Quantcast
Channel: Berita – Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya
Viewing all 811 articles
Browse latest View live

Mahasiswa Riset Se-Malang Bersama-Sama Rumuskan Solusi dalam Menghadapi Revolusi Industri 4.0 di Malang

$
0
0

Malang – Minggu (13/5), telah berlangsung acara Student Conference di aula gedung D lantai 3 Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya. Dengan mengusung tema “Strategi Pembangunan Tenaga Kerja dan UMKM di Kota Malang dalam Menghadapi Era Disruptive Revolusi Industri 4.0 : Tinjauan Multiperspektif Keilmuan”, mahasiswa dari perwakilan lembaga riset se-Malang, mulai dari lembaga riset di Universitas Brawijaya, Universitas Negeri Malang, Politeknik Negeri Malang, STIE Malang Kucecwara, Universitas Islam Negeri Malang, dan Universitas Kanjuruhan bersama-sama merumuskan solusi untuk menghadapi Revolusi Industri 4.0 di Malang.

Student Conference merupakan acara yang diinisiasi oleh Lingkar Studi Mahasiswa Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya. Acara ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan berpikir kreatif dari mahasiswa untuk menemukan solusi dari permasalahan-permasalahan yang ada di Kota Malang. Selain itu acara ini juga bertujuan untuk menjalin silaturrahmi dengan lembaga riset se-Malang.

Sebelumnya, telah diadakan seminar pada Sabtu (12/5) yang menghadirkan 2 orang pemateri dari akademisi dan praktisi yaitu Angga Erlando, SE., M.Ec, Dev dan Vicky Arief H., S. Kom. Dalam pemaparannya, Angga menyarankan adanya peningkatan skill, integrasi antar semua sektor dan kolaborasi antara semua lini yaitu pemerintah, mahasiswa, akademisi, dan masyarakat.

“Mahasiswa dapat berperan dengan meningkatkan sumberdaya dan produktivitas litbang. Sehingga akan terjadi kesesuaian lulusan dengan apa yang dibutuhkan di dunia kerja. Serupa dengan yang disarankan oleh praktisi yaitu perlu adanya kolaborasi antara aktor-aktor ekonomi kreatif di Kota Malang ini”papar Angga Erlando, SE., M.Ec, Dev

Pada sesi Focus Group Discussion, peserta dibagi menjadi 3 stakeholder yaitu pemerintah, pebisnis dan asosiasi tenaga kerja dimana pada sesi ini peserta merumuskan strategi yang harus dilakukan untuk mengatasi masalah terkait revolusi industri 4.0 di Malang. Hasil FGD ini berupa 5 poin rekomendasi yang akan dibawa untuk didiskusikan kembali dalam General Discussion.

Dari hasil general discussion ada beberapa poin solusi yang dihasilkan. Pertama yaitu perlu adanya pembuatan regulasi mengenai bisnis online yaitu terkait dengan spesifikasi, kualifikasi, perijinan, sampai regulasi mengenai pajaknya. Kemudian, pemerintah perlu menetapkan kurikulum yang sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh dunia kerja. Saat ini di dunia kerja sudah jarang membutuhkan tenaga kerja kasar, semua pekerjaan manual sudah banyak dialihkan dengan teknologi dan mesin, untuk itulah pendidikan kita harus bisa menyesuaikan dengan apa yang dibutuhkan di dunia kerja. Pembentukan inkubator bisnis untuk menunjang para start up bisnis di Malang juga menjadi salah satu solusi yang bisa diambil oleh pemerintah.

Perlu diadakan juga sebuah kolaborasi antara pihak pemerintah, pebisnis dan asosiasi tenaga kerja untuk menyiapkan Kota Malang ini dalam menghadapi era disrupsi revolusi industri 4.0. Misal dengan pelatihan rutin kemampuan hardskill dan softskill tenaga kerja yang diinisiasi oleh Balai Tenaga Kerja yang bisa diikuti oleh angkatan kerja dengan menghadirkan pemateri dari tenaga-tenaga ahli maupun pihak UMKM. Selain itu, penting juga diadakan sosialisasi kepada pihak UMKM terkait dengan proses perijinan, fasilitas bisnis, pemasaran produk, bantuan modal dan juga mengenalkan adanya forum UMKM di Malang.

Pada akhir acara, diadakan penandatangan draft hasil diskusi oleh seluruh perwakilan lembaga yang hadir. Harapannya solusi yang telah dirumuskan mampu menjadi rekomendasi bagi para stakeholder terkait, terutama Pemerintah Kota Malang dalam mengambil suatu kebijakan.


Kepastian dan Kestabilan

$
0
0

INTEGRASI global yang semakin menguat membuat kebijakan di suatu negara semakin cepat berdampak elastis ke negara lain. Apalagi jika di antara negara-negara tersebut memiliki hubungan yang kuat secara kultural, ekonomi, dan geopolitik.

Dampak kenaikan tingkat suku bunga The Fed (Bank Sentral AS) misalnya, sudah membuat hampir seluruh kurs mata utang dunia (termasuk rupiah) mengalami depresiasi dengan berbagai skala perubahan. Padahal, perekonomian kita belum lama berjalan stabil setelah perekonomian global terlepas dari fluktuasi dan uncertainty. Beberapa sektor ekonomi utama (khususnya industri) ketar-ketir terhadap dampak depresiasi rupiah.

Meskipun menteri keuangan berimbuh depresiasi akan menguntungkan kebijakan ekspor karena harga produk kita yang disinyalir menjadi murah, proyeksinya belum tentu berjalan linier sebab sisi hulunya (untuk pengadaan bahan baku/penolong) masih bergantung pada suplai dari negara lain (impor). Jadi, pergerakan harganya bisa saja “impas” sehingga skenario ekspor bersaing karena harga jual yang lebih rendah bisa jadi akan urung tercapai.

Skenario lainnya bisa berjalan lebih buruk jika depresiasi dan harga impor mendorong inflasi menjadi kurang terkendali. Pihak produsen dan konsumen akan menjadi korbannya.

Jika modal yang dimiliki produsen tidak mumpuni untuk menghadapi inflasi, mereka bisa cenderung memilih menurunkan produksinya karena bahan baku yang didapat semakin terbatas. Konsumen pun perlu bersiap-siap terganggu daya belinya jika kondisi keuangannya juga pas-pasan sehingga kita seharusnya tidak bisa mengabaikan kondisi yang sedang terjadi.

Dinamika perubahan eksternal dalam waktu dekat bisa semakin bertambah seiring perubahan struktur politik pascapemilu di Malaysia. Gerbong oposisi yang digubah Mahathir Mohamad telah ditetapkan sebagai pemenang pemilu Malaysia.

Kabarnya kemenangan ini akan diwarnai reformasi besar-besaran atas kebijakan perdana menteri sebelumnya. Isu yang paling dijual selama masa kampanye, yakni janji untuk mengevaluasi pola investasi dari China seraya menjaga kepentingan ras Melayu atas perekonomian Malaysia.

Beberapa pengamat memprediksi kondisi di Malaysia tersebut akan segera menjalar ke Indonesia karena kondisi geopolitik kita yang relatif mirip. Saat ini pihak di luar pemerintah sedang getol berkampanye tentang nasionalisme dan bahaya pola investasi yang berkembang secara eksisting.

“Target” operasinya juga sama, yakni investasi dari China yang dianggap kurang mendukung perkembangan perekonomian nasional karena kurang melibatkan sumber daya lokal. Sama halnya dengan apa yang dikampanyekan Mahathir, kubu oposisi menuntut pemerintah agar mengevaluasi investasi dari China agar tidak menurunkan kedaulatan dan meningkatkan ketimpangan nasional dengan mengaryakan penduduk lokal, serta membawa modal dan teknologi ke Indonesia.

Jika tidak maka kita mungkin bisa senasib dengan Sri Lanka yang pada akhirnya menjadi penonton pembangunan. Atau bahkan lebih buruknya lagi bisa “menggadaikan” aset-aset nasional yang menjadi agunan pinjaman dari China.

Tanpa membahas isu mengenai investasi China pun, sedianya iklim politik kita dalam beberapa waktu ke depan akan otomatis berjalan panas, seiring kian dekatnya momentum pemilu baik di tingkat daerah maupun nasional. Kubu oposisi akan senantiasa menggali celah-celah kebijakan untuk menunjukkan kelemahan-kelemahan dari pemerintah eksisting, sekaligus meraup simpati dari masyarakat bahwa kandidat yang diusungnya merupakan figur yang lebih menjanjikan.

Selama masih dalam tataran kampanye yang sehat, di mana opini yang dibangun berlandaskan data yang valid dan bukanlah sesuatu yang hoax, maka hal tersebut masih sah-sah saja dilakukan. Kita harus bisa membedakan antara negative campaign (kampanye negatif) dan black campaign (kampanye hitam). Negative campaign adalah perluasan informasi mengenai “kesalahan-kesalahan” kebijakan yang diampu pemerintah, sedangkan black campaign adalah isu-isu yang sebenarnya tidak ada tetapi dipaksakan ada (fitnah).

Nah, 
pemerintah sendiri tidak boleh alergi dengan kritikan-kritikan dari oposisi, karena pada hakikatnya kubu oposisi adalah penyeimbang informasi sekaligus pengontrol kebijakan sehingga pemerintah diharapkan lebih berhati-hati dalam merumuskan cara-cara berpolitiknya. Dan sebaliknya, kubu oposisi pun harus mampu menahan egosentrisnya dengan tidak mengembuskan fitnah dan hoax kepada pemerintah.

Siapa pun dilarang menyebarkan hoax jika tidak ingin kena tulahnya (kesialan), karena seiring semakin terbukanya arus informasi, publik harus disuguhkan berita-berita yang jujur dan bergizi. Pasalnya, sistem informasi sedikit banyak akan memengaruhi stabilitas pembangunan dan investasi.

Para investor sedianya akan terus bergerak mencari lahan-lahan investasi yang “tanahnya” bebas dari sengketa dan carut-marut politik. Untuk itulah, penulis berharap para politisi kita dapat bekerja secara arif dan etis karena di setiap kebijakannya akan berdampak pada peluang kekuasaan dan kesejahteraan umum.

Menanti Kearifan
Terkait dengan perubahan lingkungan yang sangat cepat dan ketat, kita sangat menantikan jurus-jurus yang dikeluarkan pemerintah untuk dapat mengendalikan dampak kebijakan eksternal. Garis penghubungnya biasanya melalui transaksi perdagangan (ekspor-impor) dan tarik-ulur investasi asing, karena kedua aktivitas yang paling banyak membuat mata uang di suatu negara akan bergerak keluar-masuk dari negaranya. Nah, sekarang bagaimana sebaiknya kebijakan yang diambil pemerintah untuk mengendalikan dampak eksternal terhadap perekonomian nasional?

Pertama, hulu dari permasalahan mengapa kita amat terpengaruh dengan kondisi eksternal adalah karena kita yang sering kali “kebablasan” dalam bertransaksi dengan negara lain. Pintu transaksinya bisa melalui kebijakan perdagangan maupun investasi permodalan.

Dalam jangka menengah, mungkin keduanya masih sangat sulit kita hindari karena sumber daya kita masih sangat terbatas untuk dapat berdikari baik dari sisi produksi maupun investasi. Akan tetapi, dalam jangka panjang perlu dirumuskan berbagai solusi.

Mengenai kebergantungan transaksi perdagangan khususnya melalui skema impor, tidak ada pilihan lain bagi kita selain berjuang untuk dapat berswasembada. Kita perlu menginventarisasi produk-produk apa saja yang selama ini mengalami kebergantungan impor, misalnya terkait penyediaan bahan baku/penolong produksi maupun yang sifatnya untuk konsumsi langsung.

Meskipun berat, produk-produk yang semestinya dapat diproduksi sendiri mari kita kembangkan melalui pembangunan industri substitusi impor. Minimal kita perlu terus berupaya untuk mengurangi kebergantungan suplai dari luar negeri.

Sementara untuk produk yang memang tidak bisa kita kelola sendiri maka kita cari jalan keluar lainnya yang lebih minim dampak elastisitasnya. Misalnya untuk perdagangan dengan negara-negara ASEAN, kita tidak perlu menggunakan dolar AS sebagai media transaksi.

Cukup dengan mata uang negara masing-masing karena dolar AS sendiri sering kali menjadi sumber fluktuasi. Dan saat ini, pemerintah kabarnya sudah mulai berembuk dengan beberapa negara mitra untuk beralih dari transaksi melalui dolar AS menuju penggunaan mata uang masing-masing agar nilai tukarnya juga berangsur-angsur menguat.

Kedua, pemerintah dapat membangun kestabilan pembangunan melalui regulasi investasi yang memadai. Ketika peluang investasi terus tumbuh, harapan berikutnya adalah terciptanya sejumlah lapangan kerja baru, serta mendorong kenaikan tingkat konsumsi dan daya beli. Sedikitnya ada lima poin yang menjadi poin penting untuk menciptakan daya saing investasi, yakni easy, incentive, social behavior, trigger, dan innovation.

Poin easy menjelaskan mengenai pentingnya kemudahan birokrasi investasi. Kita perlu mengubah wajah birokrasi yang berbiaya ekonomi tinggi menjadi rumah yang ramah investasi.

Selain itu, juga perlu diubah image dari pemerintah yang sering kali gonta-ganti regulasi, karena perubahan regulasi belum tentu linier dengan dinamika pasar. Dalam kondisi tertentu, justru banyak perubahan menciptakan beragam ketidakpastian.

Poin berikutnya adalah sejumlah insentif yang membuat investor betah untuk menanamkan modalnya. Misalnya dengan memberikan skema pajak yang lugas untuk beberapa komponen investasi maupun menyediakan sistem informasi yang atraktif (efektif dan efisien).

Selanjutnya mengenai social behavior, berbicara mengenai pemilahan norma-norma sosial yang sering kali tidak mampu beriringan dengan iklim investasi, misalnya terkait produktivitas yang rendah karena kapasitas SDM yang terbatas. Keterbatasan ini bisa ditengarai karena tingkat pendidikan yang kurang mumpuni dan motivasi kerja yang kurang maksimal.

Menghadapi kondisi tersebut maka akan dibutuhkan trigger dari pemerintah yang sifatnya dinamis. Trigger harus diberikan pada saat yang tepat. Fokus trigger di sini adalah menunjukkan keberpihakan pemerintah untuk dapat melindungi dan memproteksi masyarakat (termasuk pebisnis) dari gangguan eksternal.

Dan terkait poin innovation, adalah berbicara mengenai efforts pemerintah menciptakan sistem ekonomi yang efektif dan efisien. Misalnya dengan memfasilitasi pengembangan industri dengan membangun pendidikan berbasis teknologi terkini.

Dan upaya ketiga, adalah mengajak serta masyarakat untuk semakin kuat mengontrol keperilakuan para pejabat (baik eksekutif maupun legislatif) agar kegiatannya bermuatan positif. Sudah bukan eranya lagi bagi para politisi untuk saling unjuk kebolehan, unjuk tampil ke permukaan, tanpa niat yang positif untuk kemajuan bangsa.

Tugas dari pemerintah itu sendiri perlu memberikan rasa aman, kestabilan, dan kepastian. Jika sistem politik kita terus diwarnai banyak sengketa, rasa-rasanya kita akan semakin kesulitan meningkatkan daya saing investasi.

Tugas-tugas dari pemerintah diejawantahkan dalam wujud stabilitas keamanan, politik, dan ekonomi. Biaya transaksi ekonomi kita sudah begitu mahal berkat sistem bunga perbankan yang masih tinggi, ditambahkan dengan perilaku partai dan hukum yang belum mampu memberikan rasa adil dan aman.

Dan, ini pula yang mungkin membedakan kita dengan Thailand, karena di sana meskipun sering kali terjadi kudeta politik, tampaknya investor lebih betah di sana karena faktor sosialnya yang lebih bersahabat dalam jangka panjang dengan ekspektasi profit.

Candra Fajri Ananda
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya

Eco Care 2018: Donor Darah, Salah Satu Kegiatan Pengabdian Masyarakat dari HMJIE

$
0
0

Malang – Pada hari Senin, 14 Mei 2018 telah diadakan Eco Care 2018 yang merupakan rangkaian kegiatan dari HMJIE FEB UB guna menumbuhkan jiwa kepedulian mahasiswa FEB UB akan lingkungan sekitar. Dari tiga rangkaian yang akan dilaksanakan, rangkaian pertama yaitu donor darah telah berhasil dilaksanakan di Basement FEB UB. Dalam melaksanakan kegiatan ini, HMJIE FEB UB bekerjasama dengan PMI Kota Malang yang akan membantu pelaksanan kegiatan donor darah tersebut.

Kegiatan ini juga dihadiri oleh Ketua Jurusan Ilmu Ekonomi yaitu Dr. Ghozali Maski, SE., MS yang memberikan kata sambutan untuk mengawali acara. “Kegiatan ini merupakan wadah bagi mahasiswa FEB UB untuk menyalurkan kepedulian pada masyarakat dimana darah yang disumbangkan diharapkan dapat bermanfaat bagi orang lain” ujar Pak Ghozali.

Pihak PMI Kota Malang juga mengungkapkan rasa terima kasih mereka pada HMJIE FEB UB karena dengan adanya kegiatan ini dapat membantu mereka memenuhi stok darah yang harus tersedia. “Untuk darah yang didonorkan ini hanya dapat bertahan 35 hari sehingga kegiatan donor darah seperti ini sangat membantu kami memenuhi target persediaan kami yaitu 2500 kantong sebelum Ramadhan” ungkap Pak Agus selaku perwakilan dari PMI Kota Malang. Tidak hanya dengan FEB UB, PMI Kota Malang juga bekerjasama dengan hampir semua fakultas yang ada di Universitas Brawijaya.

Selain donor darah, Eco Care 2018 juga memiliki dua rangkaian lagi yaitu kunjungan ke Panti Asuhan Al-Mustofa di Kabupaten Malang dan juga kunjungan ke salah satu desa di Kabupaten Malang. Kunjungan ke desa ini juga memiliki tiga rangkaian dimana yang pertama ialah meningkatkan jiwa kewirausahaan di masyarakat dengan memberikan penyuluhan mengenai cara membangun sebuah usaha dan juga melakukan pemasaran bagi usaha yang sudah ada. Kedua ialah dari aspek lingkungan yaitu dengan memberikan bantuan seperti bibit bagi para petani untuk bercocok tanam dan ditutup dengan pengobatan serta pemeriksaan gratis.

Rollab.com: Bioskop Alternatif Karya Mahasiswa FEB UB yang Menghidupkan Perfilman Indie Indonesia

$
0
0

Empat mahasiswa Universitas Brawijaya yang tergabung dalam tim Rollab.com menggagas sebuah bioskop alternatif yang bertujuan untuk menyampaikan informasi dan memajukan perfilman lokal. Rollab.com sebagai sebuah platform ekshibisi dan distribusi akan memutar film-film indie karya sineas muda Indonesia yang banyak membawa pesan moral positif dan belum banyak memperoleh perhatian. Film-film ini tentunya tak kalah apik dari film-film yang diputar di bioskop besar Indonesia, dimana pemutaran film-film ini nantinya memanfaatkan ruang publik seperti cafe-cafe yang sudah cukup menjamur di kota Malang dan dekat dengan masyarakat.

Rendahnya apresiasi terhadap karya sineas-sineas independen Indonesia, menjadi perhatian tim yang terdiri dari Zaneta Azzahra Izdihar (FEB), Fadrian Dwiki Maulanda (FEB), Rais Aulia Humam (FEB), dan Surya Daren Hafizh (FILKOM). Mereka kemudian membawa Rollab.com untuk turut serta dalam Program Kreativitas Mahasiswa bidang Kewirausahaan (PKM-K) Universitas Brawijaya. Zaneta selaku ketua dari tim Rollab.com menuturkan “Banyak cafe-cafe yang bisa dimanfaatkan untuk nampilin film-film indie yang Indonesia punya, jadi anak muda bisa manfaatin waktunya untuk nongkrong sambil nonton film-film indie yang sebenernya kualitasnya bagus banget dan ternyata dari Indonesia.”

Zaneta mengatakan bahwa ide Rollab.com ini sudah tercetus sejak lama, “Rollab.com ini memang sudah berjalan di Malang, namun memang belum cukup besar.” Diharapkan dengan hadirnya Rollab.com, film-film indie Indonesia akan lebih terangkat dan masyarakat juga lebih terfasilitasi untuk mendapat informasi tentang film-film Indie. Selain itu,  Zaneta berharap Rollab.com dapat kembali mengharumkan nama Universitas Brawijaya di PIMNAS. Untuk kedepannya, tim Rollab.com akan melakukan yang terbaik dan membuat lebih banyak kegiatan agar Rollab.com semakin eksis dan menyampaikan pesan-pesan positif kepada masyarakat melalui film-film yang diputar.

Tim FEB UB Raih Juara 2 dalam Ajang PSAk di Medan

$
0
0

Malang – Tim yang beranggotakan Fiki Putri Ayyunin (Akuntansi 2016), Afwa Aranza Windu Handika (Akuntansi 2015), dan Ahmad Faisal Siregar (Akuntansi 2017) telah berhasil raih juara 2 dalam ajang Pekan Semarak Akuntansi (PSAk) di Universitas Sumatera Utara, Medan. PSAk merupakan lomba karya tulis ilmiah tingkat nasional yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Akuntansi FEB USU.

Lomba yang diadakan selama 3 hari (3/5-5/5) itu terdiri dari beberapa rangkaian, mulai dari Technical  Meeting, Presentasi Karya Tulis, Konferensi, City Tour, dan Awarding Night. Tema yang diusung dalam kompetisi ini adalah “Penerapan IFRS berbasis Ekonomi Global di Lingkungan Bisnis Indonesia”

Fiki menceritakan, timnya berhasil melalui seleksi fullpaper dan maju ke tahap finalis (10 besar) dengan paper yang berjudul “Web-Based UMKM Exchange : Solution for the Advancement for Small Medium Enterprise (SME) in the IFRS Era”.

“Senang rasanya bisa lomba di Medan, apalagi ini pertama kalinya saya pergi ke luar pulau, ikut kompetisi seperti ini membuat saya bisa punya relasi baru, bisa tau dan mempelajari budaya lain, bisa jalan-jalan, dan bisa mengharumkan nama FEB UB tentunya”kata Fiki.

Kemenangan ini membuat nama FEB UB semakin dikenal di Indonesia. Tim berharap di lain kesempatan bisa berkompetisi lagi di luar pulau. “Next kompetisi kalau bisa di Kalimantan atau Sulawesi, karena saya ingin FEB UB semakin dikenal tidak hanya di Jawa, tapi juga di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan yang lainnya”kata Afwa.

MANG.ID: Bantu UMKM Memasarkan Produk dengan Aplikasi Berbasis Android

$
0
0

 

MANG.ID merupakan salah satu karya mahasiswa FEB UB yang turut diperlombakan di Program Kreativitas Mahasiswa (PKM)  bidang Penerapan Teknologi (PKM-T). Setelah lolos monitoring evaluation dan pendanaan, peserta PKM ini akan diperlombakan ke Jepang dan Korea pada bulan Agustus mendatang. Saat, ini MANG.ID yang dibimbing oleh Pak Sigit Pramono S.E M.Sc telah bekerjasama dengan pihak programmer untuk pembuatan aplikasinya agar segera dapat diunduh di playstore.

Banyaknya keluhan UMKM mengenai sulitnya melakukan promosi, mendasari tim yang terdiri dari Yamamo Satrio (FEB), Raditya Hidayat (FEB), Joshua Lagutan Manullang (FEB), Tobing Setyawan (FILKOM), dan Junior (FTP) ini untuk mendirikan MANG.ID. Dimana MANG.ID ini akan menjadi wadah promosi bagi UMKM yang membutuhkan media untuk memasarkan produknya. MANG.ID yang didesain dalam bentuk aplikasi diharapkan dapat memudahkan para UMKM karena tidak membutuhkan biaya yang besar dan dapat diakses hanya dengan jaringan internet.

“Harapannya kedepannya, semoga MANG.ID lolos hingga PIMNAS dan mendapat investor untuk mendanai pengimplementasian ide ini” ujar Satrio, salah satu anggota tim. Sebelumnya tim ini juga telah melakukan penginputan 100 database UMKM yang ada di Malang, dan akan dilanjutkan dengan pembuatan aplikasi oleh programmer, melakukan publikasi ke radio, dan diupload di playstore. Ide ini juga sejalan dengan program pemerintah yang saat ini sedang marak menumbuhkan jiwa-jiwa entrepreneur di masyarakat. Dengan adanya aplikasi ini diharapkan para entreprenur yang masih baru dapat terfasilitasi dengan baik.

Ramadan dan Pertumbuhan Ekonomi

$
0
0

Saat ini mayoritas penduduk di Indonesia yang berasal dari kalangan muslim tengah menikmati hiruk-pikuk tradisi budaya dan religi di bulan Ramadan. Bulan Ramadan dianggap sebagai bulan yang mulia dan penuh rahmat bagi manusia dan seisi alam.

Dari sisi ekonomi kita juga memiliki beberapa tradisi unik yang berkenaan dengan momentum Ramadan. Kendati Ramadan diidentikkan dengan proses pengendalian hawa nafsu duniawi, fenomena menariknya tingkat konsumsi masyarakat justru sering kali lebih tinggi jika dibandingkan dengan bulan-bulan lain.

Menjelang akhir Ramadan tren konsumsi biasanya akan terus bergerak mencapai klimaksnya seiring adanya tunjangan hari raya (THR) yang diterima hampir seluruh tenaga kerja. Belum lagi dengan aliran zakat/donasi sosial lainnya yang dalam durasi singkat akan mengerek daya beli kaum papa. Jadi selain berkaitan dengan hal-hal mikro seperti perubahan tingkat konsumsi, daya beli, dan berbagai ekspektasi lainnya, Ramadan biasanya juga diasumsikan berkorelasi positif terhadap perkembangan di tingkat makro ekonomi daerah/nasional.

Oleh karena itu pemerintah senantiasa optimistis pertumbuhan ekonomi kita akan meningkat tatkala faktor musiman seperti Ramadan dan Lebaran tengah berjalan. Faktor pendorongnya adalah belanja dari kelompok rumah tangga yang diprediksi meningkat signifikan.

Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GaPMMI) memprediksi penjualan makanan dan minuman selama Ramadan dan jelang Lebaran di tahun 2018 akan meningkat sekitar 20% bila dibandingkan dengan bulan sebelumnya (mtm).

Tahun lalu peningkatannya hanya terealisasi sekitar 5% karena tertekan bersamaan dengan momentum tahun ajaran baru sekolah. Adapun tahun ini dengan momentum Lebaran dan tahun ajaran pendidikan yang lebih berjarak membuat asumsinya berjalan lebih optimistis.

Keputusan untuk mengandalkan konsumsi rumah tangga sebagai tumpuan pertumbuhan bukanlah hal yang sepenuhnya keliru. Dalam lima tahun terakhir kontribusi konsumsi rumah tangga terhadap pembentukan produk domestik bruto (PDB) Indonesia hampir selalu di atas 55%. Terakhir pada kuartal I-2018 kontribusinya mencapai 56,80%.

Kendati demikian dalam prosesnya tetap perlu diwaspadai mengingat konsumsi merupakan variabel yang lebih banyak dipengaruhi (dependen) ketimbang memengaruhi (independen). Tingkat konsumsi yang meningkat atau progresif akan mendorong akselerasi pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan investasi dan produksi sektor penyedia konsumsi (khususnya pertanian, industri, dan perdagangan).

Namun di sisi yang lain konsumsi amat dipengaruhi faktor daya beli, yakni episentrum antara tingkat pendapatan dan inflasi. Ketika tingkat pendapatan diasumsikan konstan, sedangkan inflasi tengah menanjak, daya beli masyarakat akan terpangkas. Karena itu agar ekspektasi pertumbuhan ekonomi tetap terjaga selama Ramadan dan Lebaran, daya beli masyarakat harus tetap dirawat.

Pemerintah sendiri baru saja mengabarkan telah menyiapkan anggaran untuk THR dan gaji ke-13 bagi seluruh aparatur sipil negara (ASN). Tidak tanggung-tanggung, anggaran yang digelontorkan pemerintah untuk THR dan gaji ke-13 mencapai Rp35,7 triliun atau lebih tinggi 68,9% daripada tahun sebelumnya. Hal ini diputuskan untuk memberikan stimulus bagi kalangan PNS, TNI/Polri, pensiunan, dan honorer agar daya belinya meningkat pada masa Ramadan dan Lebaran, ditambah dengan momentum tahun ajaran baru pendidikan.

Momentum Transformasi
Melalui peristiwa Ramadan dan Lebaran yang terjadi sekali waktu dalam setahun, kita bisa melihat betapa hebatnya kekuatan konsumsi dan ekspektasi ekonomi di dalam negeri. Hanya saja peristiwa ini sulit berjalan panjang karena memang cenderung musiman.

Andaikata momentum ini bisa dipertahankan sepanjang tahun, mungkin tidak sulit bagi kita untuk berkhayal pertumbuhan ekonomi nasional akan selalu di atas 5–7% per tahun. Namun seperti yang tadi penulis katakan, tingkat konsumsi lebih banyak berperan sebagai faktor dependen dan sebagian lainnya ditempatkan sebagai ekonomi hilir. Ada hal-hal penting lain yang perlu diperhatikan sebagai hulu ekonomi, yakni fokus pada geliat daya beli masyarakat yang dibentuk oleh tingkat pendapatan dan inflasi.

Resep yang pertama ialah dengan menjaga daya saing investasi dan produksi. Keduanya biasa mendorong faktor pendapatan dan inflasi secara sekaligus. Adanya kenaikan investasi normalnya akan meningkatkan penyerapan tenaga kerja yang kemudian akan diikuti meningkatnya agregat pendapatan masyarakat.

Nah, untuk mendukung investasi itu sendiri perlu ada beberapa faktor yang diperhatikan, yang pada umumnya meliputi regulasi/birokrasi perizinan, kebijakan fiskal (skema pajak dan belanja pemerintah), ketersediaan bahan baku, kualitas SDM, daya dukung infrastruktur, akses dan kuantitas pasar, serta stabilitas sosial dan politik.

Prasyarat yang relatif sama juga dibutuhkan untuk meningkatkan daya saing produksi. Hanya sedikit perbedaannya, yaitu daya saing produksi lebih banyak menjurus pada persoalan efisiensi, tetapi kurang lebih memiliki arah yang sama pada sisi-sisi yang lain.

Jika satu atau beberapa faktor daya saing tersebut tidak dapat disentuh oleh investor/produsen, hal itu dapat mengurangi ekspektasi profit yang ditawarkan. Oleh karenanya setiap daerah/negara perlu berlomba-lomba meningkatkan daya saingnya agar semakin banyak pelaku ekonomi yang memutar uangnya di wilayah tersebut, baik dalam bentuk konsumsi maupun investasi.

Adapun keterkaitan antara investasi dan inflasi adalah pengaruh adanya ekspektasi bahwa ketika terjadi peningkatan produksi, hal itu akan berimbas positif terhadap pengendalian inflasi. Inflasi yang dimaksud adalah kategori demand pull inflation yang disebabkan adanya kelangkaan barang/jasa sehingga ketika suplai barang/jasa tersebut mampu memenuhi tingkat kebutuhan pasar, seharusnya tingkat inflasinya berada pada rentang yang rendah.

Resep transformasi yang kedua adalah mengedepankan kinerja sektor pertanian dan industri sebagai leading sector. Kecukupan pangan bisa memengaruhi tingkat kualitas dan produktivitas SDM. Hal ini juga bermuara pada level kesejahteraan yang akan diterima oleh tiap individu di dalamnya.

Alasan lainnya adalah kedua sektor menjadi lapangan kerja utama di Indonesia hingga saat ini. Sektor pertanian menyerap sekitar 29,68% tenaga kerja di Indonesia pada Agustus 2017, sedangkan sektor industri menopang sekitar 14,05% lainnya.

Sektor industri juga dapat berperan sebagai buffer stock, khususnya ketika sektor pertanian mengalami over-supply. Karena biasanya ketika terjadi panen raya dan terjadi penumpukan karena over-supply, harga produk pertanian langsung “pingsan” seketika.

Karena itu distribusi produk-produk pertanian perlu dijaga ekuilibirumnya. Pada saat produktivitas, faktor harga, dan tingkat pendapatan kedua sektor diperhatikan, suplai pangan dan hasil-hasil industri bisa jadi juga akan meningkat.

Dalam studi kasus Ramadan dan Lebaran, komoditas bahan makanan beserta industri makanan dan minuman biasanya yang paling atraktif terhadap perkembangan inflasi. Hal ini menjadi cukup wajar mengingat konsumsi makanan dan minuman (serta pakaian) relatif paling banyak meningkat pada masa ini.

Resep yang ketiga adalah mengendalikan daya beli dengan menjaga efisiensi pasar melalui pengembangan infrastruktur dan penguatan sistem distribusi (transportasi). Keduanya memegang peranan penting karena sering kali meningkatkan biaya transaksi.

Biaya transaksi itu sendiri merupakan biaya tambahan yang “harus” ditanggung oleh produsen/konsumen karena tidak efisiennya skema kelembagaan. Misalnya biaya yang timbul karena kemacetan, pungutan liar (pungli), atau rantai pemasaran yang harus melibatkan banyak pelaku.

Akibat tingginya biaya transaksi tersebut, tingkat inflasi kita terkadang sulit dikendalikan. Hal ini belum ditambahkan dengan inflasi yang dihasilkan dari adanya impor barang dan jasa (inflasi kiriman). Seperti yang sekarang ini terjadi, kurs rupiah yang melemah membuat harga produk-produk impor menjadi meningkat. Alhasil produksi/konsumsi yang menggunakan produk impor otomatis biayanya juga akan membengkak.

Nah jika ingin perekonomian kita lebih stabil lagi, daya tawar rupiah harus ditingkatkan. Misalnya dengan mengembangkan industri substitusi impor untuk mengurangi ketergantungan terhadap distribusi luar negeri serta meningkatkan kinerja ekspor yang nantinya berperan terhadap penguatan devisa.

Kinerja ekspor itu sendiri sedikit banyak juga dipengaruhi oleh kondisi infrastruktur karena biaya mobilitas barang/jasa akan diagregatkan dengan biaya-biaya lain sebagai komponen daya saing harga.

Resep transformasi yang keempat adalah berharap pada peran pemerintah dan BI-OJK untuk menjaga stabilitas perekonomian melalui kebijakan fiskal dan moneter. Peran ketiga lembaga tidak bisa kita kesampingkan karena memegang sumber daya kekuasaan dan keuangan negara.

Pemerintah berperan melalui alokasi kebijakan dan belanja publik. Dalam jangka panjang pemerintah bisa mendukung efisiensi dan produktivitas pasar melalui proyek-proyek pembangunan, baik proyek yang bersifat fisik (seperti infrastruktur) maupun nonfisik (pemberdayaan melalui pendidikan, kesehatan, keterampilan).

Dalam jangka pendek kebijakan pemerintah juga bisa berdampak langsung melalui proyek-proyek pembangunan yang menyerap banyak tenaga kerja. Adapun otoritas moneter yang dikomandoi BI dan OJK berpeluang meningkatkan efisiensi dan produktivitas pasar melalui kinerja sektor keuangan.

Pemerintah (khususnya pemerintah daerah) bersama BI dan OJK juga berperan besar dalam inflasi karena tergabung dalam Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID). Nah melalui TPID inilah ketiganya bisa memengaruhi tingkat keseimbangan supply-demand pasar, bisa melalui stimulus keuangan maupun fasilitas yang menjamin distribusi agar mampu berjalan secara efektif dan efisien. Misalnya BI dan OJK perlu mengawasi bunga kredit yang akan tergeser naik karena 7days Repo Rate (7DRR) yang dalam beberapa waktu yang lalu naik menjadi 4,50%.

Tujuan kenaikan 7DRR sendiri adalah agar para investor asing lebih lama menahan uangnya di Indonesia. Akan tetapi hal tersebut perlu segera diputar untuk membayar bunga investasi/deposito.

Nah, efeknya jangan sampai membuat skema bunga malah menambah beban para pelaku ekonomi sehingga produktivitasnya terhambat. OJK mengawasi khususnya kredit konsumsi, jangan sampai terlalu tinggi.

Adapun BI mengawasi sistem pembayaran, khususnya melalui sistem online yang akhir-akhir ini semakin marak. Jangan sampai problem complaint dari konsumen tidak terkendali agar sistem pembayaran tidak justru merugikan masyarakat. Karena nanti dinamikanya akan segera menyasar pada stabilitas pasar keuangan.

Dari fenomena selama bulan Ramadan ini saat seketika muncul banyak pelaku ekonomi, khususnya yang berskala mikro dan kecil yang terlibat dalam produksi barang dan jasa, kita tentu berharap pola ini bisa diadopsi agar tidak sekadar musiman. Seperti di lingkungan tempat tinggal penulis, banyak pelaku yang ikut menyemarakkan pasar-pasar konsumsi mengingat permintaan yang menggeliat selama Ramadan. Besar harapan dari penulis agar para pelaku yang sementara bersifat musiman ini bisa kita rawat agar dapat terus berproduksi.

Candra Fajri Ananda
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya

WISATA QURBAN 2018

$
0
0

Hari Idul Adha adalah merupakan puncak dari ibadah haji dimana dirayakan tidak hanya oleh umat muslim yang sedang menunaikan ibadah haji di tanah suci Makkah Al-Mukaromah, tetapi juga dirayakan dengan penuh suka cita oleh umat muslim di seluruh dunia. Hari raya ini disebut juga Hari Raya Qurban, di mana pada hari itu bagi setiap hamba-Nya yang mampu dianjurkan untuk menunaikan kewajibannya menyembelih hewan qurban. Peran pendidikan dalam mengembangkan potensi para pemuda dan pelajar khususnya mahasiswa untuk menjadi pribadi yang baik ketika terjun ke masyarakat sangatlah penting. Hal-hal tersebut tentunya perlu dukungan dan didikank ketika masih di sekolah. Namun sebagai bangsa yang beragama pula, keimanan siswa harus tetap terjaga seterusnya sehingga bisa menjadi pegangan hidup kelak nanti. Pendidikan dan dukungan dalam mewujudkan hal tersebut dapat dilaksanakan dengan kegiatan keagamaan dan sosial.

Forum Studi Islam dan Lingkungan FEB UB mempersembahkan kegiatan yang bernama Wisata Qurban yang merupakan kegiatan rutin setahun sekali untuk memeringati Idul Adha. Kegiatan Wisata Qurban ini diadakan pada hari Rabu, 21-22 Agustus 2018/ 9-10 Dzulhijjah 1439 H di Desa Pagak. Kegiatan Wisata Qurban ini bertujuan untuk melalui kegiatan penyembelihan hewan qurban yang bertujuan meningkatkan ketaqwaan dan keimanan kepada Allah SWT, serta menumbuhkan kepekaan sosial terhadap masyarakat sekitar, khususnya menjalin silahturahmi antara Mahasiswa dan dosen serta masyarakat lingkungan sekitar

Kegiatan wisata qurban ini meliputi bincang-bincang dengan warga sekitar, tausyiah dengan mengundang pemateri yang kompeten, sholat ied bersama warga, peningkatan rohani bagi panitia dan penyembelihan hewan kurban.

Rangkaian acara ini dibagi menjadi 2 hari, di mana hari pada tanggal 21 Agustus 2018 para panitia bersama-sama pergi menuju desa pagak sebelum hari

raya Idul Adha untuk melakukan takbiran bersama dengan warga sekitar dan mengadakan tausiyah untuk mengeratkan ukhwah islamiyah. Hari ke 2 dilanjutkan dengan shalat ied Idul Adha bersama warga dan melakukan pemotongan hewan qurban serta membagikannya kepada warga sekitar.


FESTIVAL EKONOMI ISLAM 2018

$
0
0

FEB UB memiliki program studi yang berfokus pada pengembangan ekonomi islam, pada kesempatan kali ini mengirimkan delegasinya dalam acara FESTIVAL EKONOMI ISLAM 2018 dengan tujuan menjalin silaturahmi antar lembaga yang juga berfokus pada ekonomi islam, mengikuti diskusi mengenai peran ekonomi dan keuangan syariah dalam sustainable development goals pada penerapan ekonomi islam, serta mengikut lomba sebagai ajang untuk mengukir prestasi. FEIS ini diadakan oleh Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI) Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang.

      Festival Ekonomi Islam 2018 ini mengangkat tema peran ekonomi dan keuangan syariah dalam sustainable development goals. FEIS ini akan diikuti oleh seluruh Mahasiswa yang ada disetiap Universitas se- Indonesia, FEIS dilaksanakan dengan beberapa kegiatan yaitu Olimpiade ekonomi islam, Call for Paper, Workshop PSAK Syariah, dan Panel diskusi.

     Kegiatan ini dilakukan pada tanggal 15 Mei 2018 di Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang. Kelompok Studi Ekonomi Islam dari Universitas Brawijaya khususnya Fakultas Ekonomi dan Bisnis turut ikut serta pada kegiatan ini, FEB UB mengirimkan sebanyak 3 delegasi lomba yaitu 1 tim Olimpiade. Harapannya delegasi FEB UB setelah mengikuti acara FEIS 2018 ini dapat berkontribusi lebih di masyarakat dalam pengembangan ekonomi islam khususnya pada industri halal dan dapat membawa nama harum FEB UB di ajang lomba yang diselenggarakan di FEIS 2018 ini.

Victory Come Through Harmony

$
0
0

Pemenuhan kebutuhan mahasiswa dalam kegiatan akademis maupun non akademis harus tercapai, agar para mahasiswa dapat menyalurkan minat dan bakat mereka, disamping itu juga dapat menjadi sarana hiburan yang menarik. Oleh karena itu dibentuklah suatu wadah yang dapat menyalurkan kemampuan non akademik mahasiswa  Jurusan Manajemen FEB UB.

Oleh karena itu Himpunan Mahasiswa Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya mengadakan kegiatan Management League 2018 yang bertema “Victory Come Through Harmony dengan harapan seluruh mahasiswa aktif Jurusan S1 Manajemen FEB UB dapat berpartisipasi dan menyalurkan bakat dalam bidang olahraganya sehingga akan menciptakan prestasi serta rasa solidaritas di Jurusan Manajemen FEB UB. Dan juga dapat  meningkatkan rasa kompetitif yang tinggi yang diharapkan muncul pribadi yang pantang menyerah dan sportif dalam menjalankan aturan permainan.

            Kegiatan ini diadakan selama tiga rangkaian yang dimana kegiatan Management League 1 yaitu FIFA tournament dilaksanakan pada tanggal 21 April 2018 bertempat di Rental Amuza serta diikuti oleh Mahasiswa S1 Aktif Jurusan Manajemen FEB UB angkatan 2015 – 2017. Kegiatan ini dimulai pukul 14.00 sampai selesai. Pada rangkaian ini, perlombaan berjalan dengan lancar. Pada perlombaan FIFA ini juara pertama dimenangkan oleh Andika Azra, pemenang kedua adalah Dea widya dan pemenang ketiga adalah Bangkit D.

            Management League rangkaian 2, yaitu perlombaan Futsal dan Badminton dilaksanakan pada tanggal 28 April 2018 bertempat di SM futsal dan GOR Tombro serta diikuti oleh tim dari Mahasiswa S1 Aktif Jurusan Manajemen FEB UB angkatan 2015 – 2017. Kegiatan ini dimulai pukul 07.00 – 14.00 untuk Futsal dan pembukaan dan 11.00 – 20.00 untuk Badminton. Kedua rangkaian tersebut berjalan dengan lancar, pada cabang olahraga badminton, perlombaan dimenangkan oleh tim Mabelas dan juara kedua adalah tim BBB.

Sedangkan untuk Management League 3 yaitu final perlombaan Futsal dan perlombaan basket diadakan pada tanggal 29 April 2018 yang bertempat di SM Futsal dan lapangan SMP Katolik Mardi Wiyata yang diikuti oleh tim dari Mahasiswa S1 Aktif Jurusan Manajemen FEB UB angkatan 2015 – 2017. Kegiatan ini dimulai pukul 09.00 – 14.00 untuk final perlombaan Futsal dan 09.00 – 17.00 untuk perlombaan Basket dan penutupan. Pada hari terakhir ini perlombaan berjalan dengan lancar, untuk futsal perlombaan dimenangkan oleh Maliga FC, juara kedua adalah Manajemen 14A, juara ketiga adalah Case N Fair dan untuk top score adalah Eko dari tim Manajemen 14A. Untuk perlombaan basket, perlombaan dimenangkan oleh tim Ancuk, dan pemenang kedua adalah tim BBB.

Implementasi Ilmu Akuntansi dalam Penulisan Skripsi

$
0
0

Sebagai wadah aktualisasi diri mahasiswa Akuntansi, Himpunan Mahasiswa Jurusan Akuntansi (HMJA) memiliki kepentingan dan keinginan untuk melatih dan meningkatkan kemampuan mahasiswa Akuntansi dalam bidang penulisan. Oleh karena itu HMJA sebagai sarana pengembangan keilmuan dan kecendikiawanan mahasiswa akuntansi, memfasilitasi seluruh mahasiswa akuntansi dalam acara Pelatihan Penulisan.

Pelatihan Penulisan adalah program kerja dari departemen penelitan dan pengembangan yang khusus membahas tentang kepenulisan di lingkup akuntansi. Adapun tema dari kegiatan ini adalah Implementasi Ilmu Akuntansi dalam Penulisan Skripsi”.

Pembahasan tema ini kami angkat karena kami melihat sulitnya bagi mahasiswa akuntansi yang akan menempuh skripsi dalam pengangkatan topic mengenai bidang akuntansi, selain itu juga bagi mahasiswa semester awal menjadi bekal yang kedepannya akan sangat membantu baik itu pengerjaan tugas perkuliahan ataupun yang lainnya.

Pada kegiatan ini kami menghadirkan dua pemateri yang berasal dari dosen FEB UB yaitu Bapak Aulia Fuad dan Ibu Erwin. Pada sesi pertama Bapak Aulia Fuad memaparkan beberapa metode dan problematika penulisan skripsi secara umum yang terjadi pada mahasiswa, pemyampaian materi yang menarik membuat mahasiswa sangat antusias dalam mendengarkan materi dari beliau. Lalu dilanjutkan dengan sesi kedua  yang disampaikan oleh Ibu Erwin yang memaparkan topik – topik yang saat ini sangat sering diangkat hingga topik – topik yang jarang diangkat dalam skripsi yang ada di lingkungan akuntansi. Dalam sesi dua ini, bentuk kegiatannya adalah diskusi interkatif. Jadi pemateri memberi kesempatan sebanyak – banyaknya kepada mahasiswa untuk mendiskusikan mengenai topik atau permasalahan yang sedang digandrungi di lingkungan akuntansi. Kegiatan ini diikuti oleh 76 mahasiswa yang berasal dari jurusan Akuntansi, yang mana seluruh  peserta mengikuti kegiatan ini dengan penuh semangat hingga sampai di akhir acaranya.

Acara ini telah dilaksanakan pada hari Senin, 14 Mei 2018 yang bertempat di Aula Gedung D Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya (FEB UB). Pelatihan penulisan 2018 kali ini berjalan sesuai rundown walaupun ada sedikit keterlambatan di awal acara, dalam sesi Tanya jawab pun peserta dapat mengisi kuota menanya yaitu 3 pertanyaan dan bahkan lebih dari 3 pertanyaan yang diajukan dalam setiap sesinya per materi.

Ready to Face The Real Work Force

$
0
0

Himpunan Mahasiswa Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis akan mengadakan kegiatan Company Visit 2018 ke Singapur pada Rabu, 19 September 2018 – Sabtu, 22 September 2018. Tujuan secara umum dari CV sendiri adalah untuk melihat dan memahami secara langsung bagaimana sistem manajemen suatu perusahaan dijalankan serta  menumbuhkan jiwa semangat dalam diri peserta untuk menggapai mimpi. Tema dari company visit tahun ini “Ready To Face The Real Work Force”.

Company Visit 2018 akan berkunjung ke perusahaan yang ada di Singapur. Perusahaan tersebut antara lain, HSBC, Carousel Studios, Grab office, Coca Cola, Unilever Asia. Selain berkunjung ke beberapa perusaahan, untuk mahasiswa/i yang mengikuti dapat mengunjungi tempat wisata khas daerah tersebut sebagai bentuk hiburan di antara waktu perkuliahan yang padat.

Harapan diadakannya Company Visit 2018 ini, mahasiswa dapat termotivasi untuk belajar lebih giat dan meraih kesuksesan kedepannya dan mengetahui secara nyata penerapan teori akademik pada suatu perusahaan. Dan dengan kegiatan Company Visit, diharapkan pemahaman mahasiswa terhadap mata kuliah yang bersangkutan semakin meningkat

Policy Mix

$
0
0

DALAM seminggu terakhir, dinamika perekonomian Indonesia masih berjalan cukup menantang, khususnya ihwal harga nilai tukar rupiah yang cenderung melemah. Minggu lalu ditutup pada harga yang relatif menjanjikan, yakni pada angka Rp13.887/USD.

Salah satu sebabnya adalah kebijakan bank sentral (Bank Indonesia/BI) yang menaikkan 7 days Repo Rate (7DRR) hingga dua kali dan kini menjadi 4,75%. BI memberikan alasan mengapa harus melakukan RDG (rapat dewan gubernur) hingga dua kali sebagai respons kebijakan bank sentral AS (The Fed) yang akan mengadakan semacam rapat dewan gubernur pada pertengahan bulan Juni.

Pada saat yang sama di pertengahan Juni nanti, bangsa Indonesia sebagian besar perhatiannya banyak dialokasikan pada acara sosial seperti mudik Lebaran dan halalbihalal yang bisa banyak menyita waktu. Karena itu BI memilih untuk curi start dengan menetapkan kenaikan 7DRR lebih awal ketimbang semuanya menjadi serbatelat diprediksi.

Alasan lain dengan menetapkan lebih awal, BI menganggap kebijakan meningkatkan suku bunga 7DRR adalah bersifat antisipatif (ahead the curve) menyongsong perubahan eksternal yang akan bisa terjadi. Tentu secara psikologis langkah ini bisa dinilai sangat baik, terutama karena akan memberikan ekspektasi yang positif bagi pasar dan memberikan keyakinan bahwa semua permasalahan masih berada dalam kontrol (in hand).

Setidaknya partisan pasar juga bisa bersiap lebih awal untuk menentukan kebijakan di lingkungan usahanya sembari menanti apa yang akan dilakukan The Fed pada pertengahan bulan ini.

Pertanyaan selanjutnya, apakah layak kita biarkan BI bekerja sendirian untuk menghadapi kurs rupiah yang terus bergolak ini? Tentu tidak demikian seharusnya.

Penulis mengamati bahwa secara keseluruhan, solusi atas permasalahan ini tidak cukup hanya dibebankan kepada pemangku kebijakan di sisi moneter. Pemerintah selaku otoritas kebijakan fiskal juga akan sangat berpengaruh dalam mendesain kebijakan yang saling sinergis. Bauran kebijakan yang saling mendorong ini yang kemudian dikenal dengan sebutan bauran kebijakan (policy mix).

Normatifnya, langkah BI yang sudah disusun lebih awal juga perlu diikuti kebijakan lainnya, terutama dari otoritas fiskal. Karena dampak dari perubahan kurs tidak hanya terbatas menyasar ke sektor keuangan saja, melainkan juga berimbas pada geliat di sektor riil.

Kita juga sama-sama tahu, di saat rupiah kita melemah sebenarnya pada sisi yang lain dapat menciptakan peluang bagi ekspor kita untuk terus digenjot. Hanya saja problemnya ternyata sebagian besar industri kita masih tergantung pada bahan baku (capital goods) dari luar negeri juga.

Sementara itu dengan kondisi rupiah seperti yang saat ini terjadi, harga-harga produk impor pun turut mengalami inflasi. Dan pada akhirnya situasi ini berdampak terhadap pembiayaan produksi yang semakin mahal hingga ujungnya produk ekspor kita urung memanfaatkan momentum ini dengan optimal.

Menanggapi hal tersebut, perlu dirancang beberapa kebijakan agar kontraksi yang sedang terjadi tidak semakin berlarut-larut. Titik fokusnya adalah bagaimana caranya agar nilai tukar rupiah tidak semakin terperosok dan membahayakan perekonomian dalam negeri.

Pertama, dengan berlakunya sistem kurs mengambang (floating systems), praktis nilai tukar mata uang suatu negara akan ditentukan oleh seberapa besar permintaan terhadap mata uang tersebut. Dengan begitu perlu upaya agar permintaan terhadap rupiah bisa semakin besar dan otomatis kurs rupiah juga akan semakin kuat.

Pintu gerbangnya bisa terbuka dari pasar modal (capital market) maupun pasar barang dan jasa (goods and services market). Nah, langkah selanjutnya bisa dimulai dari kedua pasar, bisa digerakkan secara parsial (terpisah), kausal (saling berpengaruh) maupun simultan (serentak).

BI sudah memulai menambah geliat pasar modal dengan menaikkan suku bunga 7DRR kemarin guna mendongkrak daya tarik pasar modal domestik. Langkah selanjutnya adalah mengamankan agar kinerja pasar modal tidak terhambat dengan menjaga sistem penyaluran dan pengelolaan modal hingga nantinya proyeksi keuntungan yang diterima pemodal.

Di sini peran sektor riil mulai bermunculan. Sektor riil berupa kegiatan konsumsi maupun produksi merupakan lini penting berikutnya sebagai pihak yang mengelola permodalan, baik berupa kredit maupun investasi secara langsung. Lantas untuk menjaga agar keberlangsungan sektor riil tidak terganggu dan menghambat pasar modal, perlu ada insentif dari pemangku kebijakan fiskal (pemerintah).

Kedua, denyut laju perkembangan sektor industri barang dan jasa perlu lebih dipercepat. Peranan sektor industri bisa sangat besar terhadap penguatan harga rupiah, terutama yang pada jenis-jenis industri berorientasi ekspor.

Dalam jangka panjang kita tidak bisa selalu mengandalkan kebijakan BI mengenai pengelolaan devisa mengingat kapasitasnya yang terbatas. Devisa hanyalah pengaman ekonomi dalam jangka pendek. Jangka panjang tergantung pada kinerja transaksi perdagangan, terutama melalui perdagangan barang dan jasa ke luar negeri (ekspor).

Oleh karena itu daya saing ekspor juga harus ditingkatkan. Selain melalui penguatan kualitas produk, ada baiknya kita juga memperhatikan tingkat efisiensi mulai dari tingkat mikro.

Selama ini struktur ekspor kita masih sangat didominasi komoditas mentah yang nilai tambahnya rendah. Industri pengolahan perlu lebih banyak dilibatkan agar nilai tambah transaksi kita juga dapat kian ditingkatkan. Akan tetapi kita juga mengalami banyak kendala dalam transaksi, mulai dari ongkos logistik yang cenderung masih mahal hingga hambatan kelembagaan yang muaranya turut meningkatkan biaya operasional.

Melihat prospek yang tengah berjalan, khususnya melalui geliat pembangunan infrastruktur dan deregulasi kebijakan besar-besaran yang telah dilakukan pemerintah, seharusnya hambatan-hambatan struktural sudah mulai teratasi satu-persatu. Akan tetapi sepertinya kondisi di lapangan belum mendekati ekspektasi. Oleh karena itu perlu ada tindak lanjut atau evaluasi mengapa kondisi perekonomian kita masih berjalan tertatih-tatih seperti yang saat ini sedang terjadi.

Ketiga, pemerintah perlu menyiapkan dukungan dengan memberikan paket insentif pada sektor riil, khususnya pada industri atau komoditas yang prospektif melalui skema pajak dan aturan/regulasi lainnya. Tanpa ekspor yang kuat, dalam jangka panjang kejadian seperti saat ini akan terus berulang dan menunjukkan betapa rentan (fragile) perekonomian nasional terhadap faktor eksternal.

Untuk industri yang memang memiliki pasar yang kuat (market appetite) seharusnya mendapatkan perlakuan yang khusus, terutama untuk tujuan mendorong ekspor. Selain itu akta-akta perjanjian perdagangan bilateral dan/atau multilateral juga perlu ditingkatkan. Tujuan dari perjanjian perdagangan adalah untuk menciptakan kepastian pasar sehingga pengelolaan dan standardisasinya bisa difokuskan agar sesuai dengan kebutuhan pasar (market captive).

Dalam kasus ekspor minyak sawit juga muncul kendala berupa “gempuran” internasional yang seakan-akan ingin menghambat ekspor sawit dari Indonesia. Padahal terlepas dengan berbagai kontroversi yang berkembang di dalam budi daya kelapa sawit, minyak sawit (crude palm oil/CPO) selama ini telah menjadi salah satu komoditas ekspor andalan kita. Sudah banyak devisa yang dihasilkan dari penjualan komoditas tersebut.

Menurut Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), mereka meminta agar pemerintah memperkuat perjanjian perdagangan dan penyamaan sertifikasi keberlanjutan komoditas minyak kelapa sawit dan turunannya. Langkah itu diperlukan untuk mengatasi hambatan ekspor komoditas kelapa sawit Indonesia di pasar dunia.

Selama ini perlakuan ekspor sawit mengalami banyak diskriminasi karena tidak banyak negara yang bisa menghasilkan CPO. Oleh karena itu munculnya pelarangan ekspor sawit juga perlu ditelusuri agar potensi ekspor kita tidak terabaikan.

Sedangkan insentif untuk kepentingan konsumsi, pemerintah dapat menyalurkan melalui paket diskon atau subsidi. Seperti contoh pada pemberian diskon untuk tarif jalan tol yang berkisar 10–40% merupakan langkah yang positif untuk menurunkan biaya transportasi publik.

Pemberian gaji ke-13 dan 14 juga termasuk insentif dari pemerintah untuk memperkuat daya beli, khususnya menghadapi masa Lebaran dan pergantian tahun ajar pendidikan.

Penulis yakin, semangat kebijakan ini adalah mendorong dan mempertahankan daya beli masyarakat. Langkah yang sama seharusnya juga diadopsi untuk industri yang memiliki potensi ekspor menuju pasar luar negeri. Mereka juga perlu diberi hak insentif fiskal yang targeted. 

Mengenai sampai kapan, berapa besar, hingga jenis-jenis insentif apa saja yang hendak diberlakukan ada baiknya untuk terus mengikuti dinamika pasar. Orientasi dari pemberian insentif adalah agar tingkat konsumsi dan produktivitas masyarakat tidak terhimpit oleh mekanisme pasar sehingga insentif fiskal menjadi daya dukung bagi pemerintah agar pasar domestik tetap stabil meskipun guncangan perekonomian eksternal terus mengalami pasang surut.

Dan keempat, bauran kebijakan ini memerlukan komando koordinasi yang kuat terutama melalui instansi yang memiliki tugas dan fungsi koordinasi. Misalnya Kementerian Koordinator Perekonomian yang menaungi beberapa kementerian teknis perlu terus berkoordinasi dengan BI dalam membuat kebijakan terobosan untuk menjadikan perekonomian nasional tangguh. Karena dalam beberapa hal, kedua otoritas bisa akan menemui titik-titik pertentangan atau kebijakan yang bisa bertolak-belakang.

Sebagai contoh terkait suku bunga kredit investasi/produksi. Sektor moneter tentu lebih menginginkan tingkat suku bunga yang angkanya cenderung tinggi. Karena “keuntungan” yang diterima nantinya juga bisa lebih besar.

Akan tetapi bagi pemerintah tingkat bunga yang tinggi justru bisa akan mematikan sektor riil. Karena bunga yang tinggi akan membebani para pelaku usaha. Dan pada akhirnya kinerja sektor kredit tidak lagi akan berjalan efisien bisa karena faktor kredit macet maupun penyerapan kredit yang tidak dapat optimal.

Candra Fajri Ananda
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya

Idul Fitri dan Continues Improvement

$
0
0

SAAT ini kita telah memasuki masa Syawal setelah melewati bulan Ramadan yang menakjubkan. Ramadan sebagai periode pendidikan jiwa (tazkiyatun nafs) secara harfiah diharapkan memberikan output kepribadian yang lebih baik, bersih, dan bersemangat untuk menghadapi segala medan kehidupan.

Nah, Syawal sendiri dalam bahasa Arab itu dimaknai sebagai naik (peningkatan), ringan, atau mengandung. Para pemuka agama Islam senantiasa berpesan bahwa semestinya program-program ibadah yang digiatkan selama Ramadan tidak berhenti seketika setelah Ramadan usai. Justru hikmah Ramadan harus dirawat demi peningkatan kemuliaan hidup manusia di dunia dan akhirat.

Momentum Idul Fitri yang diperingati sebagai hari raya umat Islam di awal Syawal, juga perlu ditandai sebagai hari perubahan yang membuat kita menjadi lebih baik dan suci. Perbaikan ini termasuk juga diharapkan mampu menyentuh aktivitas berekonomi agar kita dapat turut mendorong perekonomian nasional untuk bergerak lebih masif dan berkelanjutan.

Tugas kita untuk terus merawat perekonomian nasional kian berat karena pergerakannya hampir simultan melibatkan banyak pihak dan sektor-sektor yang semakin terhubung. Bahkan koneksitas tersebut dampaknya kini tidak terbatas hanya di satu negara.

Aktivitas perekonomian di suatu negara lambat laun mulai turut memengaruhi kinerja perekonomian di negara lain. Apalagi jika negara yang merintis sebuah kebijakan itu adalah negara yang tergolong menjadi kutub perekonomian dunia.

Pada saat umat Islam sedunia sedang merayakan Idul Fitri kemarin, Federal Reserve (The Fed) selaku Bank Sentral Amerika Serikat (AS) telah menaikkan suku bunganya secara terencana. The Fed menaikkan kisaran Fed Fund Rate (FFR) dari semula 1,75% menjadi 2%. Kenaikan ini menjadi yang kedua selama 2018.

Banyak pengamat ekonomi dunia yang meyakini The Fed akan kembali menaikkan FFR-nya hingga empat kali. Peningkatan ini langsung direspons dengan anjloknya beberapa mata uang dunia secara seketika, khususnya di negara-negara berkembang.

Dengan pamor ekonomi AS yang begitu menggiurkan, pasar modal dunia sangat mungkin akan bergejolak karena banyak investor yang bergerak mengejar yield lebih prospektif di AS.

Sepertinya langkah yang ditempuh The Fed ini ada kaitan dengan perang dagang dengan China yang kian meruncing. Bagaimanapun kemajuan ekonomi China yang berhasil menggoyang kedigdayaan AS dalam perdagangan internasional, di samping perang tarif impor yang terjadi di antara kedua negara, telah membuat Pemerintah Negeri Paman Sam gerah.

Kita sebagai negara open small economy tampaknya sulit menghindari pusaran dinamika perekonomian global. Apalagi kita masih banyak bergantung pada impor barang, jasa, dan modal dari pelaku ekonomi asing. Jadi, kita harus betul-betul jeli dalam menyikapi perkembangan terkini.

Di negeri kita sendiri rupiah terus mengalami depresiasi dan diperkirakan akan terus berlanjut jika kita tidak memiliki tameng kuat. Langkah Bank Indonesia (BI) dengan menaikkan suku bunga acuan 7 Days Repo Rate (7DRR) sebanyak dua kali sebelum The Fed mengubah FFR-nya yang kedua sempat melahirkan secercah harapan. Akan tetapi, ternyata hasil positif tersebut tidak berumur panjang.

Berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor), nilai kurs rupiah hingga 22 Juni 2018 berada pada Rp14.102 per USD. Angka itu menjelaskan posisi depresiasi rupiah sebesar 1,08% dibandingkan penghujung Mei 2018 (mtd).

Jika dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya dalam kurun waktu yang sama berdasarkan data dari situs exchange-rate.org, depresiasi kita masih tidak separah negara lainnya, seperti bath Thailand (-2,62%), dolar Singapura (-1,53%), dan peso Filipina (-1,31%). Hanya ringgit Malaysia yang depresiasinya lebih baik daripada kita dengan hanya mencapai -0,54%.

Menanggapi kejadian itu, kabarnya BI akan berupaya meredam gejolak depresiasi rupiah dengan kembali menerapkan kebijakan pre-emptive (antisipatif), front loading (lebih awal), dan ahead of the curve (lebih mendahului). Isu yang berkembang mengatakan BI akan kembali menaikkan suku bunga acuan 7DRR.

Akan tetapi, dalam pandangan penulis, ada baiknya BI menunda terlebih dahulu untuk menunggu respons dari sektor riil dan pemerintah atas kenaikan 7DRR sebelumnya. Oleh karena BI sudah bekerja dengan menaikkan suku bunga, tentu diperlukan sinergi dengan sektor riil dan pemerintah kebijakan moneternya agar hasilnya tidak parsial atau bahkan tumpang-tindih. Ihwal tersebut karena berkaitan dengan suku bunga kredit perbankan dan salah satu dampaknya akan menyasar ke kemampuan finansial di sektor riil.

Saat ini kinerja sektor kredit perbankan masih bergairah. Dalam laporan Analisis Uang Beredar, Bank Indonesia mengabarkan kredit yang disalurkan perbankan per April 2018 tumbuh 8,9% dibandingkan dengan periode sama pada 2017.

Pertumbuhan tahunan itu tercatat lebih tinggi dibandingkan dengan realisasi pada Maret 2018 sebesar 8,5% secara year on year (yoy). Faktor pendorongnya antara lain berkat peningkatan penyaluran kredit kepada debitur korporasi yang tumbuh 7,6%.

Pangsa pasar korporasi sendiri mencapai 48,6% dari total kredit. Segmen kredit perseorangan juga turut mendorong kenaikan dengan pertumbuhan 9,6% (yoy).

Berdasarkan jenis-jenis kredit, kredit untuk investasi tercatat mengalami pertumbuhan dengan meningkat dari 5,3% (yoy) pada Maret 2018 menjadi 7,5% (yoy) pada April 2018. Pertumbuhan kredit investasi terbesar ditopang sektor perdagangan, hotel dan restoran dari negatif 0,2% (yoy) menjadi 5,8% (yoy). Kenaikan ini tidak terlepas atas peningkatan aktivitas ekonomi pada sektor tersebut ketika akan memasuki bulan Ramadan.

Sementara penyaluran kredit modal kerja justru mengalami perlambatan dari 8,4% pada Maret 2018 menjadi 8,2% pada April 2018. Adapun kredit konsumsi juga tumbuh melambat dari 11,4% (yoy) menjadi 11,1% (yoy).

Kondisi ini perlu diperhatikan bagaimana nanti dampaknya seandainya 7DRR akan kembali ditingkatkan. Jika perbankan masih belum mampu meningkatkan efisiensi net interest margin-nya (NIM), maka kenaikan tingkat suku bunga justru akan kian membebani para debitur.

Selain perhatian terhadap kinerja sektor moneter, depresiasi rupiah juga perlu diperhatikan dampaknya terhadap kinerja sektor riil lainnya, khususnya berkaitan dengan neraca perdagangan. Secara teoretis memang depresiasi akan meningkatkan daya saing ekspor kita karena nilai jual barang dan jasa yang tampak lebih murah. Akan tetapi, perspektif tersebut bisa menjadi semu karena kita masih tergantung pada impor bahan baku dan barang penolong dari negara lain.

Ekspor Indonesia tahun 2017 sebenarnya sudah mengalami recovery yang sangat bagus dengan pulihnya harga-harga komoditi ekspor strategis. Namun sayangnya, dengan kebijakan AS yang sangat fundamental melalui peningkatan FFR mendorong negara-negara lain untuk turut “menyesuaikan” kebijakannya di sisi moneter dan fiskalnya.

BI sendiri sudah cukup baik dengan menahan arus modal keluar tidak berjalan deras karena hasil kebijakannya yang preventif dan ahead of the curve tadi menahan pasar untuk terjebak pada pola wait and see. Adapun penyesuaian fiskal saat ini ikut dibutuhkan justru tampak menjadi perjuangan paling berat yang harus dihadapi Indonesia.

Misalnya bagaimana sektor perpajakan yang seharusnya menjadi instrumen supportive agar tidak “membebani” khususnya terhadap sektor-sektor produktif dan memiliki nilai ekspor yang tinggi, termasuk kaitannya dengan peluang menciptakan lapangan kerja baru. Sementara itu, belanja-belanja infrastruktur sedianya tetap dijaga agar ongkos produksi dan transportasi bisa menjadi lebih rendah dibandingkan kondisi eksisting.

Pemberian insentif ekspor ini secara umum tidak hanya pajak, tetapi juga hal lain yang mendorong ekspor kita tinggi. Biaya transaksi yang sering kali muncul akibat sarana prasarana kurang memadai dan unsur birokrasi (regulasi) usaha yang menghambat perlu terus dikurangi.

Selama ini pemerintah daerah paling banyak dianggap sering menghalang-halangi melalui peraturan daerah (perda) yang sifatnya regulatif namun tidak facilitative. Ada trade-off kepentingan karena pemda terkadang menganggap retribusi daerah yang datang dari perizinan usaha merupakan komponen pendapatan yang harus “dijaga”.

Untuk itu, pemerintah pusat perlu fokus menyelesaikan persoalan tersebut, sembari memperhatikan jenis-jenis insentif dan sampai berapa lama “fasilitas” ekspor ini berlaku pada sektor-sektor tertentu yang prospek untuk menggenjot kinerja ekspor. Ekspor menjadi sangat penting untuk mengembalikan marwah rupiah agar negara kita tidak lagi dipandang sebelah mata.

Di luar itu, pemerintah perlu membangun perdagangan lebih mengikat (kerja sama) untuk menjamin (memberikan kepastian) pasar, termasuk menghindari gejolak pasar internasional yang sangat dinamis ini. Begitu pula transaksi utang (baik swasta maupun pemerintah) diharapkan menggunakan skema hedging (perlindungan) agar tidak terkena langsung dampak perubahan kurs yang terjadi.

Saat ini 90% transaksi dengan pihak luar negeri sudah melalui proses hedging. Hedging diharapkan memberikan rasa lebih aman bagi pengusaha dalam negeri agar tidak terkena imbas langsung mengenai perubahan kurs rupiah yang sering kali terjadi secara mendadak.

Memenangkan Diri
Di luar perspektif makro, kita juga membutuhkan adanya perubahan elementer, khususnya untuk masyarakat Indonesia. Misalnya, perlu diubah pola pikir masyarakat untuk lebih mencintai produk dalam negeri. Karena dengan angka impor yang kian melejit membuat nilai rupiah terus melemah sehingga beban ekonomi yang ditanggung bangsa ini semakin besar.

Hal utama saat ini adalah memunculkan sifat kebangsaan, mencintai produk dalam negeri, bahkan jika perlu pemerintah melakukan perlindungan pada industri-industri yang memang harus kita lindungi. Seperti misalnya industri makanan dan minuman yang jumlahnya berlimpah mulai dari skala rumah tangga hingga industri besar.

Semangat Idul Fitri yang masih begitu hangat perlu didorong agar menjadi semangat mengembalikan jati diri dan menjaga martabat bangsa Indonesia di bidang ekonomi. Meskipun terlihat berat, kita pasti bisa.

Namun, ada prasyarat mendasar agar masyarakat mau mencintai produk dalam negeri. Minimal kita bisa bersaing dari sisi harga, kualitas, dan kuantitas, yang mencukupi kebutuhan domestik.

Langkah pemerintah baru-baru ini menurunkan pajak penghasilan (PPh) final untuk UMKM menjadi 0,5% menjadi sebuah terobosan yang gemilang agar mereka tetap mampu berdaya. UMKM sendiri masih menjadi ujung tombak roda perekonomian dalam negeri karena mampu menyerap dan menyediakan sebagian besar lapangan kerja. Tinggal bagaimana caranya UMKM juga dapat lebih terlibat pada target pemerintah lainnya dalam menjaga progresivitas konsumsi dalam negeri dengan cara mempertahankan tingkat inflasi yang sesuai target.

Langkah selanjutnya perlu diperhatikan adalah kondisi sektor properti. Sektor properti perlu mendapatkan insentif, misalnya penurunan pajak dan kemudahan pembiayaan, dengan penyesuaian LTV (loan to value) agar pasar properti bergairah kembali.

Bagaimanapun dengan adanya pertumbuhan penduduk dan semakin terbatasnya ruang pembangunan, maka situasi pasar properti sepertinya akan semakin berjalan rumit sehingga membutuhkan keberpihakan dari pemerintah agar terhindar dari krisis dan konflik.

Candra Fajri Ananda
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya

MENYAMBUNG TALI SILATURAHMI DALAM HALAL BIHALAL KELUARGA BESAR FEB UB 2018

$
0
0

MALANG – Bulan Suci Ramadhan telah dilalui oleh umat Islam dengan penyertaan dan rahmat hidayah dari Allah SWT. Tidak terasa puasa yang dijalani oleh umat Islam selama 29 hari telah sampai pada momen yang membahagiakan, yaitu Hari Idul Fitri. Momen ini dikenal sebagai Hari Kemenangan, dimana umat Islam telah berhasil meredam segala nafsu duniawi dan akhirnya mendapatkan pahala dari Allah SWT sebagai balasannya.  Acap kali, momen Idul Fitri ini dimanfaatkan oleh umat untuk saling bermaaf-maafan dan menyambung kembali tali silaturahmi yang sempat terputus. Demikian juga dengan  apa yang dilakukan oleh Keluarga Besar FEB UB.

Pada hari Selasa (26/6),  dengan dilandasi oleh semangat Ramadhan, FEB UB menggelar acara “Halal Bihalal Keluarga Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya Tahun 2018 /1949 H”. Kegiatan ini bertempat di basement Gedung E dan lapangan atas FEB UB. Acara dimulai tepat pada pukul 9.00 WIB dengan registrasi oleh panitia dan  pembukaan oleh MC. Tidak lupa, kegiatan ini dihadiri oleh segenap dosen, tenaga kependidikan, purnatugas, pengurus lembaga mahasiswa, dharma wanita, ikatan alumni, dan mitra kerja dari FEB UB.

Dalam sambutannya, dekan FEB UB, Bapak Drs. Nurkholis, M.Bus.(Acc)., Ak., Ph.D. menyampaikan permohonan maafnya atas segala kesalahan yang telah dilakukan baik dengan sengaja maupun tidak sengaja dan mengajak segenap keluarga besar FEB UB untuk bersama-sama memperbaiki diri serta melangkah maju menatap masa depan gemilang bagi FEB UB.  Kemudian, Bapak Nurkholis, juga menyampaikan ucapan terima kasih bagi keluarga FEB UB yang telah memasuki masa purnatugas, yaitu Bapak Dr. Sasongko (Dosen), Ibu Ratna Eny Zuriah (tenaga kependidikan), dan Bapak Sahid (tenaga kependidikan).  “Terima kasih atas segala bakti dan karya yang telah bapak-ibu lakukan untuk FEB UB”, ungkapnya. Kemudian Bapak Nurkholis juga menyampaikan ucapan selamat bagi calon jamaah haji dari kontingen FEB UB yang akan melakukan ibadah haji pada tahun ini, yaitu Bapak Prof. Candra Fajri Ananda beserta keluarga, Bapak Dr. Susilo beserta keluarga, dan Ibu Dr. Sumiati beserta keluarga.

Acara kemudian dilanjutkan oleh Tausiah yang dibawakan oleh KH. Zain Baik. Beliau merupakan pendiri dan pengasuh dari pondok pesantren Az Zainy, Tumpang dan juga merupakan seorang alumni dari jurusan Akuntansi FEB UB. Dalam tausiahnya, beliau menyampaikan bahwa sebagai lembaga yang besar, kiranya FEB UB harus selalu ingat kepada Allah SWT dan tidak mengingkari segala perintah-Nya, serta harus selalu menjaga kerukunan yang telah terjalin diantara keluarga besar FEB UB. “Nggih menawa panjenengan mriki manut marang Gusti Allah, Insya Allah, Gusti Allah akan membukakan pintu rezeki bagi bapak-ibu sekalian”, ungkap Gus Zain.

Akhirnya, setelah tausiah, kegiatan pun dilanjutkan dengan saling bersalam-salaman antar keluarga besar FEB UB dan ramah tamah bersama.


Mengenal Manajemen Operasional dan Treasury Perbankan Dalam Menghadapi Dinamika Industri Perbankan

$
0
0

MALANG – Bank merupakan usaha jasa yang dilandaskan atas dasar kepercayaan. Maka dari itu bisnis perbankan tidak pernah terlepas dari berbagai macam resiko yang menyertainya. Salah satu resiko terbesar dalam sektor perbankan ialah resiko operasional. Guna meningkatkan kesadaran mahasiswa dalam mengenali resiko yang ada pada dunia perbankan, FEB UB menyelenggarakan kuliah tamu yang berjudul “Mengenal Manajemen Operasional Dan Treasury Perbankan Dalam Menghadapi Dinamika Industri Perbankan”. Seminar ini diselenggarakan pada Aula Gedung F lantai 7 FEB UB pada tanggal 18 April 2018.  Kuliah Tamu ini mengundang Bapak Abdul Salam Chaslan dari Faculty External Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia dan Ibu Arni Astanti dari AVP Bank Mandiri.

Pada sesi pertama, Bapak Abdul Salam memaparkan tentang manajemen operasi pada dunia perbankan secara umum. Beliau menjelaskan mulai dari definisi bank umum, dasar hukum bank dalam menjalankan operasinya, produk-produk bank, dasar pemberian kredit, peranan bank syariah dan BPR dalam perekonomian Indonesia, sampai pada penilaian tingkat kesehatan bank. “Dunia perbankan memang sangat kompleks dan luas adik-adik, karena bank sudah menjadi salah satu bagian fundamental dan tidak terpisahkan dari perekonomian suatu negara. Karena itu, segala aturan yang dibuat oleh pemerintah bukanlah untuk mempersulit ruang gerak dari bank,melainkan untuk melindungi masyarakat dari tindak kejahatan perbankan”, ujar Pak Salam pada akhir materi.

Tidak jauh berbeda dari materi yang diberikan oleh Pak Salam pada sesi pertama, sesi kedua dibawakan oleh Ibu Arni Astanti yang menjelaskan tentang pentingnya manajemen treasury dalam pengelolaan bank. “Jadi sebelumnya apakah ada dari teman-teman diruangan ini yang sudah mengetahui manajemen treasury  sebelumnya?”, tanya Bu Arni kepada para peserta sebelum memulai materi. Manajemen treasury dapat diartikan sebagai proses untuk mengelola likuiditas suatu bank. Apabila bank telah menerima sejumlah besar kas yang didapatnya dari aktivitas operasi, maka selanjutnya manajemen treasury akan mengoptimalkan penggunaan kas tersebut sehingga nantinya dapat menghasilkan laba/keuntungan bagi bank. Ruang lingkup manajemen treasury tidak hanya terbatas pada pengelolaan arus kas saja, tetapi juga mengelola aset-liabilitas dari bank, meminimalisir resiko, merencanakan investasi bank, dan lain sebagainya. “Maka dari itu manajemen treasury dapat diibaratkan seperti urat nadi dari suatu bank. Karena treasury memegang keberlangsungan dari operasional bank tersebut”, imbuhnya. Selanjutnya, Bu Arni pun juga mengenalkan kepada mahasiswa tentang tugas dan tanggungjawab CFO sebagai pengelola treasury, bentuk kegiatan treasury, regulasi, perbedaan antara treasury Bank Konvensional serta Bank Syariah, dan produk-produk dari manajemen treasury itu sendiri.

JIE Talks : How to Get a Scholarship in United Kingdom

$
0
0

MALANG – Dewasa ini ada banyak sekali pilihan yang dapat diambil oleh seorang lulusan strata satu setelah ia menyelesaikan pendidikan jenjang sarjananya. Ada yang memutuskan untuk berkarir dengan bekerja di perusahaan, ada yang memilih untuk mengabdikan diri kepada negara dengan bekerja pada sektor publik, ada yang memilih untuk mengembangkan bisnis yang telah digelutinya semenjak masa kuliah, dan tentunya ada juga yang memilih untuk melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi guna mendapatkan ilmu yang lebih komprehensif. Semua itu merupakan pilihan yang dapat dijalani oleh mahasiswa tersebut. Akan tetapi, sebelum memutuskan untuk menempuh pendidikan pada jejang magister, mahasiswa akan berhadapan dengan dua pertanyaan utama yang harus dijawabnya. Pertama-tama, dimanakah ia akan melanjutkan studinya tersebut, apakah akan menempuh pendidikan pada perguruan tinggi dalam negeri ataupun perguruan tinggi luar negeri. Kedua, bagaimana ia akan membiayai pendidikan magisternya, apakah akan menggunakan dana pribadi (self funded) ataukah akan mengambil beasiswa (scholarship).

Dalam JIE Talks yang dilaksanakan pada 2 Mei yang lalu, International Undergraduate Program atau IUP FEB UB kembali menghadirkan dua orang narasumber yang telah menyelesaikan pendidikan magisternya di negara Inggris Raya. Kedua orang tersebut ialah Ibu Riyandi Saras Anggita, SE., MSc dan Ibu Arum Prasasti, SE., Msc. Untuk Ibu Saras, beliau merupakan seorang lulusan dari University of Nottingham dan seorang awardee Chevening Scholarship batch 16/17. Sedangkan Ibu Arum, beliau merupakan seorang lulusan dari University of Leicester dan juga awardee dari beasiswa LPDP batch 15/16. Yang membanggakan dari dua orang narasumber tersebut ialah, Ibu Saras merupakan seorang alumni dari FEB UB, tepatnya dari jurusan Ilmu Ekonomi, yang mengambil studi Master pada bidang ekonometrika, sedangkan Ibu Arum juga merupakan alumni dari jurusan Manajemen. Kegiatan ini dilaksanakan pada Aula Gedung F lantai 7 FEB UB.

Pada sesi yang pertama, Ibu Saras menjelaskan tentang bagaimana ia bisa mendapatkan beasiswa Chevening dari pemerintah Inggris. Menurut beliau, seorang applicants yang layak untuk lolos dalam seleksi Chevening ialah seorang yang mempunyai kompetensi diri dan mempunyai keinginan yang kuat untuk berkontribusi bagi Indonesia. “Sangat jelas, bahwa mereka akan memberi penilaian lebih terhadap kandidat yang bisa menunjukkan potensi dirinya dan seberapa besar kecintaannya terhadap Indonesia sendiri”, ungkap Ibu Saras. Selain itu Ibu Saras juga menekankan terhadap pengalaman leadership yang dimiliki oleh calon mahasiswa. “Alasannya ialah, dengan memiliki pengalaman kepemimpinan yang mumpuni, maka disitu kita akan terlihat bahwa kita bisa memanajemen diri dengan baik. Selain itu, awardee pun diharapkan dapat menjadi jembatan penghubung bagi hubungan baik Indonesia dan negara Inggris Raya”, pungkasnya.

Selain itu, senada dengan Ibu Saras, Ibu Arum pun berbagai pengalamannya tentang beasiswa LPDP yang telah didapatkannya pada tahun 2015. Menurut beliau, seorang awardee LPDP harulah mempunyai karakter baik yang kuat. “Salah satu fokus utama dari LPDP ialah character building dari calon awardee-nya. Karena character building tersebut akan mengajarkan mahasiswa untuk bisa survive di negeri orang”, ujar Bu Arum. Selanjutnya beliau juga menjelaskan mengenai kriteria kandidat yang dicari oleh LPDP, IPK minimal 3 menjadi syarat mutlak yang harus dipenuhi oleh calon awardee. Selanjutnya, LPDP juga sangat ketat terhadap persyaratan bahasa asing. Toefl IBT atau IELTS Test dengan minimal skor 6.5. Kemudian, kandidat haruslah seorang yang aktif dalam berorganisasi. “Tidak apa-apa apabila kamu hanya tergabung dalam sedikit organisasi, tetapi asalkan kamu bisa fokus dalam organisasi tersebut, dan jiwa leadership-nya muncul”, pungkas Ibu Arum. Serta yang paling penting ialah kontribusi yang akan diberikan oleh kandidat sepulangnya dari menempuh pendidikan. “ Nanti kamu akan ditanya, kalau nanti kamu pulang, kamu mau ngapain buat Indonesia? Hal ini harus jelas dipikirikan oleh kandidat sebelum ia diterima oleh LPDP”, ujar Ibu Arum.

Jepitan Moneter dan Fiskal

$
0
0

Berita mengejutkan muncul dari Bank Indonesia (BI) yang di luar dugaan meningkatkan tingkat suku bunga acuan BI 7-Days Reverse Repo Rate hingga 50 basis points (bps) menuju menjadi 5,25%.

Kenaikan ini keluar dari “norma-norma” sebelumnya yang biasanya hanya naik-turun sekitar 25 bps. Kebijakan yang dilakukan BI sedikit mengindikasikan apakah ini semua karena pelemahan kurs rupiah yang kian mengkhawatirkan? Selama Juni kemarin rupiah relatif stabil untuk terus mengalami depresiasi. Penguatan-penguatan kecil yang terjadi sudah tertindih dengan lebih besarnya level depresiasi.

Pada penutupan Jumat (29/6) lalu, kurs rupiah menurut Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) sudah menyentuh angka Rp14.404 per USD. Mata uang kita kian mendekati batas psikologis kurs rupiah yang umumnya diasumsikan pada kisaran Rp15.000 per USD.

Jurus BI untuk menaikkan suku bunga acuan sampai 3 kali diharapkan mampu menekan gejolak nilai tukar yang mayoritas disebabkan kebijakan ekonomi Amerika Serikat (AS). Kendati Gubernur BI mengaku bahwa kenaikan suku bunga acuan ini untuk mengundang agar pemodal asing berbondong-bondong datang ke Indonesia, hasilnya kok masih seperti ini-ini saja? Awalnya memang sempat terlihat ampuh khususnya pada medio Maret-April yang lalu dimana kurs rupiah tampak cukup stabil.

Akan tetapi kesuksesan itu tidak bertahan lama karena gejolak perekonomian global terus digiring untuk turut menanggung akibat adanya perang dagang antara AS dan China. Belum lagi ditambah dengan perang psikologis para pemodal dunia akibat The Fed (selaku Bank Sentral AS) menaikkan Fed Fund Rate (FFR) secara atrak tif.

Dengan kenaikan FFR yang baru dua kali saja kita sudah tampak ngos-ngosan. Apalagi jika rumor seputar FFR yang kabarnya akan meningkat 2 kali lagi selama 2018 (sehingga total menjadi 4 kali) nantinya betul-betul akan terjadi? Fenomena yang ada memang menjangkiti hampir semua negra di dunia.

Adapun di antara negara ASEAN saat ini, tampaknya penurunan/depresiasi rupiah menjadi yang paling parah bila dibandingkan negara-negara tetangga kita. Berdasarkan data kurs rupiah dari situs exchange-rates.org, dapat kita lihat bahwa rupiah dalam sepekan terakhir terus tertekan dengan mengalami depresiasi sebesar 1,49%.

Level depresiasi ini tercatat sebagai yang paling mendalam bila dibandingkan angka yang menimpa ringgit, bath, dolar Singapura, dan peso Filipina. Ringgit Malaysia hanya terdepresiasi sebesar 0,75%. Bath Thailand juga mampu menahan depresiasi hingga hanya 0,35%.

Dolar Singapura sedikit di bawahnya dengan depresiasi 0,22%. Sementara itu peso Filipina menjadi mata uang yang cukup tangguh karena hanya mengalami de pre siasi 0,14%. Situasi yang ada sudah terbilang cukup berat dan akan terus menekan stabilitas perekonomian kita. Tentu hal ini tidak bisa hanya dibebankan kepada BI sendirian untuk segera mengatasi segala tantangan. Karena juga ada sektor-sektor lain yang sudah seharusnya turut menjadi penawar nilai tukar rupiah yang sedang terus melemah. Pemerintah sendiri posisinya juga terjepit karena bisa jadi target pendapatan negara bisa terganggu dengan adanya depresiasi rupiah.

Penulis berdiri di tengah-tengah barisan yang sependapat bahwa penguatan rupiah adalah pekerjaan multisektoral sehingga perlu upaya sinergis antarpemangku kebijakan yang bersifat simultan dan komprehensif, khususnya dari sisi moneter dan fiskal.

Pasca-kenaikan suku bunga acuan oleh BI, sektor perbankan dan pasar modal mungkin menjadi pihak yang paling sensitif dengan di namika tingkat suku bunga acuan. Pasalnya kebijakan perbankan khususnya yang terkait dengan suku bunga deposito dan kredit akan berpegang erat pada nomenklatur kebijakan BI.

Sama halnya dengan prediksi di pasar modal, para investor mung kin akan memilih untuk wait and see. Karena pada dasarnya modal yang ditanamkan tidak seketika segera berbuah. Ada proses “produksi” sehingga nantinya baru dapat dilihat hasilnya. Nah manakala proses produksinya tidak berjalan dengan baik, jangan terlalu berharap para investor akan dengan mudah terpancing dengan kenaikan suku bunga acuan. Kita harus tetap mempertimbangkan expected returns yang dapat diterima setiap kucuran modal sehingga perekonomian kita berjalan interaktif dan tidak saling mengorbankan kepentingan pihak satu dengan pihak yang lain.

Langkah selanjutnya, BI harus mengawasi bagaimana dampak kenaikan suku bunga acuan terhadap eksistensi kredit perbankan. Alasannya karena kredit perbankan merupakan pasar yang menjembatani supply dan demand pasar modal (kredit). Kalau suplainya terus meningkat sedangkan demandnya sedang stagnan atau malah kontraktif, investor pasar modal akan harap-harap cemas dengan ambisi return-nya. Kita perlu mewaspadai gejala dari kalangan perbankan yang bisa jadi akan menyesuaikan suku bunga kreditnya.

Seandainya kondisi ini sulit dihindari, tekanan akan merambah pelaku usaha yang selama ini bergantung pada kredit perbankan. Ekspansi usaha yang diidamidamkan akan trade-off karena beban bunga kredit yang ditanggungnya turut meningkat. Pukulan akan bertambah lagi jika ketidakpastian pasar berjalan dalam waktu yang relatif lebih panjang. Nanti korban berikutnya akan terus mengular, khususnya terkait dengan ekspektasi emiten dan pertumbuhan ekonomi yang mungkin menjadi sulit mencapai target. Prediksi ini bukan berarti penulis hendak menakuti-nakuti.

Tujuannya justru hendak mengingatkan untuk harus tetap waspada dengan masa de pan perekonomian agar tidak semakin runyam. Lantas untuk menjaga agar pasar tetap menggeliat, perlu ada bauran kebijakan antara BI dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) selaku otoritas moneter beserta pemerin tah selaku otoritas fiskal untuk mendorong agresivitas pasar di sektor riil. Bersamaan dengan pengumuman kenaikan suku bunga acuan kemarin, BI juga mengumumkan adanya kelong garan ke bi jak an loan to value (LTV) dan financing to value (FTV) untuk kredit properti.

BI merelaksasi LTV kredit pe ru mahan(KPR) dengan membebaskan uang muka (down payment/DP) yang sebelumnya disyaratkan sebesar 10%. Untuk kepemilikan rumah kedua dan seterusnya juga dilonggarkan dengan syarat DP hanya 15%. Adapun DP rumah ketiga dan seterusnya menjadi 20%.

Dengan kelonggaran ini diha rap kan pertumbuhan pasar properti tetap menggeliat di tengah isu ketidakpastian ekonomi global yang terus mencuat. Sebagai komponen kebutuhan primer, karakter pasar properti biasanya cenderung inelastis. Mau dipasang harga berapa pun tetap akan ada permintaan.

Pilihannya tinggal apakah pasar properti ingin di genjot secara agresif dan inklusif (kelas menengah ke bawah tetap dapat ikut menikmati) ataukah dibiarkan tumbuh dengan cara merayap sekalipun. Akan tetapi risiko masih sangat mungkin terjadi jika perbankan kurang tanggap mengantisipasi. Risiko kredit macet (non-performing loan/ NPL) masih akan terus menghantui. Cara mengatasinya adalah dengan menjaga agar willingness dan ability to pay para debitor tetap berjalan.

Kuncinya terletak pada bagaimana mekanisme pembayaran/penagihan dapat berjalan efektif dan tingkat pendapatan (debitor) bisa terus mengimbangi.

Nah, urusan pendapatan masyarakat sendiri merupakan domain utama dari pemerintah. Kebijakan-kebijakan yang mendorong perbaikan pendapatan murni sangat dibutuhkan dengan hulu produksinya adalah ketersediaan lapangan pekerjaan dan daya saing investasi. Misalnya terkait dengan kebijakan pemerintah yang memberikan relaksasi PPh final untuk UMKM sebesar 0,5% kemarin.

Kendati perubahannya terlihat relatif kecil (dari 1% men jadi 0,5%), kebijakan ini bisa berdampak positif terhadap sisi psikologis pelaku UMKM yang jumlahnya sangat mayoritas di Indonesia. Minimal menunjukkan keberpihakan pemerintah terhadap eksistensi UMKM.

Tentu kebijakan ini perlu diikuti dengan relaksasi atau insentif tambahan lainnya terhadap industri menengah maupun besar. Target utamanya adalah agar daya saing mereka bisa meningkat dan mendorong kinerja ekspor. Sebenarnya kalau boleh jujur, jika ingin kurs rupiah bisa stabil dan terus menguat, kuncinya terletak pada kemampuan pengembangan kebijakan struktural.

Fokusnya adalah bagaimana caranya agar devisa kita terus meningkat. Pada kondisi eksisting justru devisa kita terus “diobral” demi mengintervensi kurs rupiah. Oleh karena itu ada baiknya jika pemerintah memperhatikan dengan saksama bagaimana kinerja industri, peluang ekspor, dan pengembangan substitusi impor.

Ketiganya merupakan target utama untuk memperbaiki neraca perdagangan dan neraca pembayaran kita. Adapun relaksasi pajak yang tadi dijelaskan bersifat lebih pada tujuan kuratif dan kepentingan jangka pendek. Adapun neraca perdagangan kita pada Mei 2018 kemarin berdasarkan laporan BPS sedang terpuruk dengan defisit USD1,52 miliar.

Sementara secara tahun berjalan, neraca perdagangan Januari-Mei 2018 tercatat sudah defisit sebesar USD2,83 miliar. Penyebabnya disinyalir karena daya impor kita khususnya untuk bahan baku dan barang penolong produksi masih tergolong tinggi.

Faktor ini pula yang membuat asumsi bahwa pelemahan rupiah akan mendongkrak kinerja daya saing ekspor menjadi berantakan. Karena sisi hulunya sendiri masih “dihantui” impor dari negara lain. Langkah ke depannya dibutuhkan strategi yang dapat mengurangi beban impor dan secara simultan juga mendongkrak daya saing ekspor. Walaupun terlihat agak berat mengingat industri kita membutuhkan bahan baku yang jumlah dan kualitas yang tinggi, tidak ada pilihan lain jika tidak ingin industri kita terus terintervensi oleh perekonomian luar negeri.

Oleh karena itu di butuhkan kebijakan fiskal untuk substitusi bahan baku impor meskipun sering kali akan diikuti munculnya risiko perlawanan dari negara importir eksisting. Selain itu juga sering kali rawan diselewengkan karena adanya politik rente. Tapi kita sangat membutuhkan usaha-usaha menuju kemandirian ekonomi dan berdikari. Di luar itu, gerakan mencintai produk dalam negeri juga sangat dibutuhkan untuk memotivasi produsen lokal, terutama untuk memenuhi kebutuhan konsumsi rumah tangga yang selama ini menjadi tulang punggung perekonomian.

Produsen-produsen yang dapat diprioritaskan meliputi produsen pangan, makanan dan minuman olahan, serta produk-produk fashion agar menjadi penyuplai konsumsi dalam negeri secara masif. Pemerintah perlu tampil meyakinkan ke seluruh stakeholder ekonomi bahwa semua dinamika yang terjadi saat ini dapat tertangani dengan baik.

Hal ini terkait dengan efek psikologis dari para pelaku ekonomi. Pertemuan yang produktif dengan para pengambil keputusan di sektor swasta dan politik serta bersama-sama dengan otoritas moneter untuk menciptakan bauran kebijakan yang efektif perlu dilakukan untuk membuat langkah bersama yang kondusif. Kendati mungkin akan sulit dilakukan, apalagi di tengah tahun politik, langkah tersebut tetap harus diupayakan demi kepentingan bersama.

Masyarakat sebagai konsumen dan produsen perlu diberi ketenangan bahwa kita bisa menghadapi seluruh tantangan ini dengan terus bergandengan tangan. Karena kebersamaan dan sinergi kebijakan yang tepat akan mencegah perekonomian kita ke arah yang lebih mengenaskan. Kita harus yakin bahwa kita pasti bisa!

Candra Fajri Ananda
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya 

Kolaborasi Mahasiswa FEB dan FIB dalam Menyusun Strategi Pengembangan Farm Edutourism Dusun Brau Kota Batu

$
0
0

Mereka adalah Dikau Tondo Prastyo (Ekonomi Pembangunan 2015), Nurul Rodiyah (Antropologi 2015), dan Muhammad Yogi Arifky Z (Pendidikan Bahasa Inggris 2016). Keinginan untuk mewujudkan harapan besar warga Dusun Brau Desa Gunungsari Kecamatan Bumiaji untuk menjadikan kampungnya sebagai kampung wisata peternakan membuat mereka tertarik untuk mengkaji Farm Edutourism Brau sebagai model pengembangan desa tertinggal berbasis Community Based Tourism dengan menggunakan analisis Objek Daya Tarik Wisata (ODTW).

Selain Goa Pandawa dan Goa Pinus, warga Dusun Brau berkeinginan agar potensi wisata peternakan juga dapat berkembang, sehingga warga Brau dapat merasakan dampak secara ekonomi. Dengan adanya wisata peternakan sapi, warga dapat menjadi tour guide, menjual hasil olahan susu dan menyediakan jasa lainnya. “Namun sampai detik ini, harapan besar warga untuk mewujudkan kampung wisata peternakan tersebut masih sebatas angan, karena belum adanya kompetensi warga dalam mengonsep dan menginisiasi model pengembangan kampung wisata ternak yang tepat dan ekonomis untuk Dusun Brau”kata Dikau.

Tim yang tergabung dalam Program Kreativitas Mahasiswa bidang Penelitian Sosial Humaniora (PKM-PSH) ini merekomendasikan modul pengembangan wisata edukasi peternakan dan olahan hasil peternakan. Dengan analisis ODTW, AHP, dan SWOT, mereka mendapatkan hasil bahwa konsep wisata edu farm-tourism telah berada pada jalur yang tepat dan layak untuk diaplikasikan dengan terus melakukan pengembangan (growth) sebagai potensi pariwisata dengan strategi diantaranya; (1) mensinergikan antara kelembagaan koperasi, pengelola wisata dan perhutani agar tercipta kejelasan hak dan kewajiban; (2) memperbaiki infrastruktur transportasi dari arah Desa Gunungsari ke Dusun Brau; (3) membuat paket wisata selfi tourism dan farm edu tourism; (4) mengadakan angkutan shuttle bekerjasama angkot Kota Batu; (5) mengadakan event-event untuk menarik wisatawan; (5) meningkatkan produksi olahan susu; (6) melakukan promosi dengan menggunakan papan petunjuk arah dan memanfaatkan media sosial.

Dibawah bimbingan Siti Zurinani, M.A, mereka berharap penelitian ini dapat direkomendasikan kepada Dinas Pariwisata maupun pemerintahan Kota Batu sebagai rancangan model pengembangan desa pinggiran dalam meningkatkan kemandirian ekonomi regional sebagai salah satu pilar dalam mewujudkan gerakan desa semesta dan sharing economy. Dan output utamanya adalah terwujudnya masyarakat yang mandiri dan sejahtera.

Soliditas Tim

$
0
0

HIRUK-pikuk Piala Dunia masih terus berjalan hingga hari ini. Secara mengejutkan banyak pemain kategori terbaik dunia saat ini seperti Cristiano Ronaldo, Lionel Messi, terakhir Neymar, terpaksa harus angkat koper lebih awal.

Mohamed Salah yang musim lalu begitu bersinar pun nyata-nyatanya sudah tersingkir, bahkan saat baru menjalani dua laga. Meskipun berjalan di luar dugaan, kalau kita perhatikan lebih mendalam ada benarnya juga mengapa pesona kebintangan seseorang tidak cukup menyelamatkan sebuah negara (tim sepak bola) dari kegagalan.

Kita harus memahami terlebih dulu bahwa sepak bola adalah olahraga tim, yang merupakan gabungan dari 11 pemain di lapangan, bukan penonjolan salah satu anggotanya. Untuk memenangkan suatu pertandingan, diperlukan tim solid yang mampu membangun kebersamaan dan pemahaman yang sama di antara pemain, pelatih, dan pengelola sepak bola. Hal itulah yang bisa dipahami dari pengalaman beberapa negara yang telah menjadi world champion.

Pada Piala Dunia empat tahun lalu, Jerman sudah membuktikan bahwa kesebelasan mereka mampu menjadi yang terbaik, kendati tidak ada pemain terbaik dunia yang bermain untuk tim mereka. Tetapi mereka memiliki modal kolektivitas yang berasal dari para pemain dengan kualitas merata dan hampir semuanya bermain di liga papan atas.

Tetapi, tidak ada individu yang betul-betul tampak paling menonjol layaknya peraih Ballon d’Or (gelar pemain sepak bola terbaik Eropa), bahkan di laga final mereka berhasil mengalahkan Argentina yang di dalamnya diperkuat Lionel Messi.

Fenomena seperti ini yang kemudian mengilhami penulis untuk berpikiran sederhana. Ada kalanya untuk memperoleh sesuatu yang besar dibutuhkan sumber daya yang kuat dan soliditas yang erat.

Sebuah rumah megah pun jika hanya mengandalkan satu pilar besar untuk menahan semua tekanan lambat laun akan segera runtuh juga. Termasuk di dalamnya terangkum pesan tentang cara untuk memenangkan persaingan ekonomi.

Saat ini perekonomian kita menghadapi turbulensi ekonomi dunia yang sangat dahsyat. Munculnya perang dagang antara China dan Amerika Serikat (AS) tentu akan segera memicu dampak domino terhadap stabilitas ekonomi dan sosial yang sangat besar bagi negara-negara lain.

Khususnya, terhadap negara yang saat ini tengah melakukan trading dengan China dan AS. Jumlahnya bisa jadi sangat banyak karena kedua negara sedang menjadi kutub perdagangan dunia—dan beberapa negara sudah ada yang mengalami “batuk”. Ada juga yang bahkan sudah mulai “muntah” seperti Turki yang mengalami penurunan mata uangnya paling parah.

Kurs rupiah secara perlahan namun pasti sudah tampak menuju keseimbangan yang baru. Di awal Juni 2018 kurs kita, berdasarkan data Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor), masih tampak lumayan sehat, berada di angka Rp13.872 per dolar AS (4/6). Berikutnya, pada 10 Juli kemarin, sudah melemah menjadi Rp14.326 per dolar AS.

Kendati Bank Indonesia (BI) sudah berupaya menahan turbulensi ekonomi dunia dengan meningkatkan tingkat bunga acuan (7 days repo rate) sampai 3 kali, hasilnya pun belum seperti yang diharapkan. Penulis meyakini, bisa jadi setelah ini BI akan kembali meningkatkan 7DRR sembari menunggu bagaimana The Fed (Bank Sentral AS) akan menciptakan akrobat kebijakan moneter selanjutnya.

Sebagai informasi, menjelang Lebaran kemarin The Fed sudah menaikkan Fed Fund Rate (FFR) untuk yang kedua kalinya pada tahun ini, dari 1,75% menjadi 2%. Atas kenaikan tersebut BI kemudian berusaha mengimbangi dengan meningkatkan 7DRR dari 4,75% menjadi 5,25%. Tujuannya agar para pemodal menahan lebih lama uangnya di Indonesia.

Beberapa bankir kemudian memprediksi, jika The Fed akan meningkatkan kembali FFR-nya hingga dua kali lagi di sisa tahun 2018, maka BI yang sementara ini secara agregat sudah meningkatkan suku bunga acuannya hingga 1%, akan terus membengkak menjadi total 2%.

BI tampaknya cukup pede, percaya diri, karena di awal gebrakannya merasa cukup efektif untuk meredam kemerosotan nilai rupiah. Tetapi, dengan berjalannya waktu itu tampaknya mulai butuh penyegaran. Bantalan perekonomian domestik kita belum mampu bertahan, khususnya yang berasal dari neraca perdagangan ekspor-impor.

Salah satu penyebabnya karena tim ekonomi kita masih dirasakan belum solid. Bauran kebijakan belum tampak bekerja sama secara simultan.

Hal yang paling tampak justru dari pemerintah yang dianggap masih terlalu lamban menyikapi turbulensi ini. Akan tetapi, hal ini masih dalam taraf yang bisa “dimaklumi” mengingat perubahan-perubahan kebijakan kita tidak bisa dilakukan secara akrobatik karena negeri kita memiliki gaya kebijakan yang untuk melakukan sesuatu harus ada dukungan legal-formalnya (regulasi), misalnya terkait perubahan belanja kementerian/lembaga (K/L).

Nomenklatur belanja K/L sudah cukup ketat karena telah diatur dalam Undang-Undang APBN. Karena itu, pemerintah tidak bisa serta-merta mengubah kerangka belanja seperti laiknya kita meretur barang ke sebuah toko. Untuk menciptakan kebijakan yang mendadak pun terkesan selalu butuh waktu yang relatif panjang.

Hal tambahan yang perlu disorot juga adalah birokrasi pemerintah yang terkesan berbelit dan tidak ada breakthrough bagaimana memotong proses birokrasi menjadi lebih cepat dan efektif. Khusus yang terkait dengan kegiatan investasi dan pelayanan publik lainnya.

Ini pula yang kemudian paling dikeluhkan oleh para investor, terutama pada saat menghadapi regulasi di tingkat daerah. Padahal, kita sama-sama mengetahui bahwa hasil-hasil kebijakan investasi merupakan target pembangunan di tingkat pusat maupun daerah. Namun, ada conflict of interest karena di sisi yang lain, di mana berbelitnya sistem birokrasi, kerap menjadi “berkah” tersendiri bagi pemerintah (melalui pendapatan retribusi) maupun oknum pemerintah (pemburu rente).

Jika sudah demikian, kita juga hendaknya tidak terlalu banyak mengeluh tentang keadaan yang sekarang ini terjadi. Karena kita, sebagai produsen dan konsumen, yang terkadang lebih memilih menggunakan barang impor ketimbang hasil produksi dalam negeri.

Efek konsumsi dan produksi barang-barang impor itulah yang membuat nilai tukar kita enggan menguat. Keinginan konsumen dan kemampuan produsen sering gagal menemukan titik-titik kesepahaman. Konsumen biasanya menuntut harga produk domestik normatifnya dalam harga yang murah, tetapi kualitasnya tidak terpaut jauh dengan produk luar negeri.

Nah, di sisi yang lain produsen kita merasa berat menyediakan harga yang murah untuk menyediakan barang-barang berkualitas. Alasannya, karena faktor-faktor struktural yang banyak menghambat. Misalnya berkat kapasitas infrastruktur yang kurang memadai dan kurang merata maka biaya transaksi yang ditanggung produsen sering menjadi berlipat ganda.

Sepanjang pemerintahan Presiden Joko Widodo yang terlihat amat loyal untuk belanja infrastruktur, pada kenyataannya belum cukup kuat menekan biaya transaksi yang muncul dari sistem transportasi, energi, maupun irigasi. Jika kita terlalu tinggi mengandalkan kemampuan pemerintah, akselerasi pembangunan kita bisa jadi akan tersendat. Karena pemerintah sendiri terus mencari peluang, bagaimana mendapatkan dana pembangunan untuk mencukupi semua kebutuhan pembiayaan tersebut?

Faktor tenaga kerja pun tampaknya ikut memengaruhi mengapa produk dalam negeri tidak seberapa dilirik konsumen domestik. Menteri Tenaga Kerja beberapa waktu lalu mengatakan, tenaga kerja kita yang bisa dibilang cukup terampil hanya sekitar 55 juta orang.

Angka rasionya terlihat kecil jika dibandingkan total tenaga kerja kita yang jumlahnya mencapai sekitar 112 juta orang. Alumni-alumni pendidikan kita juga tidak sedikit yang overlap antara bidang studi dan dunia kerjanya sehingga bisa disimpulkan kurikulum pendidikan kita belum cukup sinkron dengan dunia kerja.

Untuk saat ini, sepertinya alangkah lebih baiknya jika pemerintah fokus pada perekonomian dalam negeri, dengan mengutamakan stabilitas dan pemerataan. Aspek pertumbuhan akan mengalami kontraksi yang signifikan selama nilai rupiah terus anjlok dan didukung fenomena perekonomian global lain. Tetapi, selama masyarakat masih mampu bekerja, berbelanja, dan kebutuhan pangan selalu tersedia, kestabilan dan pemerataan bisa akan terus terjaga.

Pemerintah daerah juga perlu lebih banyak dilibatkan untuk membantu urusan pembangunan nasional. Sinkronisasi kebijakan sudah sewajarnya terus dilakukan agar pengelolaannya menjadi efektif.

Dana-dana transfer (sebagaimana prinsip money follow function) sudah sangat banyak digelontorkan pemerintah pusat ke daerah dengan berbagai skema. Tetapi, data menunjukkan bahwa dana-dana pemerintah daerah yang mengendap di perbankan masih lumayan besar.

Per April 2018 kemarin jumlah dana idle di perbankan sudah mencapai Rp212,41 triliun. Angka ini tentu jumlah yang sangat besar, sekitar 27,72% dari total dana transfer ke daerah dan dana desa (TKDD). Kalau proses penyerapannya saja sudah belepotan, bagaimana dengan proses administrasi lainnya?

Karena itu, penulis menitipkan pesan untuk kita semua, dalam menghadapi turbulensi ekonomi yang tampaknya akan muncul secara bertubi-tubi ini. Kita harus mampu menciptakan tim yang solid untuk memperkuat perekonomian dalam negeri.

Karena semua stakeholder berpeluang turut andil di posisi ekonomi masing-masing untuk menjadikan Indonesia sebagai negara ekonomi yang lebih baik. Setelah ini perlu dibangun tim ekonomi yang solid yang didukung oleh birokrasi yang efektif dan efisien, meskipun birokrasi itu sendiri juga perlu terus perbaikan. Masyarakat bisa mengisi pos-pos penguatan melalui posisi sebagai produsen dan/atau konsumen.

Candra Fajri Ananda
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya

Viewing all 811 articles
Browse latest View live