-isu Kampus Terkini, Parkiran Mahasiswa dan Beasiswa FEB UB”. Terselenggaranya acara tersebut merupakan rangkaian masa kampanye para kandidat untuk mensosialisasikan misi dan visi yang mereka miliki untuk disampaikan kepada para mahasiswa FEB UB.

Suasana hangat dan kekeluargaan sungguh sangat dirasakan oleh masing-masing mahasiswa pada kesempatan tersebut. Walaupun disisi lain, persaingan untuk mendapatkan dukungan dan simpati dari para mahasiswa, namun sifat kekeluargaan masih terjalin diantara mereka. Hal ini terlihat dari antusiasme para peserta dalam mengikuti setiap rangkaian acara yang telah disusun oleh para panitia. Berbagai pertanyaan hingga pernyataan terus dilontarkan oleh masing-masing kandidat demi mempertahankan pendapat yang mereka miliki.

Adapun para kandidat yang bersaing dalam pemilwa KM FEB UB tahun ini diantaranya

  • Calon Presiden & Wakil Presiden BEM
  1. Raka Tirta & Yusuf Agil
  2. Anjasmoro A. P. & Arlisya Tika A.
  3. Anggit Setiadi & Alfiana Irsyanti
  • Calon DPM
  1. Amir Hamzah & Dimas Aditya (Jurusan Manajemen)
  2. Dhimas Arfiansyah (Independen)
  3. Daniel Rio, Yanwika Nandi, & Fritz Indra (Jurusan Akuntansi)

Menurut Arky Darmawan, salah seorang mahasiswa yang saat ini duduk di semester 3 dan merupakan ketua pelaksana dalam kegiatan tersebut. Walaupun terdapat kesulitan yang dialami panitia dalam malaksanakan kegiatan ini, namun dengan semangat para panitia dan antusiasme para peserta kesulitan tersebut dapat teratasi sehingga acara tersebut dapat berjalan dengan lancar.

Pada dasarnya tujuan diadakannya acara tersebut, agar para kandidat, baik dari kandidat DPM maupun kandidat Presiden dan Wakil Presiden BEM mampu proaktif ketika mereka telah terpilih nanti. Sehingga ketika mereka bersinggungan langsung kepada para mahasiswa terutama ketika timbulnya permasalahan, dapat memberikan solusi yang baik dalam menyelesaikannya. (feb/azm)

Tiga Guru Besar FEB UB Resmi Dikukuhkan

$
0
0

Kamis (10/12), Universitas Brawijaya (UB) mengukuhkan tiga Guru Besar yang berasal dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya (FEB UB). Upacara pengukuhan dilakasanakan di depan rapat terbuka Senat UB bertempat di gedung Widyaloka. Prosesi pengukuhan tersebut dipimpin oleh Rektor UB, Prof. Dr. Ir. Mohammad Bisri, M.S. yang juga menjabat sebagai Ketua Senat. Ketiga Guru Besar yang dikukuhkan adalah Prof. Dr. Khusnul Ashar, S.E., M.A., Prof. Dr. Ghozali Maski, S.E., M.S. serta Prof. Gugus Irianto, S.E., M.S.A., Ph.D., Ak.

Dalam upacara tersebut, Prof. Dr. Khusnul Ashar, S.E., M.A. membawakan orasi ilmiah dengan judul “Penanggulangan Kemiskinan melalui Lembaga Keuangan Mikro Berwatak Social Entrepreneur“. Sementara Prof. Dr. Ghozali Maski, S.E., M.S. membawakan orasi ilmiah dengan judul “Asosiasi Timbal Balik Sektor Keuangan dan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia“. Kemudian Prof. Gugus Irianto S.E., M.S.A., Ph.D., Ak. membawakan orasi ilmiah yang berjudul “Spirit Profetik, Akuntan, dan Pencegahan Fraud”.

Guru besar merupakan gelar akademik tertinggi yang diberikan kepada seorang tenaga pendidik, karena jasanya yang telah bergelut dalam dunia pendidikan. Berkat jasa-jasanya yang sangat besar tersebut, sehingga mereka dianugerahi nama Guru Besar. Mereka bukan hanya berjasa pada institusi pendidikan, akan tetapi juga kepada masyarakat, negara, bahkan dunia. Guru Besar juga memegang tanggung jawab yang sangat besar, mereka bukan sekedar diwajibkan untuk mendidik dan melakukan penelitian semata, namun lebih dari pada itu. Mereka diwajibkan untuk menyumbangkan tenaga serta pikiran mereka kapanpun dan dimanapun untuk kemajuan bangsa.

Proses untuk menjadi seorang Guru Besar bukanlah perjalanan yang singkat dan mudah. Banyak sekali tantangan serta ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi, seperti mengajar, penelitian dan karya ilmiah dan pengabdian kepada masyarakat dan negara. Bahkan setelah dikukuhkan, perjalanan untuk terus bergelut dalam dunia pendidikan tidak berhenti disitu, tanggung jawab baru terus berdatangan dan menanti untuk diselesaikan. Terutama harus menjadi leader dalam bidang akademis dan menjadi teladan dalam hal integritas serta menjadi publik figur dan panutan yang baik dalam hal apapun. (feb/azm)

 

Tiga Guru Besar FEB UB Bersyukur atas Pengukuhan Resmi

$
0
0

Tiga orang Dosen Fakultas Ekonomi & Bisnis Universitas Brawijaya (FEB UB), yakni Prof. Dr. Khusnul Ashar, S.E., M.A., Prof. Dr. Ghozali Maski, S.E., M.S. serta Prof. Gugus Irianto, S.E. , M.S.A., Ph.D., Ak. resmi dikukuhkan sebagai Guru Besar. Tidak berselang lama setelah pengukuhan, mereka mengundang para dosen, karyawan, serta para koleganya untuk tasyakuran yang bertempat di Basement gedung E FEB UB. Tasyakuran dilaksanakan pada tanggal 10 Desember 2015. Terselenggaranya acara tersebut merupakan ungkapan rasa syukur mereka, karena telah mampu meraih gelar akademik tertinggi, yaitu telah dikukuhkannya sebagai Guru Besar.

Acara tersebut dihadiri oleh puluhan dosen, dan karyawan yang sangat gembira karena rekan mereka telah mendapatkan gelar tertinggi di akademik. Turut hadi juga Prof. Candra Fajri Ananda, S.E.., M.Sc.., Ph.D. selaku Dekan FEB UB yang turut memberikan selamat atas dikukuhkannya tiga Guru Besar dari FEB UB. “Dengan bertambahnya Guru Besar di FEB UB, maka akan menguatkan institusi dan juga telah berhasil mewujudkan salah satu rencana Rektor UB, yaitu untuk terus menambah jumlah guru besar di Institusi. Sehingga dengan bertambahnya guru besar di institusi diharapkan mampu menjadi publik figur di semua lini terutama pada institusi”, ungkap Beliau dalam sambutannya.

Gelar Guru besar merupakan gelar tertinggi diakademik yang diberikan kepada seorang tenaga pendidik, karena jasa yang telah digeluti terutama dalam dunia pendidikan. Berkat jasa yang begitu besar, maka mereka dianugerahi gelar sebagai Guru Besar. Namun setelah dikukuhkannya gelar tersebut mereka tidak boleh berhenti untuk terus berkarya dan menyumbangkan tenaga serta pemikirannya bagi institusi, negara hingga dunia.

Pada dasarnya perjalanan untuk menjadi seorang Guru Besar bukanlah perjalanan yang mudah, banyak sekali tantangan serta dan rintangan besar yang harus dilalui, seperti mengajar, penelitian dan karya ilmiah dan pengabdian kepada masyarakat dan negara. Untuk itu dengan dikukuhkannya sebagai guru besar nantinya akan mampu menjadi inspirator terutama bagi para dosen muda agar mampu mengikuti langkah untuk meraih gelar tersebut. (feb/azm)


Akademisi: Pungutan Menteri ESDM Ilegal, Sebaiknya Ditunda

$
0
0

Ekonom Universitas Brawijaya, Candra Fajri Ananda menyarankan agar realisasi pemungutan dana untuk ketahanan energi pada penurunan harga BBM ditunda. Pasalnya, kebijakan itu tidak ada legal hukum.

“Sebaiknya pungutan ini ditunda dulu,” tulisnya dalam pesan singkat kepada aktual.com, di Jakarta, Senin (28/12).

Menurut penjelasannya, setiap pungutan oleh negara kepada masyarakat harus berdasarkan legal formal hukum. Dirinya menyayangkan kebijakan Menteri Energi Sumber Daya dan Mineral (ESDM) Sudirman Said melakukan pemungutan dana ketahanan energi. Padahal penurunan harga BBM tidak ada landasan hukum.

“Setiap pungutan oleh negara kepada masyarakat, harus ada legal formalnya, sayangnya pungutan ini belum ada,” tambahnya.

Selain itu, pungutan tersebut belum jelas penggunaannya karena belum ada petunjuk tehnis yang mengatur, akibatnya rawa terjadi penyalahgunaan.

Ia juga menita pengambil kebijakan mempertimbangkan dalam melakukan pungutan, pasalnya masyarakat sudah membayar pajak BBM (pajak daerah) antara 5 – 10%, dengan penggunaan untuk perbaikan atau Pembangunan jalan.

Sebelumnya sebagaimana diberitakan bahwa Menteri ESDM, Sudirman Said telah mengumumkan adanya pungutan dana untuk ketahanan energi pada penurunan harga BBM jenis Premium dan Solar.

Harga awal Premium Rp7.300 turun menjadi Rp6.950/liter, namun karena ada pungutan dana ketahanan energi Rp200/liter, maka harga Premium menjadi Rp7.150/liter.

Sedangkan untuk harga solar dari Rp6.700 menjadi Rp5.650/liter, dari angka tersebut sudah termasuk subsidi Rp1.000/liter, kemudia ditambah dana ketahanan energi Rp300/liter sehingga menjadi  Rp5.950/liter.

Ketika Tax Amnesty Kurang Menarik

$
0
0

Sebagai tulang punggung pendapatan negara, di ujung tahun 2015 sektor pajak menjadi trending topic bagi kalangan penggiat ekonomi.

Hal ini tidak terlepas dari tiga isu utama yang terkait dengan pajak: (1) realisasi pendapatan pajak 2015; (2) target pendapatan pajak 2016; dan (3) potensi tax amnesty . Pertama , realisasi pajak di tahun 2015 berlangsung cukup menggembirakan. Terlepas dari persentase capaian target yang kemungkinan tidak lebih dari 85% dan tax ratio yang hanya berkisar 11%, hingga perhitungan pada saat Natal kemarin pajak yang terkumpul merupakan rekor tertinggi yang pernah terekam sejarah perpajakan Indonesia.

Pada 25 Desember 2015, jumlah pendapatan negara dari pajak telah mencapai Rp1.084 triliun dan cukup jauh melampaui pendapatan tahun lalu yang terkumpul sebesar Rp982 triliun. Yang perlu kita apresiasi adalah langkah-langkah jitu dari segenap pegawai Ditjen Pajak yang mampu menjaga tren pertumbuhan realisasi pajak di tengah ekonomi nasional yang sedang lesu belakangan ini. Kedua , isu yang menarik berikutnya adalah proyeksi pendapatan dari pajak 2016 yang ”dipaksa” kembali meningkat tajam dengan target mencapai Rp1.546,7 triliun, atau meningkat 19,5% dari target APBN-P 2015.

Angka ini terbilang cukup ”gila” dan ”berani” jika memandang keadaan eksisting, karena capaian di tahun ini saja dapat dikatakan Ditjen Pajak cukup ngos-ngosan untuk mengejar target penerimaan. Ketiga , wacana kebijakan pengampunan pajak (tax amnesty ) yang tengah marak dijadikan harapan untuk meningkatkan penerimaan pajak.

Tax amnesty dilakukan dengan cara menghapus ancaman proses pidana bagi pelanggar pajak yang bersedia mengajukan permohonan amnesti dan merevaluasi nilai pajaknya. Pengajuan amnesti nantinya akan diikuti dengan berbagai konsekuensi yang bersifat mengikat, seperti dengan membayar paket tarif tebusan dan memberikan akses kepada Ditjen Pajak untuk mengawasi kantong-kantong aset kekayaan pemohon amnesti.

Sebenarnya sah-sah saja ketika tax amnesty mendapat begitu banyak perhatian, karena secara konseptual akan banyak hal positif yang bisa dikumpulkan. Selain bertujuan untuk meningkatkan pendapatan dari pajak, tax amnesty akan mendorong wajib pajak lebih jujur dan transparan, serta yang paling utama ialah untuk memulangkan (merepatriasi) potensi-potensi pajak dari asetaset warga Indonesia yang banyak berhamburan di luar negeri. Perkiraan Ditjen Pajak, aset masyarakat di luar negeri yang bisa diamnestikan mencapai Rp2.000 triliun.

Jika dihitung dari tarif tebusan 3% saja, potensi penerimaan yang didapat pemerintah bisa mencapai Rp60 triliun. Akan tetapi, pemerintah perlu memperluas perspektif mengenai wacana tax amnesty karena di dalamnya juga terdapat beberapa tantangan yang tentunya harus banyak-banyak diantisipasi. Misalnya kebijakan antara pemerintah dan lembaga-lembaga antikorupsi (Kejaksaan, Kepolisian, KPK, BPK, dan PPATK) yang harus disinkronkan karena sebagian pajak yang diamnesti diindikasikan berasal dari ”kerja kotor”.

Jangan sampai laporan yang dilampirkan pemohon amnesti justru menjadi bahan bukti tindak pidana karena salah satu poin dari RUU Pengampunan Nasional yang memuat tax amnesty menjamin pemohon terlepas dari ancaman pidana. Kedua , tantangan mengenai kesiapan secara sosial yang terkait dengan budaya masyarakat untuk ”berani jujur” dan efek psikologis terhadap wajib pajak yang selama ini relatif disiplin memenuhi kewajibannya. Belum lagi dengan kesiapan pemerintah agar tax amnesty bisa lepas dari pergunjingan dengan kepastian sasaran target (kualifikasi) penerima tax amnesty , jaminan perlindungan investigasi, dan mekanisme pelaporan dan pengawasan.

Ketiga , jangan sampai wacana tax amnesty justru membuat pemerintah tidak jeli dengan potensi-potensi pajak lainnya. Seandainya target penerimaan dari tax amnesty tercapai maksimal, kontribusinya hanya berkisar 3,88% dari target pajak akumulatif 2016 dan terhitung masih relatif kecil jika dibandingkan dengan komponen target lainnya. Karenanya, jangan sampai pemerintah justru mengabaikan pos-pos pajak lainnya hanya karena tax amnesty tengah menjadi perhatian publik.

*** Kondisi perpajakan 2015 yang menjadi barometer awal pemerintahan Presiden Joko Widodo sudah sepatutnya untuk dijadikan bahan renungan. Capaian realisasi pajak menjelang akhir Desember 2015 yang memang cukup mengejutkan berbagai pihak ternyata banyak disuplai dari peningkatan capaian PPh dan PPN. Nominal pajak yang dihasilkan antara 1 Desember hingga 25 Desember 2015 mampu mencapai Rp242 triliun.

Perolehan fantastis tersebut karena sepanjang bulan Desember Kementerian Keuangan dan Ditjen Pajak berupaya melakukan beberapa kebijakan strategis, antara lain dengan revaluasi aset perusahaan BUMN, perbankan, dan perusahaan properti; pendekatan terhadap 50 wajib pajak besar; pajak dari sektor migas; dan reinventing policy (penghapusan sanksi administrasi pajak).

Dari beberapa kebijakan tersebut ada kebijakan yang dipandang tidak cukup alami (dari segi kebiasaan/tidak selalu terjadi setiap tahun di bidang perpajakan) yang telah dilakukan, yakni reinventing policy dan pola ijon . Reinventing policy mampu mendorong penghasilan pajak karena menjadi alternatif untuk menghindari sanksi pajak setelah ditundanya pemberlakuan tax amnesty di ujung 2015. Adapun pola ijon yang dimaksudkan tadi ialah dengan mengimbau agar sejumlah wajib pajak besar untuk mengangsur pajak kurang bayar untuk tahun 2015 lebih cepat dari semula yang sedianya diagendakan paling lambat April 2016.

Penyebab lain yang mendorong meningkatnya pencapaian pajak 2015 adalah dengan adanya pertimbangan dari wajib pajak untuk memanfaatkan kebijakan keringanan tarif pajak penghasilan (PPh) final atas revaluasi aktiva di akhir Desember 2015, serta tren pembayaran pajak yang ramai dilakukan di akhir tahun ketika pemeriksaan pajak selesai dilakukan. Menkeu Bambang PS Brodjonegoro bahkan memperkirakan pembayaran pajak pada Desember mampu mencapai 1,5 kali lipat dari perolehan November.

Berangkat pada kondisi tersebut seharusnya pemerintah tidak berharap terlalu berlebihan terhadap tax amnesty , karena sejujurnya sektor yang perlu didorong menjadi harapan terbesar untuk menjadi donatur negara melalui pajak seharusnya tetap menjadikan sektor riil sebagai ujung tombaknya. Apalagi tax amnesty merupakan program jangka pendek. Yang paling logis adalah bagaimana upaya agar potensi-potensi pajak dapat dipatenkan menjadi sumber penerimaan jangka panjang, termasuk di antaranya melalui pengembangan sektorsektor ekonomi potensial dan strategis.

Pertumbuhan ekonomi tetap harus dikejar melalui kebijakan fiskal dan moneter yang dinamis dan pro pengembangan sektor riil. Harapannya ketika sektor riil mampu terus bertumbuh, tingkat pendapatan tenaga kerja meningkat, sasaran target pajak juga bisa ikut tumbuh. Sebagai catatan, data Ditjen Pajak hingga Maret 2015, potensi wajib pajak dengan ukuran nomor pokok wajib pajak (NPWP) di Indonesia sebenarnya mencapai sekitar 45-60 juta orang. Namun, hanya sekitar 28 juta orang yang memiliki NPWP, serta hanya 23 juta orang di antaranya yang patuh melaporkan surat pemberitahuan (SPT).

Hal ini berarti sekitar 22-37 juta orang yang belum bayar pajak sehingga sangat mungkin hal ini yang mendorong tidak tercapainya target serapan pajak pada tahun ini. Ketika jumlah wajib pajak meningkat, pemerintah tinggal meneruskan dengan rajin-rajin ”menjemput bola” agar serapan pajak bisa optimal. Strategi ini terbukti efektif sebagaimana yang terjadi pada Desember 2015, yaitu tindakan persuasif yang dilakukan Kemenkeu dan Ditjen Pajak direspons positif oleh wajib pajak.

Target berikutnya untuk meningkatkan pajak ialah dengan meningkatkan pengawasan pada pajak tambang dan sumber daya alam (SDA). Koalisi Anti-Mafia memperkirakan kerugian yang ditanggung pemerintah mencapai Rp4,6 triliun dari kekurangan pembayaran iuran dan royalti perusahaan tambang sepanjang 2010- 2013. Data yang dipublikasikan Publish What You Pay (PWYP) Indonesia juga menghitung kisaran kerugian negara akibat kekurangan bayar 4.361 izin usaha pertambangan (IUP) mencapai Rp3,768 triliun, yang dihitung dari hasil rekapitulasi data Dirjen Mineral dan Batubara di 12 provinsi.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada awal 2015 pernah memberikan beberapa ide yang dapat dikaitkan agar penerimaan pajak dari tambang dan SDA mampu dimaksimalkan. Ide-ide tersebut (i) mendorong kebijakan pengolahan hasil tambang dan SDA tidak dalam bentuk mentah serta listing perusahaan di bursa efek untuk memudahkan pengawasan laporan keuangan; (ii) menyediakan administrasi khusus perusahaan tambang di KPP wajib pajak pertambangan agar terfokus dan tidak bercampur dengan sektor lain; dan (iii) membuat standar harga seperti Indonesia Coal Index untuk menentukan PPh dan royalti yang harus dibayarkan.

Candra Fajri Ananda
Dekan dan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya

Reshuffle Kabinet, Presiden Harus Lepas Jebakan Politik

$
0
0

Publik menginginkan reshuffle kabinet. Langkah itu dipercaya mampu meredam kegaduhan di Kabinet Kerja yang muncul sepanjang tahun 2015 lalu.

Pendapat itu disampaikan ekonom dari Universitas Brawijaya, Candra Fajri Ananda. Menurut dia, reshuffle harus berbasis pada pencapaian kinerja. Dan yang terpenting, Presiden Joko Widodo harus melepaskan diri dari jebakan politis saat lakukan reshuffle.

Untuk menghindari kembalinya terjadi kegaduhan dalam kabinet, ia menyarankan Presiden untuk membuat ‘aturan main’ antar kementerian. Kementerian tidak boleh melampaui kewenangan antar lembaga (terkesan rebutan Program) dan kemudian banyak perbedaan dibawa ke media. “Sehingga terkesan para Menteri bekerja tanpa ‘manager’,” ujar Candra, dalam pesan elektronik yang diterima Aktual.com, Minggu (10/1).

Selain itu, menurutnya, presiden perlu membentuk lembaga ‘pengevaluasi’ kementerian yang dibawahi langsung presiden dengan indikator yang jelas dan terukur. “Jangan sampai kementerian mengevaluasi kementerian yang lain,” kata dia.

Selain itu, di tengah melemahnya daya beli, menurut dia, salah satu yang diharapkan publik untuk diganti adalah kementerian yang mengurusi bidang ekonomi. Kementerian di bidang itu, ujar itu, haruslah dipimpin oleh orang yang mempunyai kemampuan yang handal dan sesuai arah program presiden.

“Khusus untuk kementerian Keuangan, Bappenas dan Bank Indonesia, perlu Menteri yang betul-betul ‘in line’ dengan program presiden,” kata dia.

Peluang RI Tarik Investasi Jepang

$
0
0

Kebijakan Bank of Japan (BoJ) mengadopsi suku bunga negatif hingga menjadi minus 0,1 mesti dimanfaatkan sebesar-besarnya oleh pemerintah untuk bisa menarik lebih banyak investasi langsung perusahaan Jepang di Indonesia.

Seperti dikabarkan, BoJ pada Jumat (29/1) mengadopsi kebijakan suku bunga negatif untuk memacu pinjaman dan membantu inflasi ke arah targetnya dua persen. Dengan tingkat suku bunga -0,1 persen itu, berarti bahwa bank-bank yang memarkir uang mereka di bank sentral sebenarnya dikenakan biaya.

Menanggapi kebijakan itu, peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Salamuddin Daeng, ketika dihubungi, Minggu (31/1), mengatakan daripada berharap dana murah Jepang mengguyur sektor keuangan nasional lebih baik pemerintah fokus untuk bisa menarik investasi langsung, baik untuk membesarkan investasi yang sudah ada maupun berinvestasi di sektor baru.

Sebab, upaya pemerintah Jepang untuk menggenjor sektor riil dalam negerinya terhalang reformasi struktural yang tidak mudah. Selain itu, berharap pada konsumsi domestiknya juga bukan tanpa kendala, sebab secara kultural masyarakat Jepang sudah cukup kuat dalam mengelola keuangan.

Oleh karena itu, menurut Salamuddin, dari situasi tersebut sebenarnya ada kesempatan besar bagi pemerintah untuk menarik lebih banyak investasi langsung di Indonesia kalau reformasi birokrasi, kepastian hukum, dan perijinan bisa mengakomodasikan kepentingan pengusaha-pengusaha Jepang.

“Jepang berharap sektor riilnya tumbuh, barangnya bisa dijual lebih murah lagi ke pasar seluruh dunia. Nah, Indonesia bisa memberikan tawaran yang menarik untuk mereka,” jelas dia.

Dampak negatif dari suku bunga negatif BoJ adalah makin kompetitifnya barang produk Jepang di pasar global. Namun, tidak ada produk nasional yang bersaing langsung dengan produksi Jepang.

“Ancaman yang nyata adalah makin membesarnya impor dari Jepang yang akan makin menambah defisit neraca perdagangan. Maka, untuk mengatasi hal itu mesti diseimbangkan dengan penanaman modal langsung,” ujar Salamuddin.

Sebelumnya, Menko Perekonomian, Darmin Nasution, mengatakan langkah BoJ tidak serta merta bisa mendatangkan inflow bagi Indonesia. Terkecuali, lanjut dia, jika pemerintah sudah menerbitkan surat utang negara (SUN) dalam denominasi mata uang Jepang atau Samurai Bond, seperti yang pernah digadang-gadang Kementerian Keuangan.

Ekonomi Produktif

Sedangkan pengamat ekonomi dari Universitas Brawijaya Malang, Candra Fajri Ananda, menilai penurunan tingkat bunga bank sentral Jepang itu sebenarnya bertujuan menstimulasi perekonomian dengan cara mendorong dana yang diparkir di perbankan menjadi kekuatan ekonomi yang produktif, baik melalui konsumsi maupun investasi oleh masyarakat.

“Penurunan sampai negatif karena Jepang mengalami deflasi yang menyebabkan gairah kegiatan ekonomi swasta melempem dan perlu stimulan konsumsi masyarakat untuk merangsang para pelaku usaha mengekspansi usaha,” jelas dia.

Di sisi lain, bank sentral Indonesia masih harus sangat hati-hati untuk melonggarkan sisi moneter dengan mempertahankan tingkat bunga tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa ancaman turbulensi ekonomi dunia masih dianggap cukup kuat, dan Bank Indonesia harus melihat penurunan tingkat bunga masih pada opsi yang masih jauh untuk dilakukan

Sekali Lagi Paket Kebijakan

$
0
0

Paket kebijakan ekonomi yang dirilis sejak semester II 2015 telah genap 10 buah setelah pemerintah pekan lalu menerbitkan Paket Kebijakan Ekonomi X.

Dalam paket terbarunya, pemerintah kembali memberikan gebrakan dengan merilis revisi daftar negatif investasi (DNI). Revisi DNI diharapkan semakin menggairahkan investasi, termasuk penanaman modal asing (PMA). Salah satu ide dasar pemerintah memberikan ruang investasi yang cukup besar terhadap investor asing, yakni untuk menggarap investasi-investasi potensial yang kurang tersentuh investor lokal. Implikasi dari kebijakan ini cukup berat dan dilematis.

Di satu sisi pemerintah ingin meningkatkan perbaikan ekonomi melalui investasi, sedangkan di sisi yang lain kebijakan ini akan semakin memperberat eksistensi pelaku usaha lokal terutama dari sektor UMKM. Dengan dirilisnya revisi DNI, mulai muncul anggapan, kebijakan ini akan dapat mengganggu eksistensi UMKM pada beberapa bidang usaha. Lahirnya kebijakan ini pun bukan tanpa berbagai pertimbangan matang karena suka atau tidak suka lonceng Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) sudah resmi berbunyi di antero kawasan ASEAN.

Paket Kebijakan Ekonomi X dapat disimpulkan sebagai wujud nyata dari MEA itu sendiri. Menanggapi paket kebijakan terbaru tersebut, untuk sementara ini kita jangan terlalu terjebak dengan cibiran dan keluhan yang hanya menambah berat langkah maju kita. Lebih baik sumber daya kita gunakan semaksimal mungkin untuk bertahan terhadap gempuran atas ancaman negatif dan melahirkan solusi untuk kemajuan.

Sebagai langkah awal ada baiknya kita coba ber-khusnudzon terhadap niat pemerintah bahwa paket ini memang bertujuan memotivasi UMKM lokal agar bisa berkembang. Selain itu substansi paket kebijakan terbaru juga berupaya memutus mata rantai distribusi yang selama ini mendorong hargaharga menjadi tidak efisien.

Menko Perekonomian Darmin Nasution sudah menyimpulkan adanya golongan kartel yang sengaja ”bermain” pada posisi ini untuk jenis komoditikomoditi tertentu seperti obatobatan dan alat kesehatan.

Dengan paket kebijakan terbaru, diharapkan model-model pengelolaan yang cenderung menguntungkan kelompok dapat berangsur-angsur dikurangi dan dibatasi, melalui peningkatan daya saing UMKM dan meningkatkan peran KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) sebagai pengawas, apalagi jika terkait dengan distribusi beberapa komoditi strategis.

Evaluasi Efektivitas Paket Kebijakan Ekonomi

Dalam kurun enam bulan terakhir memang tampak pemerintahan sangat jor-joran menelurkan paket kebijakan ekonomi. Yang menjadi pertanyaan, apakah paket-paket kebijakan sebelumnya sudah terlaksana secara efektif?

Yang kedua, apakah kebijakan-kebijakan ekonomi telah dipatuhi secara konsisten oleh kementerian/ lembaga hingga pemerintah daerah yang berkaitan dengan fokus dari tiap-tiap paket kebijakan? Ini yang kemudian perlu ditelusuri agar apa yang diputuskan oleh pemerintah mampu menjawab kebutuhan riil di lapangan.

Hal yang sangat penting dikurangi yakni saling tumpang tindih (overlapping)antarkebijakan satu dengan lainnya, apalagi jika kita sandingkan dengan kebijakan pemerintah daerah yang cenderung menciptakan barrier dengan alasan peningkatan pendapatan asli daerah (PAD). Kita coba flashback pada beberapa dekade terakhir, sebenarnya jika ditelisik lebih mendalam, langkah pemerintah Indonesia termasuk cukup doyan bergonta-ganti aturan.

Dengan berbagai dinamika itu patut diduga jangan-jangan ”hobi” ini justru menjadikan proses birokrasi sebagai dinding penghambat laju pertumbuhan investasi. Sebagian besar investor amat menanti kebijakan yang konsisten dan memberikan kepastian sehingga perusahaan tidak banyak terkuras energinya untuk terus melakukan penyesuaian terhadap sistem birokrasi. Selain persoalan birokrasi, sebenarnya dari paket-paket kebijakan sebelumnya belum banyak menunjukkan perubahan pada fundamental industri kita.

Saat ini, sebagian besar industri masih mengeluh pada hal-hal mendasar khususnya infrastruktur dasar, seperti bahan bakar, listrik, maupun air bersih. Pemerintah memang sudah menyisipkan ke dalam paket kebijakan untuk memberikan kemudahan dalam berinvestasi mulai dari perizinan, tarif listrik, sampai penurunan suku bunga bank. Namum implikasinya masih berjalan cukup lambat, seperti penurunan tarif listrik, insentif pemakaian listrik, dan lainnya.

Kalau paket itu cepat dilaksanakan akan memberikan tambahan nafas untuk industri tetap hidup. Untuk itu perlu evaluasi atas paketpaket kebijakan yang ada selama ini, mana saja hambatanhambatan riil yang sering kali tampak ke permukaan. Di tengah-tengah upaya pengembangan yang sedang dilakukan, kasak-kusuk mengenai isu pemutusan hubungan kerja (PHK) kembali turut menyeruak yang ditengarai karena banyak perusahaan memilih jalur tersebut sebagai bagian dari efisiensi untuk menanggapi lesunya perekonomian.

Untuk sementara ini, dari beberapa isu yang berkembang, perusahaanperusahaan jenis padat modal seperti perusahaan minyak dan gas (migas), automotif, dan elektronik sudah berancangancang melakukan PHK. Terlepas apakah ini benar akan terealisasi atau tidak, informasi ini dikhawatirkan akan menggelinding menjadi sorotan bagi pemerintah, khususnya terkait upaya mencegah PHK besarbesaran.

Jangan sampai dengan paket kebijakan yang berangsurangsur diterbitkan, pemerintah hanya terasa cakap menarik investor, namun tidak mampu memelihara investasi tersebut bertahan jangka panjang. Tugas pemerintah untuk menjaga ritme kelangsungan usaha lebih diutamakan untuk menahan gejolak sosial sebagai dampak dari adanya PHK terhadap kaum buruh. Ke depan, pemerintah perlu memiliki data yang jelas tentang sektor strategis yang akan dikembangkan.

Dalam jangka panjang akan lebih membanggakan jika sektor strategis ini dikembangkan sendiri oleh pengusaha dalam negeri, khususnya di bidang energi atau bidang teknologi berbasis pertanian. Kita juga perlu mengingat bahwa multi-national corporation tidak selalu menguntungkan negara yang menjadi tempat investasi karena sebagian besar keuntungannya akan dibawa kembali ke negara asalnya.

Bahkan dalam beberapa kasus, mereka tidak segan-segan meminta beberapa fasilitas yang lebih menguntungkan mereka. Michael Todaro dalam bukunya yang bertajuk Economic Development menceritakan bahwa multi-national corporation penting bagi negara berkembang dalam upaya mendorong ”transfer knowledge”, namun dalam praktiknya sering terjadi gap karena hal-hal semacam itu nyaris tidak pernah terjadi secara signifikan.

Hal yang sering terjadi justru market knowledge di mana pengetahuan diperoleh melalui proses mekanisme pasar, jika Indonesia mampu meniru negaranegara Asia seperti Korea Selatan yang berani ”membajak” ahli desain dan mesin mobil-mobil ternama di Eropa untuk menciptakan mobil yang kompetitif seperti saat ini. Pada sisi inilah pemerintah sering kali alpa dalam menyelesaikan kebijakan pengembangan dan pemanfaatan sumber daya manusia potensial, yang akibatnya justru banyak tenaga ahli yang terlahir dari rahim Ibu Pertiwi justru berkarya bagi negeri orang lain.

Dengan demikian, sederet paket kebijakan yang sudah resmi diterbitkan ini perlu untuk terus dikawal agar tercapai tujuannya yang begitu mulia. Pengawalan yang dapat dilakukan ialah dengan mengurangi kebijakan- kebijakan yang overlapping selama ini. Penulis juga menyimpulkan, paket-paket kebijakan yang ada pun bukan sesuatu yang murni sebagai upaya deregulasi, tetapi lebih tepat adalah reregulasi, yang dimaknai sebagai upaya meregulasi ulang kebijakan yang kurang sesuai dengan perubahan lingkungan usaha, politik, dan hukum yang ada.

Kemudian upaya penghapusan kartel sebenarnya bisa dilakukan lebih cepat, mengingat kita sudah memiliki KPPU dan UU Antimonopoli yang seharusnya mampu memberantas kartelkartel selama ini. Mengapa KPPU tidak terlalu efektif bekerjanya, ini yang perlu dibangun komitmen bersama termasuk pihak kepolisian, kejaksaan dan kehakiman.

Dengan demikian, ”rumput-rumput liar” yang selama ini nyaris selalu mengganggu pertumbuhan ekonomi Indonesia dapat diberantas melalui kebijakan birokrasi yang efektif dan efisien.

PROF CANDRA FAJRI ANANDA PhD
Dekan dan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya Malang

PWI Malang Gelar Seminar Ekonomi 2016

$
0
0

Persatuan Wartawan Indonesia Perwakilan Malang Raya dalam rangkaian peringatan ke-70 Hari Pers Nasional (HPN) menggelar seminar ekonomi terkait gambaran perekonomian 2016 dengan menghadirkan para pakar ekonomi di wilayah itu.

“Tema ekonomi dipilih karena pada tahun ini ada momen bagus yang menjadi tantangan sekaligus peluang bagi kita, yakni diberlakukannya Masyarakat Ekonomi Asean (MEA),” kata Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Perwakilan Malang Raya Sugeng Irawan ketika memberikan sambutan pada acara seminar bertajuk “Outlook Economy 2016″ di Malang, Rabu.

Sebelumnya PWI juga menggelar berbagai kegiatan dalam rangka HPN tersebut, di antaranya ziarah ke makam sejumlah wartawan senior, pendidikan dan latihan jurnalistik bagi siswa sekolah. Rangkaian kegiatan ditutup dengan seminar ekonomi yang menghadirkan beberapa pemateri yang bergerak dibidang masing-masing.

Pemateri yang dihadirkan dalam seminar tesrebut adalah Kepala Perwakilan Bank Indonesia (BI) Malang Dudi Herawadi, Kepala Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Malang Indra Kresna dan pengamat ekonomi dari Universitas Brawijaya (UB) Malang Dias Satria.

Seminar tersebut, selain menghadirkan para ekonom, juga dihadiri oleh Wali Kota Malang Moch Anton, Wakil Wali Kota Malang Sutiaji, Danlanal Malang Kolonel Laut Rudy Sutanto, serta para pejabat dan pimpinan perbankan di wilayah Malang raya.

Selain itu, juga dihadiri Wakil Gubernur  Jatim Saifullah Yusuf yang sekaligus membuka acara dan pembicara kunci dalam seminar tersebut. Dalam paparannya Saifullah Yusuf yang akrab dipanggil Gus Ipul itu menyinggung soal perekonomian regional. “Kesenjangan sosial yang terjadi akibat inflasi merupakan pekerjaan rumah (PR) besar bangsa Indonesia,” ujarnya.

Tujuan seminar dengan menghadirkan berbagai elemen, termasuk pedagang dan kalangan perbankan itu agar masyarakat “melek” ekonomi, sehingga masyarakat tidak salah dalam mengambil kebijakan dalam menghadapi perekonomian yang berkembang

sumber : antarajatim.com

Seminar Ekonomi ‘Outlook Economy 2016’

$
0
0

Seminar Ekonomi bertemakan ‘Outlook Economy 2016’, merupakan rangkaian Peringatan Hari Pers Nasional (HPN) ke-70, yang diselenggarakan oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Malang Raya di Hotel Best Western OJ Malang, Rabu (24/2).

Tampil sebagai narasumber, diantaranya Kepala OJK Malang Indra Krisna, Kepala Kantor Perwakilan Kantor Bank Indonesia Malang Dudi Herawadi, dan Ekonom Universitas Brawijaya Dias Satria, SE., M.App.Ec., PhD.

Dihadiri pula oleh Wakil Gubernur Saifullah Yusuf, Walikota Malang HM Anton, Wakil Walikota Malang Sutiaji, Ketua PWI Malang Sugeng Irawan Hawari, Ketua PWI Jatim Munir, Forpimda Malang Raya, beberapa pengusaha dan jurnalis Malang Raya.

‘Kami mengucapkan terima kasih atas kehadiran para undangan. Ini menunjukkan hubungan keterikatan yang baik antara wartawan, narasumber dan masyarakat. Seminar ini merupakan rangkaian kegiatan peringatan Hari Press Nasional ke-70 di Malang Raya. Sebelumnya, kami mengadakan ziarah ke makam pendahulu rekan wartawan, santunan untuk keluarga wartawan yang ditinggalkan, dan pelatihan jurnalistik di kalangan wartawan,” jelas Sugeng Irawan, Ketua PWI Malang Raya.

Sementara itu Ketua PWI Jatim Munir, mengatakan PWI Malang cukup intens dalam kegiatan kajian akademik, sosial dan kemasyarakatan. Sebagai upaya untuk menIngkatkan profesionalisme wartawan, PWI wajib mendorong rekan-rekan wartawan dalam Uji Kompetensi Wartawan (UKW). Sehingga hal ini turut memberikan kontribusi kepada Forpimda, masyarakat, dan lainnya.

Dalam sambutannya, Wagub Jatim Saifullah Yusuf mengapresiasi kinerja wartawan profesional sesuai UU Pers nomor 40 tahun 1999.

“Wartawan mampu mendorong pejabat malas untuk bekerja dengan baik, sehingga sebagai kontrol sosial bagi pejabat. Berani memberitakan perjuangan buruh, meskipun kondisinya sendiri dibawah buruh. Berjuang dengan karya tulisan tanpa mengenal waktu dan lelah,” jelas Wagub dalam sambutannya.


Restorasi Ekonomi dan Kemandirian Indonesia

$
0
0

Ibarat sebuah buku, sejarah perekonomian Indonesia bagaikan cerita novel romantis yang penuh dengan drama dan “intrik-intrik” yang tidak selalu tampak indah di pelupuk mata.

Tensi ketegangan akibat gejolak perekonomian sempat mencapai klimaksnya saat terjadi krisis multidimensi pada 1997/1998, yang memaksa berakhirnya dominasi rezim Orde Baru. Pada bagian selanjutnya di era reformasi, kisah-kisah mengenai perekonomian Indonesia memasuki babak baru yang terkesan begitu membahagiakan. Fenomena mengenai perkembangan perekonomian ditandai dengan menguatnya faktor- faktor fundamental makroekonomi, seperti terjadinya penahapan pertumbuhan ekonomi, inflasi menjadi lebih terkendali, tingkat kemiskinan terus mampu ditekan, dan tingkat pendapatan yang terus bergerak meyakinkan.

Gambaran terbaru pada faktor-faktor fundamental makroekonomi yang cukup kuat pada beberapa indikator dapat disimak dari hasil pembangunan tahun 2015 sebagai berikut. Di tengah gejolak perekonomian global yang disebabkan banyaknya spekulasi mengenai suku bunga The Fed yang menyebabkan nilai dolar terus merangsek ke atas, Indonesia masih tetap mampu menikmati pertumbuhan ekonomi meskipun tidak sekencang pada tahun- tahun sebelumnya.

Hingga pengujung 2015, pertumbuhan ekonomi Indonesia selama setahun ke belakang mampu diperbaiki hingga mencapai agregat 4,79%. Dari segi pengendalian harga melalui indikator inflasi juga tetap terkontrol dengan capaian 3,35%, meskipun pada periode yang sama diwarnai fluktuasi pada harga BBM. Pada sisi neraca perdagangan ekspor-impor 2015, Indonesia akhirnya mampu melawan sejarah dengan meraih surplus perdagangan hingga USD7,52 miliar.

Padahal, tahun-tahun sebelumnya Indonesia dituntut untuk terus bersabar dengan pengalaman defisit perdagangan. Atas dasardasar tersebut, pemerintah era Presiden Joko Widodo tampaknya cukup lantang dalam menatap ranah pertarungan global yang semakin menjurus ke arah liberalisasi, termasuk dalam menghadapi ASEAN Economic Community (AEC) 2015. Namun dari sekian hasil yang cukup positif pada fundamental makroekonomi, masih terselip kekhawatiran dari sisi pemerataan kesejahteraan yang dapat menggerogoti kestabilan ekonomi nasional.

Hal ini direfleksikan berdasarkan rasio indeks gini yang masih konstan pada angka 0,41. Jika dilihat dari capaian indeks tersebut, tentu bukan hal yang menggembirakan karena catatan dari Bank Dunia jurang ketimpangan kesejahteraan di Indonesia kini semakin melebar, 15 tahun silam indeks gini kita masih berada pada poin 0,31.Laju ketimpangan kesejahteraan di Indonesia bahkan terekam yang paling cepat di antara negara-negara di kawasan Asia-Pasifik.

Jumlah penduduk miskin terdata ikut meningkat dalam setahun terakhir dari 27,73 juta orang menjadi 28,51 juta orang. Tingkat pengangguran terbuka (TPT) juga tidak berhasil ditekan karena terjadi kenaikan dari 5,94% pada 2014 menjadi 6,18% pada 2015.

*** Dari fenomena ini, patut dipertanyakan apakah hasil dari proses pembangunan mampu dinikmati seluruh kalangan masyarakat? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, dapat kita amati dari struktur distribusi pendapatan nasional dengan metode pendekatan yang disusun Bank Dunia (World Bank). Bank Dunia mengklasifikasi struktur distribusi pendapatan terbagi menjadi tiga golongan, yakni penduduk dengan pendapatan 40% ke bawah, 40% menengah, dan 20% ke atas.

Hasil indikator pemerataan pendapatan pada 2014 melalui publikasi Susenas BPS menunjukkan, penduduk dengan tingkat pendapatan 40% ke bawah menikmati 17,12% pendapatan nasional. Dengan porsi tersebut, jika kembali menggunakan parameter yang disusun oleh Bank Dunia memang dapat dikatakan bahwa ketimpangan pendapatan di Indonesia dikategorikan rendah karena menembus angka ≥ 17%.

Sisanya dibagi oleh penduduk kategori pendapatan menengah dengan porsi pendapatan sebesar 34,6% dan kategori pendapatan tinggi yang memperoleh porsi 48,27% dari total pendapatan. Dalam perkembangan berikutnya, akhir 2015 kemarin Bank Dunia kembali merilis berita yang terasa begitu menyesakkan dada. Mengapa demikian? Karena berdasarkan liputan tersebut, pada kenyataannya 1% orang kaya mampu menguasai 50,3% total kekayaan di Indonesia.

Berita ini tentu saja menggambarkan tingginya angka disparitas antarpenduduk yang ada di Indonesia. Bank Dunia sekaligus menjelaskan bagaimana sumber-sumber ketimpangan terus bergerak seperti gumpalan bola salju.

Sedikitnya ada empat penyebab dasar yang perlu ditanggulangi: Pertama, kesempatan akses hidup layak. Kedua, ketidaksetaraan mata pencarian. Ketiga, menggelembungnya kekayaan pada segelintir orang yang kemudian diwariskan pada generasi berikutnya. Keempat, kerentanan penduduk yang cukup tinggi terhadap gejolak ekonomi. (bersambung )

Candra Fajri Ananda
Dekan dan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya

Soal Kereta Cepat, Ekonom UB: Pembangunan Serampangan Bahaya Bagi APBN

$
0
0

Pembangunan infrastruktur secara serampangan dan tanpa kajian yang dilakukan oleh pemerintahan Jokowi-JK akan membahayakan keuangan negara. Seperti misalnya proyek pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung.

Jika proyek tersebut mengalami mangkrak atau terbengkalai akibat tidak melalui studi yang rinci, maka akan mengganggu belanja negara, terlebih proyek yang mangkrak menggunakan dana pinjaman, maka beban bunga utang akan semakin membesar.

“Hambatan waktu yang semakin molor bahkan penundaan proyek, maka utang tersebut semakin tidak produktif sehingga menjadi “berbahaya” bagi APBN dan rakyat Indonesia,” kata Ekonom Universitas Brawijaya, Candra Fajri Ananda kepada Aktual.com, Senin (29/2).

Lebih lanjut Candra melihat banyak Pembangunan infrastruktur yang dilakukan oleh Jokowi selama ini mengalami mangkrak.

“Ternyata banyak yang meleset perkiraan harga (masalah harga tanah, perijinan antar wilayah/koordinasi antar kabupaten), yang berdampak pembiayaan meningkat,” paparnya.

Untuk itu dia menyerukan agar masyarakat melakukan pengawasan tidak hanya pada sisi pendapatan pemerintah, namun tidak kalah penting, sisi belanja pemerintah perlu juga diawasi.

“Perlu diawasi belanja belanja yang overlapping antar Kementrian atau Lembaga. belanja yang jauh dari produktif perlu digeser,” pungkasnya.

Restorasi Ekonomi dan Kemandirian Indonesia 2

$
0
0

Pemerintah perlu urun rembug untuk mengatasi persoalan ketimpangan agar tidak semakin menjadi berlarut- larut. Keeksklusifan pada akses-akses ekonomi yang mendorong ketimpangan harus segera dipangkas perlahanlahan.

Hal itu untuk menghindari dampak negatif berupa perlambatan pertumbuhan ekonomi dan bisa berpotensi menimbulkan kegaduhan politik. Wacana yang perlu diperkuat adalah, bagaimana pemerintah mendorong restorasi dan kemandirian perekonomian Indonesia, agar tercapai pertumbuhan yang membuka ruang inklusivitas dan membagi porsi-porsi kesejahteraan yang lebih merata.

Pertama, Indonesia membutuhkan tambahan jumlah pengusaha terutama dari kalangan muda. Menurut Menteri Koperasi dan UKM AA Gde Ngurah Puspayoga, jumlah pengusaha di Indonesia pada tahun 2015 masih mencapai 1,65%. Dari total pengusaha tersebut, hanya sekitar 0,8-1,4% yang usianya relatif muda (di bawah 40 tahun). Jumlah pengusaha muda perlu ditingkatkan untuk menunjang persaingan antarnegara dalam era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).

Jika berkaca pada negaranegara maju, idealnya sebuah negara membutuhkan sedikitnya 2% wirausahawan dari total populasi penduduk, yang diharapkan mampu menggerakkan sektor-sektor potensial di negaranya. Indonesia masih cukup tertinggal jauh jika di-bandingkan dengan beberapa negara tetangga, seperti Singapura yang mencapai 7%, Malaysia 5%, dan Thailand 4%.

Perihal mengenai perlunya meningkatkan jumlah pengusaha muda, tidak lain agar daya saing industri kita juga terangkat berkat semangat khas anak muda yang menyukai gebrakan baru. Semangat ini yang diharapkan mampu memompa inovasi-inovasi di lingkungan industri, agar kinerja usaha mampu berkembang.

Seperti yang kita ketahui bersama bahwa daya saing Indonesia menurut data dari World Economic Forum (WEF) yang dirilis pada 2015, mengalami penurunan dari peringkat 34 menjadi peringkat 37 dunia. Yang penulis khawatirkan, penurunan ini bukan karena menurunnya kualitas Indonesia secara komprehensif, melainkan justru karena negara kita tidak mengimbangi percepatan daya saing dari negara lainnya sehingga daya saing Indonesia menjadi lemah. ***

Kedua, daya dukung sektor perbankan perlu di-setting ulang agar mendukung proyek pemerintah untuk pengembangan inklusivitas ekonomi melalui akses permodalan. Untuk saat ini, akses permodalan belum banyak mendukung geliat sektor-sektor potensial seperti usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) karena banyaknya usaha yang berada pada posisi feasible, tetapi tidak cukup bankable.

Padahal, kita juga menyadari bahwa UMKM dapat dikatakan menjadi salah satu tulang punggung perekonomian karena kontribusinya terhadap penyerapan tenaga kerja sudah mencapai 97,30% (Kementerian Koperasi dan UMKM, 2015). Ini artinya ketika pergerakan UMKM terus digairahkan (termasuk di dalamnya melalui peningkatan akses permodalan) diharapkan akan berimplikasi positif terhadap eksistensi usaha.

Dan tentunya, bermuara pada perbaikan tingkat produktivitas dan pendapatan tenaga kerja. Dorongan untuk pengembangan daya inklusif perbankan tidak cukup sebatas pada kategori skala sektoral saja, tetapi juga perlu memetakan bagaimana distribusi aspek permodalan berdasarkan wilayah atau regionalnya. Jika merunut pada data kredit UMKM per September 2015 (Bank Indonesia, 2016), dari total kredit UMKM yang berjumlah Rp35.644 miliar, 54,10% di antaranya ditampung oleh pelaku usaha di Jawa dan Bali.

Sedangkan 25,69% beredar di Sumatera, 8,24% berada di Sulawesi, 8,08% berputar di Kalimantan, dan sisanya baru dibagi kepada pelaku UMKM di wilayah Indonesia bagian timur. Kondisi ini yang kemudian cukup memberatkan upaya pengentasan ketimpangan karena dari titik kesempatan memperoleh akses terhadap permodalan pun, sudah tergambarkan jurang perbedaannya. ***

Ketiga, pemerintah dari struktur tertinggi hingga di tingkat daerah perlu terlibat aktif dalam mekanisme restorasi ekonomi dan kemandirian Indonesia. Sasaran ini akan terbentuk melalui sederet regulasi dan kebijakan yang berpihak pada pemerataan kesempatan berekonomi. Pemerintah dirasa perlu meningkatkan alokasi belanja publiknya pada pos-pos program/kegiatan yang memiliki multiplier effects yang cukup tinggi dan berkaitan dengan unsur fundamental makro ekonomi yang sedang melemah.

Seperti ketimpangan, kemiskinan, dan tingkat pengangguran terbuka (TPT). Pada posisi ini, pemerintah dapat menggunakan kekuatan fiskalnya untuk membantu pelaku UMKM menjadi titik simpulrestorasi. Mekanisme dorongan pemerintah perlu ditata ulang agar lebih terarah melalui beberapa landasan umum, yang secara normatif meliputi kebijakan yang bersifat protektif (terutama terhadap usaha yang mengusung kearifan lokal yang tinggi), sinkronisasi perencanaan antar lembaga pemerintahan, dan daya dukung lainnya yang bersifat insidental.

Terkait dengan kebijakan yang bersifat protektif, salah satu prasyaratnya adalah perlu penguatan daya saing. Sebenarnya untuk kondisi demikian kebijakan pemerintah yang bersifat fasilitatif lebih dibutuhkan ketimbang deregulasi. Deregulasi memang akan memudahkan kegiatan investasi, tetapi kebijakan tersebut tidak cukup untuk menjaga keberlanjutan usaha, terutama bagi sektor industri domestik yang rentan dengan persaingan.

Kegiatan fasilitatif akan lebih banyak berpengaruh terhadap kelangsungan usaha, bisa melalui penguatan kelembagaan, pelatihan teknis, perluasan akses pemasaran, atau subsidi kredit modal. Subsidi kredit modal usaha sudah pernah dicontohkan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur yang menganggarkan sebagian Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) untuk menanggung beban kredit modal usaha bagi pelaku UMKM.

Strategi ini dikerjakan melalui pembagian diskon beban bunga kredit UMKM, serta sinergi dengan beberapa badan usaha milik daerah (BUMD)—seperti Jamkrida, Bank Jatim, dan BPR daerah—untuk memberikan penjaminan dan menanggung bersama risiko kredit UMKM. Kebijakan ini melahirkan prestasi bagi Pemprov Jatim yang di awal 2016 meraih penghargaan sebagai Pelopor Inklusi Keuangan Pemerintah Daerah dari Pemerintah Pusat.

Berikutnya adalah upaya sinkronisasi perencanaan yang lebih baik untuk melahirkan pembagian peran dan kebijakan yang efektif dan efisien. Tujuan lainnya adalah agar penggunaan anggaran pembangunan juga semakin efisien. Peran dari Badan Perencana Pembangunan Nasional (Bappenas) akan sangat strategis untuk menghimpun dan mengoordinasi kementerian/lembaga pemerintahan.

Sebagai pedomannya, dalam posisi ini penulis sepakat bahwa undang-undang yang membahas perekonomian nasional (RUU Perekonomian Nasional) perlu dihidupkan sebagai dasar hukum kelembagaan. Harapannya agar wewenang antar instansi lebih jelas dan terarah serta menghindari tumpang tindih kebijakan, atau bahkan kemungkinan yang lebih buruk akan ada beberapa indikator yang justru tidak tertangani.

Substansi yang perlu diperjuangkan tetap berorientasi pada model peran fasilitatif dan protektif, sebagaimana yang tertulis pada bagian-bagian sebelumnya. Yang terakhir, peran pemerintah akan semakin lengkap jika mampu menginventarisasi kebijakan-kebijakan yang perlu diambil saat momen-momen insidental. Kunci dari peran ini adalah pemerintah perlu menjadi stabilizer.

Contohnya adalah kejadian di sepanjang 2015 yang penuh gejolak. Sebagai efeknya, kondisi psikologis baik bagi produsen (pelaku usaha) maupun konsumen menjadi begitu fluktuatif. Pemerintah dituntut untuk mampu menahan tensi darah kedua belah pihak tidak meningkat signifikan, agar stabilitas perekonomian tidak menjadi lebih buruk. Pemerintah memang sempat ”menyiksa” masyarakat melalui kenaikan harga BBM yang faktanya berbuntut panjang.

Akan tetapi dengan Paket Kebijakan Ekonomi Jilid I-IX dan disertai penurunan kembali harga BBM, pemerintah masih tetap mampu menjaga perkembangan ekonomi menjadi tidak lebih buruk. Bahkan, ekspektasi pasar terhadap perekonomian nasional tetap berlanjut positif. Ke depannya untuk menstabilkan kondisi ekonomi, poin yang perlu paling banyak diperhatikan adalah faktor harga, penyediaan lapangan kerja, sekaligus pengurangan pengangguran.

Ketiga sendi ini yang nantinya mudah-mudahan tidak terabaikan, agar pertumbuhan ekonomi yang terus digaungkan tidak meninggalkan aspek inklusivitas di dalamnya.

CANDRA FAJRI ANANDA
Dekan dan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya

VP abest21 in closing remarks

$
0
0

Innovation, collusion, commitment are the key of sustainable competitiveness.

CcyYzC3VAAATwit

Join program in master degree with Rikkyo University Tokyo

$
0
0

Join program in master degree with Rikkyo University Tokyo for all departments in FEB UB under Bappenas scholarship

CcyXEKNUUAMaxEN

Viewing all 811 articles
Browse latest View live